Share

05. Susi Melahirkan

“Yang benar kamu, Sayang?”

“Memang wajahku seperti bercanda memang, cepat Mas, antar aku ke Bidan Wati, nggak tahan nih, kok tiba-tiba mulesnya,” ucap Susi yang sedang memegang perutnya.

“Mungkin kebanyakan makan sambal rujak, makanya mules,” ucap Bu Retno merasa khawatir.

“Ayuk cepatan bawa perlengkapannya, Man, pakai mobilmu kasihan adik iparmu mau melahirkan!” teriak Bu Retno tanpa memedulikan wajah Siska cemberut dengan mulutnya manyun seperti ikan mujair.

“Suratman masih diam dalam kebingungan antara  istrinya dan Bu Retno, tetapi karena berpikir pencitraan yang harus dijunjung tinggi akhirnya mau tidak mau, dia pun membawa Susi dan Suratmin ke Bidan Wati yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.

“Mas, aku nggak kuat, sakit Mas!” teriaknya sepanjang perjalanan.

“Sabar Sayang, perbanyaklah berdoa’a yakin ke dalam hatimu kalau kamu adalah wanita tangguh, sebentar lagi kita sampai di rumah bu Bidan, tenang ya, berselawat saja!” ucap Suratmin mencoba menenangkan istrinya sembari tak henti mulutnya komat-kamit seperti baca mantra.

“Kamu baca apa sih, Min? Baca mantra ya, serius amat?”

“Makanya Min, aku malas lihat istriku melahirkan normal begini buat susah orang saja. Untung kita ada di sini coba kalau nggak ada mau naik apa ke sana?”

“Nanti aku minta ongkos bensin ya, jauh loh ini dua kilometer jarak dari rumah kamu!” gerutunya kesal tetapi tetap melajukan kendaraan sampai menuju ke rumah bu bidan dengan cepat.

“Min, kamu dengar toh!”rutuk Suratman kembali.

 

Namun,  Bu Retno yang mendengarkan langsung pembicaraan mereka tiba-tiba menjewer telinga Suratman dengan keras sehingga dia pun memekik karena kesakitan.

“Aduh, Bu!” pekik Suratman sambil memegang telinga yang menjadi merah karena dijewer oleh Bu Retno.

“Bu, kok Mas Ratman dijewer sih, dia kan bukan anak kecil lagi,” protes Siska yang tidak terima suaminya di jewer oleh orang lain.

“Lah siapa suruh dia perhitungan sama saudara, kalian itu hanya dua bersaudara, kalau bukan karena Suratmin ...” ucapannya terpotong saat menatap wajah Suratmin memelas, sehingga Bu Retno tidak melanjutkan omongannya seketika.

“Karena apa, Bu ...?”  tanya Suratman penasaran.

“Intinya kalian itu bersaudara jadi jangan hanya karena kamu kaya dengan seenaknya menghina saudaramu itu, nanti bagaimana kalau seandainya kalian bertukar posisi, kamu yang miskin dan Suratmin jadi kaya?”

“Hahaha ... ya nggak mungkin lah, dia bisa kaya mendadak kecuali dapat lotre atau hasil rampok,” cercanya sepanjang jalan kenangan.

Namun, bagi Suratmin sudah biasa untuk dihina oleh saudara kembarnya sendiri, sehingga telinganya sudah kebal dengan semua yang dilakukan oleh saudara kembarnya.

“Duh aku jadi ngeri lihat Susi melahirkan, Mas, pokoknya aku mau Secar saja, tuh lihat Susi menggeliat gitu kayak cacing kepanasan saja, tenang dong Sus, jangan lebay dong, ah!” Siska bergidik ngeri melihat perjuangan Susi menahan rasa sakit bahkan kukunya sudah menancap dilengan suaminya.

Namun, Suratmin tidak memedulikan lengannya yang sudah mengeluarkan cairan berwarna merah. Siska melihatnya hanya bisa menatap mereka dengan penuh dengki dan iri.

“Mas, kamu sangat mencintai Susi ya,  sampai kamu menahan sakit lenganmu  tetapi kamu tetap diam hanya mulutmu melantunkan doa-doa untuk keselamatan mereka berdua,” lirihnya dalam hati.

“Hey, kenapa kamu jadi iri Siska? Kamu juga mempunyai suami yang mirip dengan suami Susi bahkan lebih mapan, aku dimanjakan dengan segala materi dan aku wanita berpendidikan dan juga mempunyai karier yang sangat cemerlang, dan yang paling penting aku cantik dan seksi, tetapi kenapa aku iri ya?” ucapnya dalam hati lagi.

“Kenapa Mas Suratmin malah memilih Susi yang nggak cantik sama sekali, untungnya putih jadi nggak kelihatan kalau biasa aja mukanya,” rutuknya dalam hati.

 

Setelah sepuluh menit berlalu akhirnya mereka sampai di rumah Bidan Wati. Bu Retno dengan cepat turun dari mobil dan langsung memanggil bidan Wati.

“Assalamu’alaikum, Bu bidan!”

“Wa’alaikumsalam, Bu Retno, Susi mau melahirkan?” tanya Bidan Wati langsung bisa menebak.

“Kok Bu Bidan tahu, padahal saya belum bilang loh?” tanya Bu Retno bingung.

“Iya toh Bu, masa Bu Retno yang melahirkan, bunting juga nggak,” jawab bidan Wati tersenyum.

