Bab 69Jika pikiran ini bisa untuk berpikiran positif, tapi nyatanya hati ini tidak. Bayangan pengkhianatan yang dilakukan oleh Mas Hasan benar-benar membuatku takut.'Tidak, ini tak benar! Aku tak boleh cemburu buta! Mereka hanya bercanda layaknya ayah dan anak!' Kembali aku mencoba menepis semua itu.Segera kulangkahkan kali dengan pelan dan tanpa suara menuju ke dapur. Tetapi kuurungkan niat untuk mengambil air itu, karena pasti akan mengeluarkan suara dan menganggu mereka.'Dari pada terus berpikiran buruk seperti ini, lebih baik aku mendatangi merrka!' gumamku lagi dalam hati.Kembali aku pun mengendap, dan mendekati mereka dari belakang. Nesya dan Mas Hasan duduk dalam satu kursi panjang, dan bahkan nampak teman putriku itu sampai memukul Mas Hasan menggunakan bantal kecil.'Ah, pikiran apa ini? Nggak boleh mikir yang aneh Dewi!' gumamku lagi."Nesya, kamu kok belum tidur?" tanyaku akhirnya dengan suara kubuat sebiasa mungkin.Keduanya tentu langsung menoleh ke belakang kaget ka
Bab 70Kumandang adzan subuh pun sukses membangunkan aku saat ini. Gegas aku pun mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat. Aku hanya mengerjakan shalat sendirian, karena memang Mas Hasan sangat sulit untuk dibangunkan ketika masih sangat pagi seperti ini. Ini merupakan salah satu perbedaan suamiku itu dulu dan sekarang. Dulu sebelum insiden Adelia, kami selalu melaksanakan shalat jamaah ketika Dia berada di rumah. Tetapi kini, malah aku jarang sjelai melihat dia melakukan perintah agama itu. Terserah saja, yang penting aku sudah sering kali mengingatkan.Setelah melaksanakan shalat subuh, aku pun akan mengajak Lio untuk jalan-jalan mengelilingi lingkungan ini. Alhamdulillah pagi ini bayiku itu sudah sehat dan tak dengan lagi. Segera kutaruh Lio di stroller dan keluar dari rumah."Ma ... mau jalan-jalan kan? Fika ikut ya," ucap Fika yang tiba-tiba sudah ada di belakangku sambil tersenyum."Tentu dong. Tadi mama sebenarnya sudah ingin bangunin kamu. Tetapi takutnya kamu masib cape
Bab 71Kalimat terakhir dari jawaban yang diberikan oleh Fika itu, membuat aku melongo. Karena menurutku, berarti Nesya saat ini sedang terobsesi menjadi seorang yang kaya bukan? Sedangkan orang biasanya sih orang yang terobsesi itu akan melakukan segala hal dewi mewujudkan mimpinya. "Kamu kok bisa tahu hal itu, Fik?" Kembali aku bertanya karena memang belum merasa puas.Jika menghembuskan nafasnya kasar. "Tahu dong, Ma. Nesya itu nggak begitu banyak punya teman di kampus, rasanya teman dekat dia hanya aku saja deh. Jadi, aku sudah hafal sekali dengan melakukan dia. Kadang pun dia curhat juga tentang masalah kehidupan pribadinya. Dia itu sebenarnya sih sudah malas pulang ke penari asuhan. Cita-citanya hanya ingin menjadi kaya!" Penjelasan Fika semakin menambah rasa curiga dalam diriku. Sebuah pikiran buruk pun berkelebat saat itu juga. Apa Lagi saat ini kan banyak sekali perempuan muda yang mengejar lelaki kaya dan sudah beristri hanya demi harta dan kemewahan. Seperti hal nya Adel
Bab 72Pagi ini aku dan Fika kembali ke rumah agak siang, karena tadi kami sempatkan membungkus soto daging yang terletak di pojok kompleks terlebih dahulu. Karena memang terkenal enak dan harganya terjangkau, pembeli harus rela antri apa lagi ketika weekend seperti ini.Aku dan Fika sepakat untuk berpikiran yang positif pada Nesya dan Mas Hasan. Sepertinya hubungan mereka hanya seperti ayah dan anak saja. Karena Fika pun yakin jika temannya itu anak baik-baik.Ketika telah sampai di rumah, malah ternyata Bi Nur telah siap dengan menu sarapan paginya. Nesya dan Mas Hasan pun juga telah duduk di meja makan."Mama dan Fika dari mana aja nih? Kok baru pulang? Tadi Papa coba hubungin ponsel kalian tapi ternyata nggak bisa, malah ponsel Mama juga ada di rumah." Mas Hasan menyambutku dengan beberapa pertanyaan."Lagi bungkus soto Pak Karimun ini tadi, Mas. Maaf ya tadi nggak ngasih kabar. Kamu dan Nesya sarapan dulu saja, biar aku dan Fika membersihkan diri dulu," ucapku sambil tersenyum. N
