Rama langsung menaikan alis, begitu melihat Bima sudah duduk dengan tidak sopan di atas sofa kamarnya. Di hadapan kembarannya itu juga ada Jenna, yang masih merengut sama sekali tidak mau nenatapnya.
“Ck..ck.. kayaknya wakil presiden direktur kita ini punya banyak waktu luang ya sampai bisa pulang di waktu istirahat yang mepet banget ini.” Ucap Bima sebelum memindahkan lima tusuk sate bebek ke piringnya sendiri.
“Berisik.”
“Bim! Jangan di abisin, kamu udah makan banyak tadi.”
“Duh, lo minta lagi aja nanti sama Hubert.”
“Bima.” Satu terguran dari Rama membuat Bima meletakan kembali tusuk sate yang sudah di genggamnya, laki-laki itu menyerahkan piringnya kepada Jenna dengan wajah merengut.
“Pelit.” Desisnya sebal.
“Kamu udah makan dua puluh tusuk tadi, aku baru sepuluh tusuk sama yang ini.”
“Argh! Telefon Hubert dong, suruh beli sate bebek ini lagi. Enak banget.”
“Bilang sendiri sana.” Bima lagi-lagi merengut karena mendapat pengusiran tidak langsung dari saudaranya.
“Ck, iya gue pesen sendiri ke Hubert. Sekalian pesen Aoyama Anmitsu dari Haagen Dazs, enggak usah minta lo.” Tunjuk laki-laki kekanakan itu kepada Jenna, padahal tahun ini mereka sama-sama berusia dua puluh tujuh tahun.
“Ih, curang!” Jenna langsung mencak-mencak karena Bima langsung kabur setelah menjulurkan lidah untuk meledeknya, biasanya perempuan itu akan mengadu kepada Rama. Tapi kali ini Jenna memutuskan untuk menelan kekesalannya, ia akan memberikan Bima pelajaran nanti setelah puas merajuk kepada Rama.
***
“Masih ngambek?” Rama bertanya karena Jenna masih terus mendiamkannya selama lima belas menit, seluruh makanan di atas meja bahkan sudah habis tapi perempuan itu masih belum mau menatap wajahnya.
“Haah, padahal lo enggak perlu repot mikirin soal gaji lagi sih. Gue udah minta orang untuk ngurus surat pengunduran diri lo dari minimarket itu.”
“Ha?”
“Gue enggak mau lo kerja di sana lagi.” Jawab Rama dengan santai.
“Kamu pasti bercanda kan?”
“Enggak, lo memang enggak akan kerja di sana lagi. Anggep aja ini hukuman karena lo udah bohongin gue kemaren.”
“Ram!” Mata Jenna sudah berkaca-kaca, ia tidak menyangka kalau Rama akan dengan tega merenggut satu-satunya mata pencahariannya seperti ini.
“Lo bisa balik ke sini lagi, kerja di rumah ini.” Hah, Jenna benar-benar tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran laki-laki itu.
“Kamu.. pernah enggak sih Ram mikir, kenapa aku mutusin untuk berhenti jadi pelayan di rumah ini dan kekeh pengen tinggal di luar perumahaan khusus karyawan keluarga Sore?.” Keluarga Sore memang mempunyai komplek khusus bagi para perkerjanya, Jenna yang dulunya adalah pelayan di keluarga tersebut menempati salah satu rumah di kompek tersebut sampai sekarang karena bujukan Maira. Nyonya rumah yang baik hati.
“Itu semua karena kamu.” Jenna mengepalkan telapak tangannya, ia benar-benar merasa sangat kecewa dengan tindakan Rama kali ini.
“Sikap seenaknya kamu ini yang bikin aku mau pergi dari keluarga Sore, dan sekarang sekali lagi kamu bikin aku ngerasa bener-bener harus pergi. Kali ini aku pengen pergi dari hidup kamu supaya aku bisa tenang ngelakuin apa aja yang aku mau.”
“Jangan coba-coba Jenna!” Rama langsung mencengkram lengan Jenna dengan kasar, emosinya kembali tersulut setelah Jenna mengatakan keinginannya untuk pergi dari hidupnya.
“Kamu selalu ingetin aku, berkat siapa aku bisa hidup sampai detik ini.” Jenna sudah mulai terisak, wajahnya memerah karena tangis.
“Kalau gitu, gimana kalau aku kembaliin kehidupan aku ke keluarga kamu Ram. Setelahnya biarin aku bebas.”
