Air mata Nur mengambang. Baru kali ini dia mendengar Agus membentaknya. Wanita itu berjingkat kaget ketika mendengar pintu depan ditutup sedikit kasar. Nuraini segera keluar dari kamar mengikuti Agus sampai di car port. Laki-laki itu menatapnya sekilas, selebihnya memilih memasuki mobil."Mas! Buka dulu!" pinta Nur sambil mengetuk kaca mobil.Agus menurunkan kaca mobil. Namun dia tidak mau menatap istrinya. Nuraini segera mengulurkan tangan. Wanita itu meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Hati Agus terasa diremas sakit melihat perlakuan sang istri. Dia telah membentak wanita itu, namun Nur tetap menghargainya. Nuraini yang berusia jauh lebih muda, tetapi dengan cepat mampu memposisikan sebagai istri yang berbakti kepada suaminya.Tanpa terasa, Agus membandingkan perlakuan Nur dan Susan. Dulu jika mereka tengah bertengkar, Susan tak segan berkata dengan nada tinggi. Bahkan berani membentak Agus. Memang benar, masih banyak wanita berhati mulia di bumi ini. Salah satunya Nur
Kening Agus berkerut. "Salah aku?" ulangnya dengan mata menyipit.Nuraini kembali mendengus kasar. Dia memalingkan wajah dari suaminya itu. Melalui ekor mata, Nur melihat Agus tersenyum sambil menggelengkan kepala. Laki-laki itu pun meraih kepala sang istri dan menciumnya."Iya, maaf. Nanti kalau si Kembar sudah lahir, kamu harus masuk kuliah, Nur. Aku yang akan menjaga si Kembar.""Memangnya Mas sanggup ngatasi, kalau si Kembar nangis barengan minta susu?" tanya Nur sangsi. Bibir wanita itu mencebik seolah meremehkan kemampuan Agus. Kembali Agus tersenyum, kemudian mengangguk mantap."Bisaaa!" jawabnya yakin. "Namanya jadi ayah itu ya harus belajar otodidak, Nur. Prakteknya pakai anak sendiri. Ya, kali, pakai anak orang lain," lanjutnya menggoda."Nggak usah mikir ke mana-mana, Mas!" sentak Nur kembali cemberut. "Awas saja kalau sampai ngasih sinyal ke mereka!" ancamnya."Iya, iya. Aku kan bukan free WiFi, Nur," kekeh Agus sembari mulai melajukan mobilnya pelan.Nuraini kembali mend
Agustus menghentikan mobil di depan rumah Bu Halimah. Laki-laki itu menoleh pada Nur yang bersiap untuk turun. Agus mengulurkan tangan pada sang istri lalu mencium kening wanita itu."Jangan kecapekan ya, Sayang. Pulang dari kantor desa aku jemput," ucap laki-laki itu lirih.Nuraini mengangguk, lalu mencium punggung tangan sang suami. "Mas, hati-hati. Aku turun dulu. Mereka sudah pada ngumpul," ucapnya. Laki-laki tampan itu mengangguk. Dia mengikuti arah pandangan Nur ke halaman rumah Bu Halimah yang luas. Di sana telah ramai anak kecil. Termasuk Bianca, anaknya Alisha yang menuntun si kecil Alfa. Kedua bocah berusia hampir sepantaran itu berjalan tertatih dan sesekali terjatuh. Di belakang mereka, Farrel mengikuti anak dan keponakannya. Sesekali laki-laki jangkung itu membungkuk, membantu Alfa dan Bianca bangkit."Ya Allah, lucunya mereka, Mas. Bianca cantik banget. Alfa ganteng banget. Mereka terlahir dari bibit-bibit unggul," puji Nuraini sambil mengusap perutnya.Agustus terkeke
Belok? Tidak. Tidak semua orang yang bersikap dingin dan tidak mau menjalani hubungan dengan lawan jenis dalam waktu lama itu belok atau tidak normal. Termasuk Agus. Nur sangatlah yakin, suaminya itu laki-laki normal.Hanya saja, Agustus type laki-laki yang tidak mudah jatuh cinta dan selektif. Sepanjang acara ulang tahun Alfa, Nuraini lebih banyak diam. Setiap kali mendengar kata "gay, tidak normal, dan belok" Nur menjadi lebih sensitif. Dari dulu, dia terus menyakinkan diri jika Agus tidak seperti yang mereka katakan."Eh, Nur. Tuh, dijemput Pak Su!" Alisha menepuk pelan bahu Nuraini.Bukan hanya Nur yang mengikuti arah telunjuk Alisha, akan tetapi beberapa tamu undangan. Mereka senyum-senyum menggoda Nur yang langsung berwajah merona."Ciee, romantisnya Pak Lurah. Pak Agus memang bikin iri!" celetuk ibu-ibu sambil menyuapi cucunya.Agus terkekeh. Dia mendekati Alfa yang tengah duduk di antara Bianca dan Sofia. Agus lantas duduk di belakang ketiga anak itu. Dia menunduk, merangkul
