"Bu Alana mau istirahat saja? Kelihatannya pucat sekali." Rosaline menyadarkan Alana kembali dari pikirannya yang mengelana dalam. Wanita itu tersenyum singkat sembari menggelengkan kepalanya. "Aku baik- baik saja. Kamu tidak perlu khawatir," balasnya. Meskipun begitu, Rosaline tetap khawatir dengan kondisi atasannya tersebut. Dia bergegas meminta salah seorang office boy untuk membuatkan teh jahe dan bubur. Dia tahu Alana belum makan siang sama sekali. Ditambah lagi, dia memergoki sang bos beberapa kali bolak-balik kamar mandi untuk muntah. "Atau mau saya panggilkan Pak Arka untuk menjemput?" saran Rosaline yang mendapat gelengan keras lagi dari Alana. "Jangan! Jangan hubungi dia. Aku baik- baik saja," terang Alana lagi. Alana tidak bisa menemui Arkasa dalam keadaan begini setelah pertengkaran mereka dua hari lalu. Setelah hari itu, Alana bahkan belum bertemu Arkasa lagi di rumah. Lelaki itu benar- benar marah besar padanya dan tidak pulang ke rumah."Bagaimana aku bisa perca
"Kamu pasti berpikir sudah berada diatas awan, bukan?"Alana menyungginkan seutas senyuman miring meskipun tak ada satupun orang yang dapat melihatnya. Dia sudah tahu lambat laun si pelaku pasti akan menghubunginya. Satu panggilan masuk dari wanita yang namanya tengah disebut dimana-mana, Veronica Wijaya. "Memangnya apa yang aku lakukan? Apa hubungannya denganku?" tanya Alana dengan santai. Wanita dua puluh delapan tahun itu berani jamin bahwa semua kekacauan yang terjadi adalah ulah Veronica sendiri yang membuka celah. Segala pemberitaan yang menyeret Veronica pada akhirnya juga bukan tanggung jawab Alana sama sekali. Dia tak meminta siapapun untuk melakukan itu. Sekali lagi, Alana tak mau ikut- ikutan mengotori tangannya. Begitu panggilan ini masuk, secara tak langsung Veronica telah mengakui bahwa semua kekacauan ini berasal darinya. Niat hati ingin menyerang Alana tapi justru terperosok jatuh sendiri. Panggilan beberapa detik itu hanya ditanggapi santai oleh Alana. Pada akhirn
Satu berita mencengangkan tiba- tiba kembali menghantam setelah Veronica menghilang secara misterius. Kegemparan meningkat, apalagi dunia maya yang masih mempertahankan nama Veronica Wijaya di puncak trending. Semua tentu terkejut. Wanita nyentrik dengan kepercayaan diri tinggi memilih bunuh diri setelah semua perbuatannya terungkap. Siapa sangka akan berakhir tragis seperti ini? Apa yang ditabur itu juga yang dituai. Bahkan setelah kematiannya pun, semua permasalahan selama hidupnya masih terus digoreng massa. Ucapan belasungkawa terus naik ke permukaan meskipun tetap saja masih ada tangan- tangan jahat yang mengirimkan ketikan pedas tanpa nalar. Meskipun semasa hidupnya wanita usia empat puluhan itu punya banyak sekali kejahatan, bukan berarti penghinaan untuk kematiannya bisa dibenarkan. Warga yang berlindung dibalik identitas palsu dan seenaknya menebar kalimat tanpa bisa dipertanggung jawabnkan itu benar- benar menyeramkan.Nama Alana Diandra Yasmin pun masih ikut dicatut. Ada
Ini semua mungkin hanya halusinasi.Alana duduk di sebuah kursi panjang ruang tunggu rumah sakit. Belum sepenuhnya pulih karena dia baru saja sadar dari pingsan. Beberapa denyutan nyeri yang bersarang di kepala menunjukkan eksistensinya membuat wanita dengan blazer coklat susu itu memejamkan lalu membuka kembali matanya. Sekretarisnya sedang menebus obat yang katanya telah diresepkan dokter. Ini mungkin sudah sepuluh menit sejak Alana keluar dari salah satu ruangan dihadapannya sekarang. Rosaline belum juga menunjukkan tanda- tanda kembali. Alana manyandarkan punggungnya lalu menghela nafasnya perlahan. Perkataan samar tadi bisa jadi hanyalah halusinasinya belaka. Dia baru saja sadar dari pingsan, jadi ada kemungkinan dia salah mendengar kalimat. Apalagi setelah itu dokter juga tak mengatakan apapun padanya, pun Rosaline yang hanya membawanya keluar ruangan lalu meninggalkannya lagi disini. Hamil? Kata itu belum sempat dia bayangkan. Ada perasaan campur aduk yang menyeruak saat men