“Iya benar juga sih!” Bu Retno cengengesan.

Suratmin lalu dengan tenaga super extra mampu menggendong Susi sampai ke dalam rumah bidan Wati. Hal itu membuat Siska kembali terpesona karena terlihat sangat seksi di mata Siska apalagi melihat semua otot-otot Suratmin keluar dari tubuh kekar itu.

Siska tidak sempat menelan air liurnya sehingga jatuh tanpa sengaja, membuat suaminya Suratman merasa jijik dengan istrinya sendiri.

“Sayang, kamu ileran jorok banget ah, kamu memikirkan apa sih, bersihkan! Jijik aku lihatnya masa istri seorang pengusaha sekaligus konsultan mempunyai istri ileran, mau taruh di mana wajahku yang tampan nan rupawan ini?” rutuknya kesal sembari meninggalkan Siska sendiri.

“Iya di depan lah, memang bisa pindah sendiri ke belakang, bawel!” ucapnya sedikit berteriak ke arah suaminya yang berjalan duluan di depan.

 

Susi yang mulai tenang setelah Suratmin ada di samping dan menenangkannya dengan mengusap lembut kening sang istri, lalu mengecupnya dengan penuh kasih sayang. Lagi-lagi membuat Siska menjadi iri melihat kemesraan mereka.

“Untuk kalian harap menunggu di luar saja ya?” ucap Bidan Wati dengan ramah.

“Tenang, Mbak Susi saya periksa dulu nggak apa-apa kalau Mas nya mau menemani,” ucap Bidan Wati dengan ramah, sembari memasukkan tangannya ke dalam untuk memeriksa sudah berapa pembukaan dari jalan lahirnya.

 

Bidan Wati lalu menyiapkan semua peralatan medisnya setelah Susi melakukan serangkaian pemeriksaan terlebih dahulu.

“Alhamdulillah sudah genap pembukaannya ya, Mbak, Insya Allah jika Mbak Susi mendengarkan instruksi dari saya semua akan berjalan dengan lancar, Mbak sudah siap?”

“Sudah Bu Bidan, saya siap, Bismillahirrohmannirohim,” ucap Susi dengan mantap.

Tangannya tetap memegang sang suami dengan kencang, walaupun banyak luka yang sudah membekas tetapi Suratmin tidak menghiraukannya.

“Mbak Susi ikuti perintah saya ya ... sekarang Mbak ngejen yang kuat, tarik napas dalam-dalam buang perlahan-lahan!”

Susi dengan tenang mengikuti setiap arahan dari bidan. Dia pun disuruh miring ke kiri lalu kakinya ditekuk agar cepat keluar.

“Bokongnya jangan diangkat ya Mbak, nanti robek, iya terus Mbak, tuh sudah kelihatan rambutnya, ayuk Mbak ngejen yang kuat sekali lagi!”

“Allahu Akbar!” teriak Susi dan terdengar suara tangisan bayi yang melengking.

 

“Oee ...oee !”

“Dek, anak kita sudah lahir, Ya Allah putih banget, terima kasih ya Allah atas rahmat uang Engkau berikan kepada keluarga kami,” ucapnya bahagia dan mengucap syukur.

 

 

“Alhamdulillah, sudah lahir dedeknya, Mbak Susi, bayinya perempuan, sehat, cantik seperti ibunya,” ucap Bidan Wati ikut bahagia melihat bayi yang baru saja dia tolong dan memperlihatkan sebentar kepada Susi.

 

Bentar ya Mbak, dibersihkan dulu, nanti kalau sudah selesai saya bawa lagi ke sini,” ucap Bidan Wati tersenyum.

 

Bidan Wati lalu menyerahkan bayi itu ke perawat untuk diperiksa, ditimbang dan dibersihkan, agar nantinya Susi bisa memberikan ASI yang pertama buat bayinya.

Bidan Wati lalu membersihkan Susi walaupun banyak darah keluar, tetapi Susi tidak mengalami pendarahan dan tidak dijahit sedikit pun karena Susi selalu mengikuti arahan bidan Wati.

Setelah selesai dengan ibunya, Susi lalu dipindahkan di kamar perawatan agar mudah beristirahat dan bisa memberikan ASI nya dengan nyaman.

Sepuluh menit kemudian setelah bayi itu dibersihkan, untuk pertama kali Suratmin mengkhomadkan di telinga kiri bayi itu lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.

 

“Selamat datang, Nak, di dunia, kamu sangat menggemaskan,” ucapnya lagi, lalu memberikan bayi itu kepada istrinya dan ditaruh diatas badan sang istri agar bisa mencari sendiri.

 

Terlihat bayi itu menggeliat dengan mulutnya mangap-mangap menjelajahi, sehingga akhirnya bisa menemukan benda kenyal itu dan langsung menghisapnya dengan kencang.

“Sekali lagi selamat ya, Mbak Susi dan Mas Ratmin, bayinya sehat, beratnya 3.860 gram besar loh, tingginya 51 cm, sehat semua baik organ dalam maupun luar,” jelas Bidan Wati bahagia melihat mereka sudah bisa merasakan menjadi orang tua.

 

Bu Retno, Siska dan Suratman menjenguk Susi yang baru saja melahirkan. Bu Retno nampak bahagia sampai-sampai menitikkan air mata, sedangkan pasangan suami istri itu kembali melayangkan sebuah hinaan kembali untuk mereka.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status