Rama mengunci pintu kamarnya dengan cepat, di belakangnya Hubert hanya diam dan menyerahkan troli berisi piring sisa makanan Jenna kepada pelayan perempuan yang menunduk di sampingnya. Mereka semua menutup mata pada jeritan dan tangisan permintaan tolong Jenna yang tidak ingin di kunci di dalam kamar.“Awasin Jenna dari kamera pengawas dan jangan biarin sembarangan orang masuk ke kamar ini.” ucap Rama dengan dingin, laki-laki itu juga sudah mengamankan beberapa benda pecah belah dan juga benda-benda tajam di dalam kamarnya, ia khawatir Jenna akan mencoba melukai dirinya sendiri untuk mewujudkan ucapannya mengembalikan ‘kehidupan’ yang sudah keluarga Sore berikan untuk perempuan itu.Jenna adalah anak perempuan yang tidak sengaja di temukan Maira di jalanan, anak perempuan dengan wajah oriental itu sedang berusaha melarikan diri darikejaran beberapa preman ketika akhirnya nyaris tertabrak mobil yang di tumpangi oleh nyonya keluarga Sore. Maira da
Rudi mengumpat, sudah satu bulan ini Jenna tiba-tiba saja menghilang. Ia sudah mendatangi minimarket tempat perempuan itu bekerja, bukannya menemukan Jenna laki-laki itu justru mendapat kabar kalau pacarnya itu sudah tidak lagi bekerja di sana.“Brengsek.” Rudi menggenggam polsel bututnya gemas.“Rud.”“Eh, bang.” Laki-laki itu berusaha mengontrol mimik wajahnya begitu Karyo, ketua preman di tempat tinggalnya mendekat.“Gue harus nunggu sampe kapan ini?! Lo kebanyakan nanti tau enggak.”“Eng, sabar sebentar ya bang. Jenna lagi enggak bisa di hubungin.”“Cewe lo tau akal-akalan lo kali, di tinggal lo sekarang.”“Enggak bang, enggak mungkin itu. Jenna enggak sepinter itu soalnya.” Ucap Rudi dengan yakin, ia sudah enam bulan mengenal Jenna. Perempuan polos dan baik hati itu sangat mudah percaya pada orang lain termasuk mempercayai akal-akalan yang ia buat
Jenna sama sekali tidak menoleh ketika mendengar suara pintu kamar di buka dan kemudian di tutup, perempuan itu juga sama sekali tidak mengubah posisinya yang sedang tidur dengan posisi miring menghadap jendela besar di samping ranjang ketika seseorang bergabung bersamanya di atas ranjang.“Hey, udah makan?” Jenna memilih tidak menjawab, ia masih terus diam hingga seseorang di sampingnya beralih menelefon bu Asih dan menanyakan semua pertanyaan yang tidak mau Jenna jawab.“Hubert bakal bawain makanan, makan ya. Gue suapin.” Rama mengatakan itu sembari menggulung lengan kemejanya, laki-laki itu juga berpindah posisi ke sisi dekat jendela agar bisa lebih leluasa memandangi Jenna.“Lo tau Jenna, laki-laki yang sama lo di mall waktu itu dateng ke sini kemaren.” Rama tersenyum dingin begitu melihat Jenna mulai memberikan reaksi.“Gue penasaran, kok lo bisa pacaran sama laki-laki bar-bar kaya gitu? Sama sekali enggak pu
Jenna mengulurkan segelas air putih dingin yang langsung di minum oleh Maira, setelah meletakan gelas kosong di samping nakas Jenna baru melangkah menaiki sisi ranjang yang kosong dan bersiap untuk tidur.“Bunda kenapa?” Tanya Jenna karena sejak tadi ia merasa Maira terus memandang ke arahnya.“Bunda kangen, peluk bunda sini.” Jenna tertawa, perempuan itu kemudian sedikit bergeser agar bisa bergelung dengan nyaman di dalam dekapan malaikat penolongnya.“Kamu baik-baik aja kan?”“Jenna baik bunda.” Jenna merasakan Maira tersenyum sebelum membelai rambut hitamnya dengan penuh sayang.“Gaul sama ibu-ibu sosialita bermuka dua itu bikin bunda jadi lebih perasa loh Jen, bunda juga jadi bisa bedain kapan seseorang berbohong atau enggak.”Jenna begitu saja mengeratkan pelukannya setelah mendengar kalimat Maira.“Sekarang bunda juga tau kalau kamu bohong.”“Bunda..”“Stt, enggak apa-apa sayang. Enggak apa-apa..” Jenna mulai terisak.“Engga