"Mama dengar hari ini kamu pergi ke rumah sakit, ya?"Alana masih sibuk membasuh piring memunggungi mertuanya saat pertanyaan itu menyapa rungunya. Dia sudah tidak heran lagi, mama mertuanya itu punya banyak mata-mata. Apalagi rumah sakit yang dia datangi tadi siang juga merupakan salah satu yang berada dibawah pengawasan khusus keluarga Pradipta. Untungnya ada suara gemericik air wastafel, Alana memilih untuk pura- pura tidak dengar. Sepulang dari rumah sakit, tepat sekali mama mertuanya menelepon. Katanya ingin berkunjung sekaligus membawakan sup kesukaan Alana. "Alana?"Kali ini dia tidak bisa mengelak lagi karena sentuhan dingin mama mertuanya jelas terasa di punggungnya. Alana mempersiapkan ketenangan dan senyum santai seperti biasa sebelum membalik tubuh. "Iya, kenapa ma?" melanjutkan berpura- pura. Alana kembali berjalan mengitari meja makan sembari merapikan beberapa peralatan makan yang tersisa. Hendak kembali menuju tempat cuci piring ketika sang mama justru menahan lan
Arkasa Point of View Setelah memastikan bahwa Evanny ditangani dokter, aku masih berdiam diri di sebuah kursi panjang rumah sakit. Tubuhku mungkin berada disini, namun segala macam pikiran aneh sudah mengacaukan hampir setengah kesadaranku. "Mau sampai kapan lari begini?" Arta yang baru saja kembali setelah membelikan sebotol minuman dingin kini ikut duduk disebelahku. Mengenal Arta selama bertahun- tahun membuatku menetapkan garis yang jelas padanya. Kalau sedang mengurus pekerjaan kami memang terlihat kaku dan formal. Namun diluar jam kerja, Arta adalah sosok kakak yang ikut memberi beragam masukan padaku. "Enggak tahu, Ta!" ujarku sembari mengacak lagi rambut yang mulai tak rapi. "Bertahun-tahun kenal, baru kali ini saya melihat versi gengsian Pak Arkasa. Gak kasihan lihat istri pucat begitu? Apalagi tatapannya pedih sekali tadi," ujar Arta yang kian menambah gemuruh pedihku. Bohong kalau aku bilang tatapan sendu Alana tadi tidak menyumbangkan sembilan puluh persen kegelisa
"K-kenapa?" Arkasa tergelak akan perkataan istrinya. Dia menatap Alana dengan tatapan tak percaya. Apakah sangat mudah mengatakan kalimat itu? Astaga, apakah sebesar itu kekecewaan Alana padanya? Arkasa kalut dan kini semakin mengeratkan pegangannya pada Alana. "Aku gak bisa melepaskan kamu begitu saja! Maaf karena telah meninggalkanmu beberapa hari ini, tapi kemarahanku itu adalah karena aku khawatir. Aku gak mau kamu berada dalam situasi yang berbahaya karena terlibat dalam urusan orang- orang jahat diluar sana. Aku gak bisa lepasin kamu gitu aja, Al!" Tangis Alana semakin kencang sehingga dia bahkan kesulitan untuk mengucapkan kalimatnya dengan jelas. "Iya aku maafin. Aku juga minta maaf karena membuat kamu kecewa," ujarnya. "Lalu kenapa kamu minta pisah? Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku!" Arkasa tak bisa menahan tangisnya. Baru kali ini juga Alana melihat suaminya menangis begitu. Dengan cepat Alana menghempaskan kedua tangan Arkasa. "
Meskipun tidak tidur bersama Alana, Arkasa setidaknya bisa merasa lebih lega. Kini dia kembali tinggal bersama istrinya, bangun pagi dan sarapan bersama, serta berbincang banyak hal- hal acak. Senyuman pagi Alana selalu membuat harinya sejuta kali lipat lebih baik. Arkasa tidak bisa menahan diri untuk menciumi Alana meskipun wanita itu terkadang masih menolak untuk dekat- dekat dengannya. "Aku gak tahu kenapa, tapi semoga saja ini gak bertahan lama, mas!" ucap Alana ketika Arkasa menanyakan kapan masa pembatasan mereka akan berakhir. Tadi pagi Rosaline datang menjemput Alana karena wanita itu masih tidak mau satu mobil dengannya. Jadi Arkasa pada akhirnya memilih untuk membuntuti mobil Rosaline sampai istrinya tiba di kantor dengan selamat. Baru setelah itu Arkasa menuju kantornya. Arkasa tidak bisa memudarkan senyumnya barang sedetik pun. Moodnya hari ini jelas dalam kondisi yang luar biasa bagus. Dia bahkan mentraktir makan siang pekerja satu gedung hari ini. Arta yang mulai men