Jenna terbangun dan langsung terkesiap, seluruh tubuhnya benar-benar terasa nyeri sekarang. Wajah oriental Jenna juga langsung menegang begitu mendapati jam di atas nakas menunjukan pukul setengah satu siang, ia sudah sangat terlambat untuk bekerja.
“Arh! Ck, pasti potong gaji lagi.” Gerutu perempuan itu dengan sebal sembari meremas-remas bed cover yang menutupi tubuh telanjangnya dengan gemas.
“Kenapa enggak ada yang banguni aku sih.”
“Kami bisa kena masalah kalau tuan Rama sampai tau.”
“Astaga!” Jenna spontan memegangi dadanya, ia terkejut karena tidak mengira ada orang lain di kamar itu.
“Ck, bu Asih! Kasih tanda dong kalau ada di kamar ini juga, aku kan kaget. Untung eggak jantungan.” Perempuan paruh baya yang di panggil bu Asih hanya tersenyum kemudian bergerak membuka tirai, cahaya yang masuk langsung membuat mata Jenna sakit.
“Kamu mau tirainya di tutup lagi?”
“Oh, enggak. Biarin aja.” Bu Asih menurut, perempuan dengan seragam playan khas keluarga Sore itu kemudian bergerak untuk membereskan semua ke kacauan yang di buat oleh majikannya semalam.
“Biarin aja bu, biar Jenna nanti yang beresin.”
“Enggak apa-apa Jenna, sekarang mendingan kamu siap-siap karena sebentar lagi terapis kamu akan datang.”
“Terapis?”
“Iya, tuan muda Rama udah manggil terapis untuk kamu. Katanya biar kamu enggak ngambek kalau bangun terus badannya sakit-sakit.”
“Ck, aku tetep bakalan ngambek. Soalnya hari ini Rama bikin aku kehilangan uang gaji aku seratus ribu.” Gerutu perempuan itu sembari melangkah dengan tertatih-tatih memasuki kamar mandi, Jenna sama sekali tidak menyadari tatapan sendu pengasuh Rama untuknya.
Semua pekerja di rumah keluarga Sore tau sepolos apa Jenna, perempuan yang sudah menjadi yatim piatu sejak kecil itu mudah sekali di bodohi dan Rama sering memanfaatkan kepolosan Jenna untuk mendapatkan keinginannya. Para pekerja itu masih butuh pekerjaan, karena itu mereka diam dan enggan memberi Jenna pengertian kalau apa yang tuan muda mereka lakukan kepada gadis itu adalah tindakan yang seharusnya tidak di biarkan.
“Selamat siang tuan muda.” Bu Asih langsung mengangkat panggilan video dari Rama begitu ponsel khususnya berdering, setiap pekerja yang bertugas menjaga Jenna akan di berikan ponsel khusus oleh Rama.
“Jenna udah bangun?”
“Sudah tuan, sedang di kamar mandi.” Bu Asih baru menyelesaikan kalimatnya ketika Jenna keluar dengan wajah yang jauh lebih segar, perempuan itu juga mengenakan jubah kamar mandi milik Rama yang tentu saja sangat kebesaran di tubuhnya yang mungil.
“Itu Rama ya bu? Sini, aku mau ngomong.” Bu Asih langsung menyerahkan ponselnya dan kembali melakukan tugasnya, perempuan paruh baya itu mengabaikan Jenna yang merengut di sofa bundar.
“Hai, terapis lo sebentar lagi dateng. Sabar ya.” Rama salah mengartikan raut wajah cemberut Jenna.
“Kenapa kamu larang bu Asih bangunin aku? Aku jadi enggak bisa kerja kan, tau enggak akibatnya apa? potong gaji, Ram!”
“Ck, nanti gue ganti gaji lo. Dua kali lipat.” Jenna hanya memutar mata mendengar kalimat angkuh dari sang tuan muda.
“Hubert lagi siapin makan siang, lo makan di kamar aja ya.”
“Eng, Bima ada di rumah kan? Mau makan sama Bima aja di bawah nanti.”
“Jenna..”
“Di kamar sepi Ram, mana enak makan begitu. Pokoknya mau makan di bawah, sama Bima. Titik.” Jenna menggembungkan ke dua pipinya, jika sudah begitu Rama tidak bisa melakukan apapun lagi untuk membujuknya.
