Share

07. Alhamdulillah Sudah Lahir

Suratmin sangat bahagia walaupun pemilik warung itu tidak pernah ke rumah, tetapi sosok beliau itu sangat bersahaja dan baik.

“Assalamu’alaikum!” sapanya sembari melontarkan sebuah senyuman ramah.

“Wa ’alaikumsalam, Pak Dirga, silakan masuk, Pak, Buk!” sahut Suratmin terkejut saat di datangi oleh mereka.

“Terima kasih!” ucap Pak Dirga bersama Bu Sari.

“Iya, Sama-sama, Pak Dirga, Bu Sari, silakan duduk!”

“Siapa itu , Sayang?” tanya Suratman kepada istrinya Siska saat ingin mau ke luar dari kamar.

“Sepertinya itu bosnya Suratmin, Mas!”

“Ayuk pulang pegal nih berdiri terus, ngapain juga kita di sini, sumpek tahu,” gerutunya dan hendak pergi dari sana.

“Tunggu dulu, Sayang!” cegah Suratman kepada istrinya.

“Mau ngapain lagi kita di sini. Kita kan sudah dapat uang dari Suratmin lumayan buat makan malam kita,” sahut Siska yang mulai gerah karena merasa kepanasan.

 “Kamu ini, Sayang, kamu mau uang tambahan nggak?” tanya Suratman dengan tersenyum licik.

“Ya maulah, tetapi maksudnya bagaimana sih, Mas? Apa yang mau kita lakukan di sini, kakiku sudah pegal nih, tetapi kalau Mas Ratman bilang ada uangnya, ya okelah.” Siska sangat semangat mendengar ada kata uang. Dia pun tidak memedulikan kakinya yang sakit saat mendengar kata uang yang keluar dari mulut suaminya itu.

“Duh, kamu itu , lihat saja penampilannya itu orang kaya, dia kan pemilik warung makan mie ayam yang terkenal itu, pasti uangnya banyak lah, siapa tahu kita kecipratan dapat uang juga kamu kan lagi hamil,” jelasnya membuat Siska berpikir dua kali untuk pulang ke rumah.

“Ya, terseralah, Mas, ayuk kita masuk!” ajaknya dengan tersenyum lebar.

Mereka pun masuk lagi ke dalam lagi,  untungnya hari itu hanya Susi yang menjadi pasien itu sehingga ruangan tersebut tidak terlalu padat.

“Wah, terima kasih, Bapak dan Ibu telah datang ke sini, saya nggak menyangka Bapak mau menjenguk kami,” ucapnya berkali-kali dengan bahagia.

“Iya, Pak nggak apa-apa, karena Pak Ratmin adalah karyawan saya sekaligus ibunya ini suka sekali namanya dengan anak-anak.”

“Makanya saat mendengar kamu izin tidak masuk kerja buat besok karena istrimu melahirkan, istri saya buru-buru mau ke sini mau menjenguk anak kamu.” Pak Dirga sangat bersemangat, begitu juga dengan istrinya yang baik selalu melemparkan sebuah senyuman kepada pasangan suami istri itu yang baru mempunyai status baru menjadi seorang ibu dan ayah.

“Bagaimana rasanya menjadi ayah dan ibu baru nih?” tanya Bu Sari tersenyum memandang kedua suami istri itu.

“Alhamdulillah, bahagia banget rasanya, Bu,” sahut Susi yang masih menggendong bayi mungilnya itu.

“Sini tak gendong sebentar bayimu, Sus!” Susi memperlihatkan bayinya dan Bu Sari ingin menggendong bayi itu dengan penuh kasih sayang, tetapi dicegah oleh Pak Dirga dengan lembut.

“Bu, jangan!” teriaknya sedikit nyaring membuat Bu Sari bingung dengan sikap Pak Dirga.

“Iya, Bu nggak usah di gendong buat apa, tahu nggak bayinya Susi itu nggak cantik-cantik amat, biasa saja, hitam pula, hidungnya apa lagi nggak mancung, pokoknya nggak deh,” ejek Siska dengan penuh semangat empat lima.

“Maaf, Bu apa yang dikatakan mbak Siska benar, anak saya biasa saja Bu, tidak ada yang istimewa,” sahutnya sedikit dengan kedua mata yang sudah berair.

“Mbak Susi, maaf bukan saya melarang istri saya untuk menggendong bayinya, cuma kami hanya takut bayi kamu terkontaminasi dengan bakteri dari luar, lagian baru beberapa jam dilahirkan sangat rentan untuk di pegang banyak orang,” ucap Pak Dirga menjelaskan dengan hati-hati.

“Oh iya saya sampai lupa, betul kata Bapak, habisnya anak-anak sudah besar semua dan cucu-cucu juga jauh jarang mereka ke rumah kami, maaf ya Sus, nanti kalau besaran dikit pasti Ibu gendong.”

“Lagian ya saya itu tidak memandang dia itu hitam atau putih, hidungnya mancung atau tidak dan sebagainya, bagi saya bayi yang lahir ke dunia itu itu adalah anugerah yang terindah sekalipun dia kekurangan.”

