Angin menyapa kulitnya yang terekspos, cukup dingin namun tidak sedingin raut wajah Alana sekarang. Netranya terus memicing curiga sembari menjaga jarak aman. Kali ini dia sama sekali tidak berusaha untuk terlihat ramah, terutama kepada manusia dihadapannya sekarang. Lelaki yang tengah berdiri jangkung nan angkuh sembari memamerkan lengkungan memuakkan di wajah tampannya. "Dalam mimpimu!" ketus Alana.Alis tebal si lelaki terangkat sebelah. senyumnya terukir culas ketika dia memandang Alana yang sama sekali tak mau bersikap ramah padanya. Satu kekehan kecil lolos dari bibirnya. Lelaki itu meletakkan sebelah tangannya di pembatas balkon sembari mengalihkan pandangannya dari Alana. Memilih untuk ikut meresapi udara malam yang membelai wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut- rambut halus."Kamu masih ketus seperti biasanya," ujarnya kini tanpa memandang Alana.Alana mengernyit, memang sambutan macam apa yang diharapkan dengan masa lalu mereka yang buruk itu? Alana bahkan sudah merasa lu
Terbangun dengan sedikit pening dan perasaan mengganjal jelas bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pagi hari Alana. Matanya mengerjap beberapa kali saat perlahan menyesuaikan sinar yang menyerang. Pemandangan pertama yang dia dapati adalah Arkasa Dean yang tengah mengenakan kemeja di depan cermin. Alana melirik jam dinding, ini pukul setengah tujuh pagi dan Arkasa sudah hampir siap dengan pakaiannya. Beberapa detik dia terdiam sampai akhirnya sadar akan sesuatu. Dengan sigap dia menyingkap selimut hendak berjalan keluar kamar."Mau kemana?" tanya Arkasa yang meliriknya dari pantulan cermin.Alana merapikan pakaian tidurnya, "aku belum nyiapin sarapan. Kamu harus ke kampus dulu kan pagi- pagi sebelum ke kantor?"Hari ini memang rencananya lelaki itu mengurus beberapa hal di kampus tempatnya mengajar sebelum secara penuh bekerja di perusahaan. Arkasa tersenyum tipis, dia menarik Alana perlahan untuk kembali duduk di ranjang. "Gak apa, sarapan roti aja bentar biar cepet. Kamu isti
"Kalau nanti misalnya kami minta tolong untuk hadir sebagai pembicara untuk mengisi seminar, masih bisa, pak?" Arkasa yang tengah memasukkan beberapa barang kedalam kotak tersenyum tenang menanggapi pertanyaan salah satu staf universitas."Tentu, dengan senang hati pasti saya hadir," balasnya. Beberapa dosen dan juga staf yang sering bergaul dengannya berkumpul sembari memberi beberapa kenang-kenangan untuknya. Seolah juga belum rela Arkasa pergi dari kampus secepat ini. Mereka menyayangkan tenaga cekatan dan kompeten seperti Arkasa harus hengkang. Tapi mau bagaimana lagi? pada awalnya pun mereka juga sangsi mengapa putra konglomerat negeri memilih menjadi dosen dibandingkan meneruskan perusahaan keluarga. Sedikit banyaknya mereka tahu hari ini akan tiba.Setelah menemui Rektor Universitas untuk pamit, Arkasa langsung kembali ke ruangannya guna mengambil beberapa dokumennya. Sebenarnya surat pengajuan pengunduran diri sudah dia kirimkan jauh sebelumnya, hari ini dia hanya berpamitan
Begitu Arkasa masuk kedalam ruangan rapat, auranya sama sekali tak bisa terbendung. Orang- orang yang tadinya masih saling berbincang langsung terdiam dan menyambutnya sopan. Netranya memindai sekeliling ruangan, melihat bagaimana para ketua divisi seperti menatapnya salah tingkah. "Baik, karena ini kali pertama saya disini, saya harap kita semua dapat saling membantu," ujarnya lantang dan tegas. Lambat laun tatapan asing tersebut dapat diredam, semuanya tenggelam dalam perbincangan serius pasal perusahaan. Rapat sekitar enam puluh menit itu pun berjalan dengan lancar tanpa hambatan berarti. Arkasa dan Arta meninggalkan ruangan rapat menuju ruangan kerja milik Arkasa. Ruangan tersebut sudah dipersiapkan sedemikian rupa, beberapa barang ataupun dokumen yang sebelumnya berada di rumah pun sudah dia letakkan di kantor. Setelah ini Arkasa akan lebih fokus mengurus pekerjaan disini.Netranya menatap tiap sudut ruangan yang terus mengingatkannya pada masa kecilnya dahulu. Masa-masa dima
