Mbak Fatma mengusap bahu Malika prihatin. “Aduh Malika, kasihan deh kamu. Ketinggalan berita kayak gini. Memangnya Budhe Sun nggak pernah cerita ya? Nggak lama setelah kamu balik ke Jawa, Kak Mar menikah sama Koh Daniel. Anak sulungnya Pak Liong. Pemilik vila di bawah ituuu…” “Astogfirullooohhh. Masa sih? Tahunya aku, dia itu suaminya dari Cina, eh Hongkong, seperti yang diceritakan sama Adam kemarin.” “Heee... itu bukan suatu dosa, Malika. Kok kamu bilang begitu?” protes Mbak Fatma melihat Malika mengucapkan istigfar berulangkali. Malika geleng-geleng kepala. Masih sulit percaya. “Jadi Adam ituuu...?” “Iyaaaa..., Mas Adam tadi itu anaknya Kak Mar sama Koh Daniel. Cucunya Pak Liong. Pemilik vila di bawah itu. Mereka dulu tinggal di sana. Setelah Koh Daniel meninggal, disusul sama Pak Liong, kak Mar dan Adam pindah ke Bangli dalam keadaan miskin. Baru tiga tahun lalu...” terang Mbak Fatma sejelas-jelasnya. Bicaranya keras dan agak ngotot, seperti mau ngajak perang
Adam masih duduk di depan layar lap top. Konsentrasinya benar-benar lumpuh total. Tiga hari yang lalu, Maryati ibunda Adam melihat televisi. Kedua jemari tangannya tidak berhenti bergerak-gerak. Tawanya yang sesekali berderai mengiringi film komedi di layar televisi tidak mampu menyembunyikan kegalauannya. Adam yang menemani sang ibu nonton di sampingnya menangkap gerakan tangan itu dan segera tanggap apa yang tengah dirisaukan oleh ibunya. “Kapan terakhir cincin itu harus ditebus, Bu?” “Delapan hari lagi. Ibu sudah diberi tenggang waktu tiga bulan. Jika tidak ditebus akan hangus. Hilang. Tunggakannya masih separoh lagi, satu juta seratus ribu. Ibu sudah nggak punya apa-apa lagi untuk dijual. Tinggal lemari es..., “Jangan Bu. Ibu kan perlu untuk menyimpan es buah kalau masih sisa,” sergah Adam keberatan. “Coba nanti saya carikan uangnya. Ibu jangan khawatir. InsyaAllah cincin ibu akan kembali.” Maryati menatap putra tunggalnya sendu. Mengangguk pelan mesk
Pulang dari rumah Wulan, Malika dan kedua temannya langsung mampir ke rumah Maryati. Mereka berempat bernostalgia. Anton datang menyusul dengan motor bututnya. Membawa sekresek jeruk. Mengendarai motor butut tahun 1980-an warna merah. Suaranya bikin telinga bergoyang. Uthuk uthuk uthuk... Malika yang nelpon Anton karena Putu Astari dan Mbak Fatma masih ada kondangan ke rumah temannya sampai malam. Sementara itu tidak angkutan umum untuk pulang ke desa. Rumah Maryati yang biasanya sepi menjadi ramai. Maryati bahagia sekali kedatangan teman lamanya. Ia masak capcay telur puyuh dan goreng tempe mendoan. Dimakan selagi hangat sangat nikmat. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Maryati menceritakan kisah hidupnya. Sementara Adam dan Anton menyingkir ke teras usai makan, bermain gitar. “Bukan untuk pamer penderitaan atau mengemis simpati. Aku hanya ingin berbagi pengalaman. Kalau kita harus baik sama semua orang. Hati-hati sama orang terdekat, karena bisanya mereka yang
Siang itu Pramono termenung di balkon hotel bintang tiga yang di sewanya selama mengerjakan proyek di sini. Melepas kan pandang ke arah Gunung Arjuno di sebelah barat kota Malang. Pemandangan hijau dan hembusan angin mampu menyegarkan mata dan pikiran. Sebuah sorban warna putih membalut kepala Pramono. Bukan maksud hati bergaya seperti orang Arab, akan tetapi untuk melindungi kepalanya yang pening dari terpaan angin. Wajah Pramono begitu kuyu dan pucat. Penampilannya mirip pendekar Wiro Sableng kalah perang. Bibir Pramono yang coklat pucat mengunyah roti bantal pelan-pelan, diselingi minum teh panas. Memanglah, sejak empat hari lalu Pramono sakit demam tinggi. Tubuhnya menggigil. Nggruguh. Kepala cenut-cenut dan suhu tubuhnya mencapai 40 derajat celcius. Persis orang kena malaria. Darahnya juga sempat naik ke level 160. Namun, dokter bilang tidak ada gejala penyakit aneh. Hanya demam biasa dan kelelahan. Syukurlah, raganya yang rewel kini sudah membaik sete