“Bersyukurlah masih bisa merasakan mengandung, melahirkan, lalu merawat, mengasuh dan membesarkannya, itu sesuatu banget.”

“Tidak peduli kata orang dengan kondisi anak kita, karena kita yang tahu, orang lain peduli amat yang penting bagaimana cara kita untuk mendidiknya menjadi generasi yang berakhlak mulia, anak yang Soleh dan solehah,” jelasnya kepada Susi agar tidak minder saat dihina oleh kakak iparnya sendiri.

“Ya memang sih kalau ngomong itu enak, tetapi bagaimana nanti kalau anaknya sudah besar dan dia dibuly sama teman-temanya bahkan dia tidak ada kepercayaan diri, ya nasib deh,” celetuk Siska yang masih saja mengejeknya.

“Nah, justru itu peranan kita sebagai orang tua, bagaimana kita bisa membawa anak-anak kita agar dia tidak merasa sendiri, orang tua harus tahu kegiatan anak-anak kita tetapi bukan bersifat protektif tetapi jadilah sebagai sahabatnya, teman curhat nya, pasti deh kita bisa membawa anak-anak kita betah di rumah,” jelasnya lagi kepada Siska dengan ramah.

“Ya Ibu kan nggak pernah ngalamin, jadi mana tahu rasanya di bully ataupun dihina di depan orang banyak,” sahut Suratman membela istrinya.

“Wah, Mas Ratman sok tahu banget jadi orang, justru Bu Sari dan Pak Dirga ini sangat berpengalaman dalam hal mengurus anak!”

“Memang sih setiap anak itu berbeda, tetapi tidak salahnya untuk berbagi cerita atau pengalaman ibu-ibu yang sudah khatam dalam mengurus dan membesarkan anak,” sahut Suratmin bangga dengan majikannya itu.

“Yang dikatakan Pak Ratmin memang benar, saya sudah pernah merawat anak-anak seperti  mereka  bahkan sampai ada yang berkebutuhan khusus, di situ kita akan diuji kesabaran, mental kita, tenaga , pikiran dan tentu saja uang,” timpa Pak Dirga dengan ramah.

“Sekarang, Alhamdulillah anak-anak kami bisa mandiri dan sukses semua dan mereka pun tidak pernah membuat kami kecewa sebagai orang tuanya,” jelas Bu Sari dengan bangga.

“Terima kasih Bu Sari atas masukannya, memang saya tidak mempermasalahkan masalah fisik, lagian wajah bayi itu bisa berubah-ubah, dan masih terlalu dini untuk menilai sesuatu yang belum kita ketahui,” sahut Susi dengan senang hati menerima anaknya.

Dia lalu menghujani bayi itu dengan kecupan di bagian wajahnya.

“Sayang, Ibu akan selalu ada buat kamu, jadilah anak yang membanggakan orang tua, jadikanlah kekuranganmu menjadi kelebihanmu, doa Ibu dan Bapak selalu menyertai langkahmu, Nak,” ucap Susi sembari menatap lekat wajah anaknya.

“Iya betul kamu, Susi, apa pun yang sudah dianugerahkan itulah yang terbaik untuk kita, karena Allah pasti sudah tahu mana yang baik atau tidak untuk kita.” Bu Retno ikut bicara membela Susi dan Suratmin.

“Saya ini bangga sekali dengan Mas Suratmin dan Mbak Susi dalam kesederhanaan ini, kalian mampu bertahan hidup dengan tenteram dan harmonis tetaplah seperti walaupun nanti kalian bisa makmur atau berkecukupan tetaplah rendah hati “

“Karena setiap harta orang kaya terdapat harta orang miskin di dalamnya, hanya kita saja yang tidak bisa mengenalnya karena sudah dilapisi oleh ketamakan, keserakahan orang itu sendiri,” nasihat Pal Dirga membuat Suratmin bangga mempunyai majikan seperti dirinya.

“Loh ini toh, saudara kembar kamu, Pak Min?” tanya Pak Dirga saat melihat seseorang yang mirip dengan karyawannya itu.

“Oh iya, Pak kenalkan ... “Suratmin ingin memperkenalkan tetapi saudaranya langsung mengenalkan dirinya sendiri.

“Kenalkan nama saya Suratman, saya saudara kembarnya Suratmin. Saya bekerja sebagai konsultan di bank, saya juga dijuluki juragan kontrakan lima belas pintu, dan mempunyai tambak ikan lele nggak banyak sih tetapi cukup menjanjikan sebulan saya bisa meraup keuntungan paling sedikit kira-kira sepuluh juta.”

“Alhamdulillah, setiap hari Jumat saya bersedekah ya bagi-bagi sembako untuk warga di sini,” jelasnya dengan sombong dan percaya diri.

“Oh gitu!” sahut Pak Dirga singkat.

“Hah ... hanya itu tanggapannya?” tanya Suratman bingung karena setelah panjang lebar mengatakan siapa dirinya sendiri.

“Terus saya harus ngomong apa, Pak?” tanya Pak Dirga kepada Suratman yang terlihat kesal.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status