Selimut bulu tebal menyelimuti tubuh ramping yang kini rebahan santai di depan televisi berukuran 70 inchi. Layar besar itu memutar satu judul film yang direkomendasikan salah satu platform berbayar. Meja bulat disebelahnya menyangga coklat panas dan beberapa makanan ringan. Sungguh hari santai yang jarang sekali bisa Alana Diandra rasakan.Tidak seperti kelihatannya, wanita itu sesungguhnya tak seratus persen fokus pada tayangan. Jemarinya sibuk memberi instruksi pada Rosaline tentang apa- apa saja yang perlu gadis itu lakukan selama Alana tak bisa berada di kantor. Selain itu, dia juga beberapa kali memantau perkembangan akun berita dan gosip.Berita tadi pagi tentu memberi sumbangsih besar terhadap gonjang-ganjing perusahaannya. Namun bukan Alana namanya jika tidak punya rencana cadangan terhadap segala hal. Meskipun mertua dan orang tuanya juga turut khawatir, Alana hanya bisa meminta mereka untuk tenang dan menunggu segalanya berjalan kondusif. Meski tidak melakukan apapun untuk
"Bu Alana mau istirahat saja? Kelihatannya pucat sekali." Rosaline menyadarkan Alana kembali dari pikirannya yang mengelana dalam. Wanita itu tersenyum singkat sembari menggelengkan kepalanya. "Aku baik- baik saja. Kamu tidak perlu khawatir," balasnya. Meskipun begitu, Rosaline tetap khawatir dengan kondisi atasannya tersebut. Dia bergegas meminta salah seorang office boy untuk membuatkan teh jahe dan bubur. Dia tahu Alana belum makan siang sama sekali. Ditambah lagi, dia memergoki sang bos beberapa kali bolak-balik kamar mandi untuk muntah. "Atau mau saya panggilkan Pak Arka untuk menjemput?" saran Rosaline yang mendapat gelengan keras lagi dari Alana. "Jangan! Jangan hubungi dia. Aku baik- baik saja," terang Alana lagi. Alana tidak bisa menemui Arkasa dalam keadaan begini setelah pertengkaran mereka dua hari lalu. Setelah hari itu, Alana bahkan belum bertemu Arkasa lagi di rumah. Lelaki itu benar- benar marah besar padanya dan tidak pulang ke rumah."Bagaimana aku bisa perca
"Kamu pasti berpikir sudah berada diatas awan, bukan?"Alana menyungginkan seutas senyuman miring meskipun tak ada satupun orang yang dapat melihatnya. Dia sudah tahu lambat laun si pelaku pasti akan menghubunginya. Satu panggilan masuk dari wanita yang namanya tengah disebut dimana-mana, Veronica Wijaya. "Memangnya apa yang aku lakukan? Apa hubungannya denganku?" tanya Alana dengan santai. Wanita dua puluh delapan tahun itu berani jamin bahwa semua kekacauan yang terjadi adalah ulah Veronica sendiri yang membuka celah. Segala pemberitaan yang menyeret Veronica pada akhirnya juga bukan tanggung jawab Alana sama sekali. Dia tak meminta siapapun untuk melakukan itu. Sekali lagi, Alana tak mau ikut- ikutan mengotori tangannya. Begitu panggilan ini masuk, secara tak langsung Veronica telah mengakui bahwa semua kekacauan ini berasal darinya. Niat hati ingin menyerang Alana tapi justru terperosok jatuh sendiri. Panggilan beberapa detik itu hanya ditanggapi santai oleh Alana. Pada akhirn
Satu berita mencengangkan tiba- tiba kembali menghantam setelah Veronica menghilang secara misterius. Kegemparan meningkat, apalagi dunia maya yang masih mempertahankan nama Veronica Wijaya di puncak trending. Semua tentu terkejut. Wanita nyentrik dengan kepercayaan diri tinggi memilih bunuh diri setelah semua perbuatannya terungkap. Siapa sangka akan berakhir tragis seperti ini? Apa yang ditabur itu juga yang dituai. Bahkan setelah kematiannya pun, semua permasalahan selama hidupnya masih terus digoreng massa. Ucapan belasungkawa terus naik ke permukaan meskipun tetap saja masih ada tangan- tangan jahat yang mengirimkan ketikan pedas tanpa nalar. Meskipun semasa hidupnya wanita usia empat puluhan itu punya banyak sekali kejahatan, bukan berarti penghinaan untuk kematiannya bisa dibenarkan. Warga yang berlindung dibalik identitas palsu dan seenaknya menebar kalimat tanpa bisa dipertanggung jawabnkan itu benar- benar menyeramkan.Nama Alana Diandra Yasmin pun masih ikut dicatut. Ada