Jenna mengikuti Bima yang baru saja memasuki sebuah studio foto, laki-laki itu sepertinya cukup terkenal di sana karena beberapa orang yang berpapasan dengan Bima berhenti untuk memberikan salam.“Wah siapa nih?”“Ck, jangan macem-macem. Punya Rama nih.” Samar-samar Jenna mendengar Bima berbisik kepada salah seorang kru studio yang menyambutnya.“Duh ini si princess yang jadi bahan gosip di tempat tongkrongan ya?”“Iya.”“Ya kalau bentukannya begini sih, gue juga enggak akan noleh kanan-kiri.”“Bacot.” Ke dua laki-laki itu terkekeh, sedangkan Jenna kebingungan.“Bim.” Jenna menarik ujung jaket Bima pelan.“Eh, Nik mana?”“Di dalem, masuk aja.” Bima menganggukan kepala, kemudian menggandeng Jenna memasuki satu ruangan dengan bertuliskan ‘staff only’.“Ini studio punya kenalan gue Jen, dulu h
Rama menunggu dengan gelisah, matanya terus saja mengamati kamera keamanan yang secara khusus tersambung dengan televisi di dalam kamarnya. Laki-laki itu sedang menunggu Jenna yang seharian ini pergi bersama Bima.“Brengsek! Mereka ngapain aja sih sampai hampir jam makan malem begini belum juga pulang.” Rama sudah mengambil ponselnya dan bersiap menghubungi saudaranya itu, namun niatnya ia urungkan begitu melihat mobil Bima baru saja terpakir di basement.“Bunda!” Rama bisa mendengar jerit kebahagian Jenna ketika menuruni anak tangga, benar saja begitu sampai di ruang keluarga laki-laki itu menemukan Jenna sedang memeluk bundanya dengan erat. Perempuan itu juga membawa Maira melompat-lompat saking kesenangannya.“Jenna dapet pekerjaan bund, gajinya besar. Bima bilang, Jenna udah bisa mulai mikirin dari sekarang mau kuliah apa mau kursus.”“Wah, selamet ya sayang. Bunda ikut seneng dengernya.”“M
Rudi mengendap-endap, di pundaknya sudah tersampir ransel besar. Laki-laki itu hendak melarikan diri kerena hingga saat ini Jenna belum juga bisa di hubungi sedangkan hutangnya kepada Karyo semakin menumpuk selama dua bulan ini.“Brengsek, gara-gara perempuan sialan itu hidup gue jadi enggak tenang begini.” Maki Rudi setelah berhasil keluar dari gang tempat tinggalnya, laki-laki itu sedang berusaha mencari tumpangan dari kendaraan yang melaju di jalan besar sekarang.“Liat aja, kalau ketemu nanti. Gue bakal bikin Jenna ngebayar semuanya.”“Sebelum itu, gimana kalau lo urus utang lo sama gue dulu Rud.”“Eh, bang..bang Karyo.”“Mau ke mana Rudi?” tanya si ketua preman sembari menunjuk ransel yang tersampir di pundak laki-laki tersebut.“Itu.. anu bang, gue..”“Ck..ck..ck.. kalau mau pergi, lo harus lunasin dulu semua utang lo ke gue kan?” Rudi langsung melarikan diri begitu Karyo memberikan tanda kepada anak buahnya, laki-laki itu berlari seku
“Tunda aja meetingnya sampai jam dua nanti.”“Baik pak. Oh, data orang yang bapak minta waktu itu sudah saya taro di meja bapak.”“Oke.”Rama menyimpan kembali ponselnya, sebenarnya hari ini pekerjaannya cukup padat. Tapi Jenna adalah prioritasnya sekarang, pertengkaran mereka beberapa waktu lalu benar-benar membuat Jenna menjadi lebih waspada. Karena itu Rama berusaha keras memanjakan Jenna agar perempuan itu kembali mempercayainya.“Kenapa?”Tanya Rama begitu mendapati Jenna menekuk wajahnya.“Perasaan yang ngelola perusahaan keluarga itu kamu, tapi kok Bima yang sibuk banget ya?” tanya Jenna sembari menyimpan ponselnya di atas meja.“Maksudnya?”“Aku ngajak Bima ikut kita ke Setiabudi pulang kerja nanti, tapi dia enggak bisa katanya. Sibuk.”“Dia lagi banyak project mungkin, maklumin aja ya.” ucap Rama se