Arkasa menggenggam erat ponselnya, bersamaan dengan senyuman kecil yang terbit tipis di bibirnya. Dia tidak bisa menahan lengkungan itu lebih lama lagi. Untuk kali pertama dalam beberapa hari yang memuakkan ini, senyum itu akhirnya bisa kembali pada tempat seharusnya. Mendengar suara yang telah dia rindukan seolah mengisi kembali energinya. Awalnya Arkasa pikir Alana tidak akan menjawab panggilannya, namun ternyata wanita itu masih mau menjawabnya. Arkasa sudah menahan diri selama beberapa hari ini untuk tidak menghubungi Alana. Selain karena dia ingin memberikan Alana waktu untuk mencerna permasalahan mereka, dia juga tidak mau kehilangan kendali. Semakin Arkasa menghubungi Alana, dia akan semakin rindu dan tidak konsentrasi. Itulah mengapa dia memutuskan untuk baru menghubungi Alana sekarang. Debarannya kian berontak, ada berbagai hal yang harus segera dia selesaikan. Ketika pandangannya menemukan Arta diantara keramaian dengan membawa dua koper kearahnya, Arkasa mendekat dan lan
Alana mengerjapkan matanya berkali- kali saat sinar sang surya menembus jendela kamarnya. Dia melirik penanda waktu yang menunjukkan pukul delapan pagi. Ah sepertinya dia kesiangan lagi. Bangkit perlahan lalu meregangkan sendi-sendinya yang kaku. Alana sempat terdiam beberapa saat setelah menyadari sesuatu. Matanya yang masih belum terbuka sempurna menoleh kesamping, tidak ada apapun dan siapapun. Apa mungkin semalam hanya mimpi? Tapi kenapa rasanya nyata sekali? Alana bahkan masih bisa mencium aroma memabukkan milik Arkasa. Dia menyentuh bibirnya sendiri sembari menatap kosong kearah depan. Benar-benar tidak lucu kalau sampai ia memimpikan Arkasa sampai sebegitunya. Tapi semuanya benar-benar terasa nyata. Kalau iya, lantas dimana Arkasa sekarang? Dinara turun dari ranjang dan baru menyadari bahwa ia masih mengenakan kemeja putih milik Arkasa. Ketika tanpa sengaja dia berjalan melewati standing mirror di kamar, matanya membulat karena kancing bajunya sudah terb
Suasana mendadak hening. Alana yang terdiam canggung dan Arkasa yang hanya memusatkan seluruh perhatiannya pada wajah Alana yang masih bersemu. Lelaki itu menyadari sesuatu. Tulang pipi sang istri nampak semakin jelas, Arkasa rasa istrinya itu sudah kehilangan massa tubuhnya juga. "Kamu tidak terlihat baik- baik saja," ujar Arkasa dengan pandangan serius. Alana yang sudah mulai bisa mengendalikan diri kembali bersitatap dengan netra tajam yang seolah mengulitinya hidup- hidup. Alana menarik sudut kecil diujung bibirnya, "kamu juga tidak terlihat baik- baik saja," balasnya ketika mengamati lingkaran gelap dibawah mata Arkasa. Keduanya sempat tertawa sebentar. Mereka mungkin hanya tidak saling bertemu selama tiga hari. Namun dalam beberapa hari itu, keduanya menyimpan rindu yang sama. Mereka sama- sama ingin menyelesaikan permasalahan yang sempat mengganjal. Bahkan tanpa dikatakan lagi, keduanya pada akhirnya tahu bahwa mereka memang sudah saling jatuh cinta sedalam itu. "Karena ak
Dua insan yang masih bergelung dibawah selimut itu menautkan jari- jari mereka. Menikmati suasana siang hari temaram yang sangat jarang mereka habiskan untuk rebahan begini. Sesekali beberapa kecupan manis saling dilayangkan, pertanda mereka tengah dimabuk asmara.Alana mau tak mau absen dari aktivitas kantor hari ini. Sebenarnya itu bukan masalah besar mengingat hari ini memang tidak ada kegiatan yang mengharuskannya terlibat langsung. Rosaline bahkan langsung paham alasan ketidakhadiran Alana saat dia mendengar suara Arkasa menyapanya tipis di telepon tadi. "Selamat bersenang- senang, bu!" ujarnya riang lalu segera menutup panggilan. Dia masih bersandar di dada bidang Arkasa sembari memainkan tangan mereka yang tertaut lucu. Sesekali Alana menyusuri dada bidang Arkasa dengan jemari tangan sebelahnya."Alana.""Hm?"Tangan Arkasa menghentikan sebelah tangan Alana yang tengah bebas menyusuri kulitnya. Membawanya kearah wajah Arkasa, mengecupi tangan Alana dengan lembut nan dalam. "
