Ini semua mungkin hanya halusinasi.Alana duduk di sebuah kursi panjang ruang tunggu rumah sakit. Belum sepenuhnya pulih karena dia baru saja sadar dari pingsan. Beberapa denyutan nyeri yang bersarang di kepala menunjukkan eksistensinya membuat wanita dengan blazer coklat susu itu memejamkan lalu membuka kembali matanya. Sekretarisnya sedang menebus obat yang katanya telah diresepkan dokter. Ini mungkin sudah sepuluh menit sejak Alana keluar dari salah satu ruangan dihadapannya sekarang. Rosaline belum juga menunjukkan tanda- tanda kembali. Alana manyandarkan punggungnya lalu menghela nafasnya perlahan. Perkataan samar tadi bisa jadi hanyalah halusinasinya belaka. Dia baru saja sadar dari pingsan, jadi ada kemungkinan dia salah mendengar kalimat. Apalagi setelah itu dokter juga tak mengatakan apapun padanya, pun Rosaline yang hanya membawanya keluar ruangan lalu meninggalkannya lagi disini. Hamil? Kata itu belum sempat dia bayangkan. Ada perasaan campur aduk yang menyeruak saat men
"Mama dengar hari ini kamu pergi ke rumah sakit, ya?"Alana masih sibuk membasuh piring memunggungi mertuanya saat pertanyaan itu menyapa rungunya. Dia sudah tidak heran lagi, mama mertuanya itu punya banyak mata-mata. Apalagi rumah sakit yang dia datangi tadi siang juga merupakan salah satu yang berada dibawah pengawasan khusus keluarga Pradipta. Untungnya ada suara gemericik air wastafel, Alana memilih untuk pura- pura tidak dengar. Sepulang dari rumah sakit, tepat sekali mama mertuanya menelepon. Katanya ingin berkunjung sekaligus membawakan sup kesukaan Alana. "Alana?"Kali ini dia tidak bisa mengelak lagi karena sentuhan dingin mama mertuanya jelas terasa di punggungnya. Alana mempersiapkan ketenangan dan senyum santai seperti biasa sebelum membalik tubuh. "Iya, kenapa ma?" melanjutkan berpura- pura. Alana kembali berjalan mengitari meja makan sembari merapikan beberapa peralatan makan yang tersisa. Hendak kembali menuju tempat cuci piring ketika sang mama justru menahan lan
Arkasa Point of View Setelah memastikan bahwa Evanny ditangani dokter, aku masih berdiam diri di sebuah kursi panjang rumah sakit. Tubuhku mungkin berada disini, namun segala macam pikiran aneh sudah mengacaukan hampir setengah kesadaranku. "Mau sampai kapan lari begini?" Arta yang baru saja kembali setelah membelikan sebotol minuman dingin kini ikut duduk disebelahku. Mengenal Arta selama bertahun- tahun membuatku menetapkan garis yang jelas padanya. Kalau sedang mengurus pekerjaan kami memang terlihat kaku dan formal. Namun diluar jam kerja, Arta adalah sosok kakak yang ikut memberi beragam masukan padaku. "Enggak tahu, Ta!" ujarku sembari mengacak lagi rambut yang mulai tak rapi. "Bertahun-tahun kenal, baru kali ini saya melihat versi gengsian Pak Arkasa. Gak kasihan lihat istri pucat begitu? Apalagi tatapannya pedih sekali tadi," ujar Arta yang kian menambah gemuruh pedihku. Bohong kalau aku bilang tatapan sendu Alana tadi tidak menyumbangkan sembilan puluh persen kegelisa
"K-kenapa?" Arkasa tergelak akan perkataan istrinya. Dia menatap Alana dengan tatapan tak percaya. Apakah sangat mudah mengatakan kalimat itu? Astaga, apakah sebesar itu kekecewaan Alana padanya? Arkasa kalut dan kini semakin mengeratkan pegangannya pada Alana. "Aku gak bisa melepaskan kamu begitu saja! Maaf karena telah meninggalkanmu beberapa hari ini, tapi kemarahanku itu adalah karena aku khawatir. Aku gak mau kamu berada dalam situasi yang berbahaya karena terlibat dalam urusan orang- orang jahat diluar sana. Aku gak bisa lepasin kamu gitu aja, Al!" Tangis Alana semakin kencang sehingga dia bahkan kesulitan untuk mengucapkan kalimatnya dengan jelas. "Iya aku maafin. Aku juga minta maaf karena membuat kamu kecewa," ujarnya. "Lalu kenapa kamu minta pisah? Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku!" Arkasa tak bisa menahan tangisnya. Baru kali ini juga Alana melihat suaminya menangis begitu. Dengan cepat Alana menghempaskan kedua tangan Arkasa. "