Bab 73Mas Hasan dan Nesya pun terus meyakinkan aku dan Fika jika mereka tak memiliki hubungan yang salah. Akhirnya, aku dan Fika menjadi percaya. Bahkan kami pun mengajak Nesya untuk berlibur ke kota Yogyakarta saat itu. Lumayan meski hanya dua hari, tetapi itu sudah bisa membuat pikiranku kembali tenang.Mas Hasan pun membelikan aku satu set perhiasan emas saat kami berada di kota gudeg. Pun Fika mendapatkan satu buah ponsel keluaran terbaru. Tentu saja kami merasa senang sekali saat itu. Pesta kebersamaan itu pun akhirnya harus selesai, karena mereka harus kembali beraktifitas. Mas Hasan malah terlebih dulu sejak pagi pamit berangkat ke luar kota, karena ada pembukaan proyek BUMN yang baru. Setelah ini Fika dan Nesya pun akan kembali ke Malang. Akhiranya rumah akan kembali sepi, hanya ada aku Lio dan juga Bi Nur saja."Ma, Fika berangkat dulu ya. Jangan mikir yang macam-macam lagi. Fika akan terus menyelidiki tentang Nesya juga nanti disana, " ucap Fika saat pamit ke kamarku sebel
Bab 74Bi Nur menautkan kedua tangannya, nampaknya dia sedang gelisah saat ini. Sudah lama wanita itu bekerja denganku, hampir selama umur Fika. Tetapi dia tak pernah tertutup ini, bahkan ketika dulu bercerita kepadaku tentang kelakuan buruk Mas Hasan padanya. Sepertinya memang ada suatu lagi yang dia ingin katakan lagi padaku saat ini.Kutepuk sisi ranjang di sebelahku. "Duduklah disini, Bi. Jangan tegang seperti itu dong. Tarik nafas dan katakan yang mengganjal di pikiran kamu," ucapku sambil tersenyum.Bi Nur pun akhirnya duduk dan mulai mau bercerita. "Saya ingin cerita, tapi tolong Nyonya jangan bilang pada Tuan Hasan, jika saya yang mengatakan hal ini ya," ucapnya yang tak ubah seperti orang memohon.Aku mengeryitkan dahi demi mendengarkan ucapan Bi Nur itu. Benar bukan tebakanku, semua ini pasti ada hubungannya dengan Mas Hasan.'Ya Allah kuatkan hati ini mendengar apa saja yang nanti akan diceritakan oleh Bi Nur. Semoga bukan kabar yang buruk," doaku seketika dalam hati. Sete
Bab 75Ternyata Mas Hasan dan Nesya memang pintar sekali untuk bersandiwara. Ingin rasanya saat ini aku mengatakan curahan dari Bi Nur kepada Fika, tapi aku takut jika hal ini hanya akan menganggu kuliah dia, apa lagi sebentar lagi dia akan ujian. Tetapi untuk hanya sekedar diam saja, rasanya aku terlalu menjadi istri yang bodoh."Aku harus menanyakan hal ini pada Mas Hasan!" ucapku sembari meletakkan Lio di ranjangnya, karena memang bayiku itu pun sudah terlelap.Segera aku pun mengambil ponsel yang sejak tadi ada di nakas, dan dengan cepat pula menekan nomer telepon Mas Hasan. Tetapi sampai lima kali percobaan panggilanku, nyatanya tak mendapatkan respon sama sekali dari suamiku itu."Apa mungkin Mas Hasan masih di jalan ya?" tanyaku pada diri sendiri. Karena memang tadi dia juga berkata kota yang akan dia tuju jauh dari sini. Dari pada aku semakin gelisah dan menjadi uring-uringan sendiri, aku pun akhirnya memutuskan melakukan sesuatu.Segera Aku pun melangkahkan kaki ke kamar tam
Bab 76Jika sekarang sudah seperti ini, maka aku pun harus menghubungi Fika. Tapi kembali aku ingat jika putriku itu baru saja berangkat, pasti saat ini dia juga dengan menyetir."Apa aku kirim pesan saja ya pada Fika?" tanyaku sambil menimang ponsel. Saat ini aku sudah kembali ke kamar, tak lupa kubawa pula foto dengan tulisan tangan Nesya tadi. Sepertinya dari tulisan tadi juga Aku mengambil kesimpulan jika Nesya bukanlah seorang teman yang baik, banyak hal yang gadis itu sembunyikan saat ini. Ternyata memang tak bisa kita melihat orang lain itu dari penampilan luarnya saja.Ketika aku akan mengetikkan pesan untuk Fika, malah Mas Hasan menghubungiku saat ini. Langsung saja aku menerima panggilan itu. Bismillah aku akan menanyakan semua ini langsung pada Mas Hasan, sebelum semuanya terlambat."Assalamualaikum, Dek. Ada apa tadi menelepon aku? Maaf tadi aku lagi ada di jalan, dan ini lagi break sebentar di rest area tol," ucap Mas Hasan memulai obrolan melalui sambungan telepon.Ku