Derai rambut berantakan tersapu angin namun tak wanita itu indahkan sama sekali. Langkahnya lebar tergesa setelah membayar taxi yang ditumpanginya. Begitu gerbang mansion mewah itu terbuka, tanpa ragu dia masuk kedalam dengan berlari. Beberapa sapaan ramah yang ia temui hanya dibalas sebisanya. Fokusnya hanya satu, menembus pintu megah utama, tempat dimana dia menghabiskan masa muda penuh kasih dan ambisi dahulu. Hanya selangkah lagi dan ia akan langsung memasuki ruang utama—dimensi yang membawanya kembali pada kelebat masa lalu. Nafasnya berat, mendadak bak terpenggal setengah- setengah. Namun bagaimanapun, dia tidak bisa mundur lagi. Kedua tangannya terkepal disebelah tubuhnya setelah menyeka beberapa bulir keringat yang menyapa pelipisnya. Dengan sisa ketegasan yang dimiliki, wanita itu mendorong pintu utama. Pandangannya terpaku lurus, menemukan sosok lelaki yang sudah tersungkur diatas lantai. Sudut bibir serta dahinya tertoreh luka dan beberapa bekas pukulan. Lelaki itu memb
"Kamu yakin mau tetap pergi?" Adara menarik dua sudut bibirnya untuk melengkung simetris, "aku sudah memikirkan ini sejak lama, ini keputusan akhir ku, Al," ujarnya mantap. Memang sejak lama Alana tahu bahwa Adara punya cita-cita mengembangkan salah satu anak bisnis ayahnya di luar negeri. Sebenarnya, itu juga destinasi yang sebelumnya telah Adara rancang untuk dia tinggali bersama Bayu dan anaknya. Namun setelah semua yang terjadi, Adara rasa dia memang hanya harus menjalani semua sendirian disana. "Kamu siap tinggal sendiri?" Biar bagaimanapun, Alana juga sadar bahwa sahabatnya itu belum sepenuhnya bisa mandiri. Membiarkan Adara pergi untuk tinggal disana sendirian cukup membuat Alana uring- uringan. Adara mengulas senyum remeh, "kamu lupa? aku disana mengurus perusahaan ayah, sudah pasti aku punya beberapa orang yang bisa diandalkan. Selain itu, aku punya banyak teman yang juga tinggal di Paris," ujarnya percaya diri. Alana mungkin sempat melupakan fakta bahwa Adara adalah
Sudah bukan rahasia lagi kalau Arkasa memang telah disiapkan sejak jauh- jauh hari. Bahkan ketika berita bahwa Arkasa Dean Pradipta kembali ke negri ini tersebar, seluruh bagian perusahaan telah menggemborkan bahwa pemimpin baru mereka telah tiba. Tanpa ada pengumuman dari Tuan Pradipta langsung pun, semua tahu singgasana itu memang telah disiapkan untuk Arkasa seorang.Kehadiran putra pertama Tuan Pradipta pagi ini di perusahaan juga menggemparkan seluruh penjuru. Meskipun lelaki itu hanya datang untuk memenuhi panggilan santai sang ayah, namun semua pegawai menyambutnya meriah. Bagaimana tidak? Arkasa selalu punya beribu alasan ketika sang ayah memintanya datang. Sebagai ganti, lelaki itu hanya akan menerima tugas dan menyelesaikannya di rumah. Dia tak pernah menginginkan credit apapun atas pekerjaannya. Namun pagi itu tentu saja berbeda. Arkasa memenuhi panggilan sang ayah untuk datang ke perusahaan. Lelaki itu berjalan penuh wibawa ditemani Arta yang mengarahkan menuju ruangan.
"Alana Diandra Yasmin..."Wanita itu mengerjap pelan saat menemukan netra elang yang tengah menatapnya lamat. Sapuan nafas hangat bergerilya setelah sang suami memasangkan sebuah kalung dengan liontin mungil namun manis di lehernya. "Hm?"Alana menipiskan bibir, menarik sedikit guna menampakkan senyuman jahil miliknya. Dua tangannya dia letakkan di depan dada Arkasa lalu memberinya sedikit dorongan agar tubuh besar itu tak lagi mengukungnya.Setelah tubuh besar itu mundur dua langkah memberinya jarak, Alana merapikan kembali detail pakaian suaminya dengan telaten. "Jangan mulai! Semua pasti sudah menunggu kamu sekarang," ujarnya lembut namun tetap saja penuh penekanan. Satu kerlingan iseng wanita itu sampirkan sebelum mengambil tas tangannya lalu berjalan lebih dulu meninggalkan sang suami yang sedang mencak- mencak dalam hati.Arkasa menghela nafasnya kasar. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk kembali menenangkan diri dan berdiri diatas kesadarannya. Lelaki itu lalu dengan la