Meskipun tidak tidur bersama Alana, Arkasa setidaknya bisa merasa lebih lega. Kini dia kembali tinggal bersama istrinya, bangun pagi dan sarapan bersama, serta berbincang banyak hal- hal acak. Senyuman pagi Alana selalu membuat harinya sejuta kali lipat lebih baik. Arkasa tidak bisa menahan diri untuk menciumi Alana meskipun wanita itu terkadang masih menolak untuk dekat- dekat dengannya. "Aku gak tahu kenapa, tapi semoga saja ini gak bertahan lama, mas!" ucap Alana ketika Arkasa menanyakan kapan masa pembatasan mereka akan berakhir. Tadi pagi Rosaline datang menjemput Alana karena wanita itu masih tidak mau satu mobil dengannya. Jadi Arkasa pada akhirnya memilih untuk membuntuti mobil Rosaline sampai istrinya tiba di kantor dengan selamat. Baru setelah itu Arkasa menuju kantornya. Arkasa tidak bisa memudarkan senyumnya barang sedetik pun. Moodnya hari ini jelas dalam kondisi yang luar biasa bagus. Dia bahkan mentraktir makan siang pekerja satu gedung hari ini. Arta yang mulai men
"Kamu jahat banget, Mas!" Alana menggelengkan kepalanya sembari meletakkan makanan yang dia bawa di meja tamu. Wanita itu sibuk menata makanan yang dia bawa untuk dinikmati sang suami. "Sekali-sekali memang harus dikasih paham!" Ujar Arkasa yang berjalan mendekati sang istri. Dia duduk di sofa, menunggu Alana selesai menyiapkan semuanya. "Memangnya dia sering begitu?" tanya Alana masih tidak memandangnya. "Yah gitu," balas Arkasa yang memberi kode lewat lirikan mata pada Arta agar tidak banyak bicara. Lelaki itu menahan cibirannya sembari menyusun berkas Arkasa yang hendak dia bagikan keluar. "Pak, Bu, saya pamit keluar dulu," ujar Arta undur diri. Alana mendongak, "ikut makan aja sini!" ajaknya. Arta menggeleng pelan, sudah siap dengan kumpulan dokumen milik Arkasa yang hendak dia teruskan pada Kepala Divisi. "Terimakasih tawarannya bu, tapi saya sudah makan. Pak Arkasa mentraktir makan siang seluruh pegawai hari ini," ujarnya memuji Arkasa. Alana melirik kearah suamin
"Aku sudah bilang kan? Kamu harusnya berhati- hati dengan Alana, dia bukan lawan yang mudah!" Tawa terbahak itu menggema memenuhi ruangan ketika wanita berambut panjang lurus baru saja memasuki flat kumuh. Diatas ranjang, lelaki yang tubuhnya mulai kurus itu akhirnya bangkit sembari menatap lucu wajah cemberut yang mendekat kearahnya. Wanita itu mendengus kasar lalu merebut puntungan rokok yang tadinya masih hinggap di bibir si lelaki. Ia melepaskan blouse pastel miliknya lalu seperti biasa memilih duduk di tepi jendela. Pikirannya kembali menerawang kearah gedung- gedung tua nan kumuh yang mengelilingi kediamannya. "Dia cukup teliti untuk bisa menemukan alat mahal yang kamu beli itu. Padahal itu berada di sisi yang tak akan dengan mudah dilihat siapapun. Untuk keberuntungannya kali ini aku mengakuinya," balas sang wanita. Lelaki kurus yang bertelanjang dada itu mendekat kearahnya sembari tersenyum licik. "Kemungkinan besar juga dia sudah tahu itu perbuatanmu. Aku pikir kamu sel
"Sudah dapat hasilnya?" Rosaline melangkah masuk ke dalam ruangan Alana dengan percaya diri. Dia membawa beberapa dokumen penting yang merupakan rangkuman hasil penyelidikannya selama beberapa hari belakangan. Berkat tugas tambahan yang bos cantiknya itu berikan, wanita dua puluh lima tahun itu sampai harus merelakan jam tidurnya. Meskipun begitu, dia tidak terlalu keberatan. Pasal komisi, Rosaline tak pernah kapok bekerja untuk tugas tambahan yang Alana berikan. Wanita itu terlalu dermawan dengan memberikan komisi ekstra yang jumlahnya mungkin cukup untuk membeli satu ponsel terbaru senilai dua digit. Selain itu, Rosaline juga merasa memiliki wadah yang tepat untuk menyalurkan bakat terpendamnya. Bukan hanya mampu mengorganisir dokumen dan jadwal dengan baik, gadis itu juga punya kemampuan merangkum gosip dan mengumpulkan bukti- bukti otentik. Hasilnya hampir seperti detektif- detektif yang dimunculkan dalam drama. Mungkin pengaruh drama yang banyak ditonton olehnya juga. Hari in