"Iya, cepat, Mas! Jelasin, ada apa sebenarnya?" ulang Nur lagi dengan suara meninggi.Agustus memejamkan mata. Laki-laki itu menunduk dalam diam. Merasa tidak ada jawaban, Nur memegang kedua lengan Agus dan menggoyangkannya."Kenapa Mas diam? Buka lemari itu!" tunjuknya pada lemari berwarna putih gading itu. "Dulu Mas melarangku membukanya. Ada apa sebenarnya?" cecar Nur lagi. Wanita hamil itu menatap Agus dengan pandangan kabur karena tangis. Agus mengambil kunci lemari yang dia letakkan di dalam vas bunga. Dengan gerakan lemah dia mengulurkan kunci tersebut pada Nur.Nuraini tidak sabar untuk mengetahui isi lemari tersebut. Di situ, kembali matanya disuguhi pemandangan tidak biasa. Beberapa pakaian Sigit tergantung dan terlipat rapi di lemari rahasia itu. Dan juga...Foto Sigit dan Agus tergeletak di bawah gantungan baju. Keduanya terlihat mesra. Nur mengambil foto itu dan mengarahkan pada Agus."Apa ini, Mas? Apa ini?" tanyanya masih dengan nada tinggi. Kedua mata Nur menangkap
Bahu Agus meluruh mendengar permintaan cerai dari Nur. Dia berharap istrinya itu hanya emosi sesaat dan belum siap menerima kenyataan."Aku mohon, Nuraini, jangan minta cerai. Kamu boleh minta apa saja, asal jangan minta cerai, Sayang." Agus menekan suaranya supaya tidak didengar oleh orang lain.Nuraini memalingkan wajah. Rasanya muak sekali melihat laki-laki munafik di dekatnya itu. Nur menatap ke arah kantong infus yang menggantung di sebelah kirinya. Dia bersyukur ketika seorang perawat mendekat hendak mencopot selang infus.Dengan hati-hati, Agus menuntun Nuraini memasuki mobil. Dia tidak peduli dengan sikap tak acuh wanita itu. Agus menoleh sebentar sebelum melajukan mobilnya."Kita pulang ke rumah dulu, ya, Sayang," pinta Agus di tengah perjalanan."Terserahlah!" jawabnya tak acuh. "Mas Agus kan orang berkuasa makanya seenaknya sendiri!" lanjutnya masih dengan nada ketus.Agus berusaha bersabar. Laki-laki itu menarik napas pelan, kemudian mengangguk lemah. Dia memilih diam dari
"Kenapa ... kenapa, Ibuk juga berbohong? Kenapa Ibuk juga nggak bilang sama Nur kalau Mas Agus..." Nur kembali menangis.Wanita muda itu merasa Bu Mirna dan Agus bersekongkol menjebaknya. Ternyata Bu Mirna juga tahu jika Agus pernah terjebak dalam dunia salah pergaulan. Selain akrab dengan dunia malam pasca bercerai dengan Susan, ternyata Bu Mirna juga mengetahui jika anak lelakinya itu seorang gay.Napas Nur tersengal menahan sesak. Suami dan mertua yang pernah diagungkan sebagai manusia yang begitu baik ternyata berkhianat. Mereka sama-sama munafik. Lantas siapa lagi harus dia percayai? Nuraini mengusap perut buncitnya. Memikirkan nasib si Kembar kelak. Ternyata hidupnya yang begitu miris tidaklah cukup. Anak kembarnya juga harus merasakan hal yang sama.Bu Mirna mengusap bahu menantunya. Wanita paruh baya itu juga ikut menangis. "Maafkan Ibuk, Nduk. Ibuk juga baru tahu ketika Gino bertemu Ibuk di Malang. Ibuk nggak ingin kasih tahu kamu karena Ibuk nggak tega, Nur," akunya jujur.
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,