MARIO JAYAATMO. Pemuda gagah itu berdiri di tepi jendela kaca lebar Tangan kirinya berkacak di pinggang, sedang yang kanan berpegangan pada tepi kelambu warna biru toscha berbahan lembut. Dari lantai dua kantornya ini, bandara Juanda terlihat ujung landasannya. Dari sini jaraknya hanya dua kilmeter saja. Sementara di atas langit kota Sidoarjo, lalu lalang pesawat tidak ada berhentinya. “Pak Pilot... Nyuwun duiteee...!” (Pak pilot... minta uangnya) Bos muda perusahaan distributor alat-alat Kesehatan dan rumah sakit Global Medical itu terkekeh mengingat masa bocahnya. Bersamaan dengan teman-temannya, serentak meneriakkan kalimat itu jika ada pesawat atau helikopter melintas di atasnya. Ketika berteriak begitu, urat leher bocah-bocah itu sampai kelihatan, dibarengi dengan tubuh yang melonjak-lonjak ke atas. Bahkan ada yang melepas bajunya dan dilambaikan ke atas. Berharap gempitanya didengar oleh sang pilot. Konyol dan norak banget. “Zaman anti masalah. Anti ga
Desi terkesiap dan mengeryitkan dahi tak habis pikir melihat foto yang terpampang dengan jelas itu. “Seperti Bu Malika... tapi lebih muda. Ah, mungkin foto lama sebelum pakai jilbab.” Desi memperhatikan sosok Mario dari belakang dengan tatapan aneh. “Kenapa Pak Mario menaruh profil kakaknya. Bukan foto sekeluarga atau pacarnya?” Ponsel Mario berdering. “Hai Leniii... sori nggak dengar telpon. Tadi aku silent, ada meting di kantor. Emmm... Rabu lusa aku ada acara kantor sampai hari sabtu.” “Terus, kapan ada waktu buatkuuuu...?” terdengar jelas suara wanita memelas. Mario terdiam sejenak, menatap lampu neon berbentuk panjang di sudut ruangan, “Eemm... setelah hari minggunya nanti kita rencanakan. Sudah ya. Aku masih sibuk.” Tanpa menunggu jawaban kekasih di masa SMUnya itu, Mario langsung mengakhiri panggilan Leni dan menaruh ponselnya di meja. Bibir Mario tersenyum separoh sambil mengangkat kedua tangannya. “Heemmm... anak-anak gadis banyak dramanya. Pingin ini,
"Katanya kalau banyak amal itu rejekinya akan bertambah, berkah. Aku kok malah hancur-hancuran seperti ini,” keluh Malika sambil tiduran di sofa. Lelah raganya usai membersihkan kamar mandi yang habis disedot karena sudah overload. Wajah Malika kuyu dan lesu. Matanya agak sembab karena semalam menangis, rindu sama suami dan anak-anaknya. Ditatapnya dengan malas lap top yang menyala atas meja. Baru saja Adam datang menyerahkan lap top dan langsung menghidupkannya. Setelah itu ia keluar lagi demi melihat wajah Malika ditekuk.Takut dicerkam kali yaaa...?! Bagaimana tidak mengeluh dan sedih, hari ini saja harus keluar uang untuk memperbaiki lap topnya yang rusak. Biaya delapan ratus ribu. WC kamar mandi juga meluber dan perlu disedot. Keluar lagi uang lima ratus ribu. Belum buat beli pulsa listrik dan bayar air yang nunggak selama enam bulan. Meski jarang dipakai tapi lumayan juga habisnya, dua ratusan ribu. “Uangku tinggal satu juta tujuh ratus. Pokoknya ha
Malam itu, Mario muncul di depan rumah Malika. Bersamaan dengan kepulangan anak-anak muda yang sejak siang tadi berlatih peran di rumah tersebut. Mereka berpapasan di halaman. Tinggal Adam dan Anton yang masih merevisi dialog. Malika yang keluar mengiringi kepergian anak-anak terlonjak kaget melihat kedatangan adiknya. Hampir tidak percaya. Tatapannya memaku pada sosok Mario yang berdiri di pinggir teras dengan bibir senyam-senyum. Hingga Mario beringsut mendatangi Malika dan berdiri tepat di hadapannya. “Malam-malam gini melamun, nanti kesambet setan lho,” canda Mario memencet hidung Malika. Malika gelagapan, tersadar dari lamunannya. Seketika merentangkan kedua tangannya dan memeluk tubuh Mario erat-erat. “Adikku Mariooo…!” lengkingnya dalam buncahan rasa haru sekaligus gembira. Kedatangan Mario seolah bagai obat untuk jiwanya yang sakit setelah hampir sebulan tidak bertemu. “Nggak bilang kalo mau datang,” sungut Malika memukuli gemas bahu adiknya. Tidak lupa