“Oke, kalau gitu lo makan siang sama gue. Di kamar.”
“Hah?”
“Lo bilang enggak mau makan siang di kamar sendirian kan? Gue pulang sekarang dan temenin lo makan siang. Oh, enggak ada bantahan, oke.” Rama memutuskan panggilan sepihak, Jenna bahkan belum sempat melakukan protes atas keputusan semena-mena laki-laki itu.
Rama langsung menaikan alis, begitu melihat Bima sudah duduk dengan tidak sopan di atas sofa kamarnya. Di hadapan kembarannya itu juga ada Jenna, yang masih merengut sama sekali tidak mau nenatapnya.“Ck..ck.. kayaknya wakil presiden direktur kita ini punya banyak waktu luang ya sampai bisa pulang di waktu istirahat yang mepet banget ini.” Ucap Bima sebelum memindahkan lima tusuk sate bebek ke piringnya sendiri.“Berisik.”“Bim! Jangan di abisin, kamu udah makan banyak tadi.”“Duh, lo minta lagi aja nanti sama Hubert.”“Bima.” Satu terguran dari Rama membuat Bima meletakan kembali tusuk sate yang sudah di genggamnya, laki-laki itu menyerahkan piringnya kepada Jenna dengan wajah merengut.“Pelit.” Desisnya sebal.“Kamu udah makan dua puluh tusuk tadi, aku baru sepuluh tusuk sama yang ini.”“Argh! Telefon Hubert dong, suruh beli sate bebek i
Rama mengunci pintu kamarnya dengan cepat, di belakangnya Hubert hanya diam dan menyerahkan troli berisi piring sisa makanan Jenna kepada pelayan perempuan yang menunduk di sampingnya. Mereka semua menutup mata pada jeritan dan tangisan permintaan tolong Jenna yang tidak ingin di kunci di dalam kamar.“Awasin Jenna dari kamera pengawas dan jangan biarin sembarangan orang masuk ke kamar ini.” ucap Rama dengan dingin, laki-laki itu juga sudah mengamankan beberapa benda pecah belah dan juga benda-benda tajam di dalam kamarnya, ia khawatir Jenna akan mencoba melukai dirinya sendiri untuk mewujudkan ucapannya mengembalikan ‘kehidupan’ yang sudah keluarga Sore berikan untuk perempuan itu.Jenna adalah anak perempuan yang tidak sengaja di temukan Maira di jalanan, anak perempuan dengan wajah oriental itu sedang berusaha melarikan diri darikejaran beberapa preman ketika akhirnya nyaris tertabrak mobil yang di tumpangi oleh nyonya keluarga Sore. Maira da
Rudi mengumpat, sudah satu bulan ini Jenna tiba-tiba saja menghilang. Ia sudah mendatangi minimarket tempat perempuan itu bekerja, bukannya menemukan Jenna laki-laki itu justru mendapat kabar kalau pacarnya itu sudah tidak lagi bekerja di sana.“Brengsek.” Rudi menggenggam polsel bututnya gemas.“Rud.”“Eh, bang.” Laki-laki itu berusaha mengontrol mimik wajahnya begitu Karyo, ketua preman di tempat tinggalnya mendekat.“Gue harus nunggu sampe kapan ini?! Lo kebanyakan nanti tau enggak.”“Eng, sabar sebentar ya bang. Jenna lagi enggak bisa di hubungin.”“Cewe lo tau akal-akalan lo kali, di tinggal lo sekarang.”“Enggak bang, enggak mungkin itu. Jenna enggak sepinter itu soalnya.” Ucap Rudi dengan yakin, ia sudah enam bulan mengenal Jenna. Perempuan polos dan baik hati itu sangat mudah percaya pada orang lain termasuk mempercayai akal-akalan yang ia buat
Jenna sama sekali tidak menoleh ketika mendengar suara pintu kamar di buka dan kemudian di tutup, perempuan itu juga sama sekali tidak mengubah posisinya yang sedang tidur dengan posisi miring menghadap jendela besar di samping ranjang ketika seseorang bergabung bersamanya di atas ranjang.“Hey, udah makan?” Jenna memilih tidak menjawab, ia masih terus diam hingga seseorang di sampingnya beralih menelefon bu Asih dan menanyakan semua pertanyaan yang tidak mau Jenna jawab.“Hubert bakal bawain makanan, makan ya. Gue suapin.” Rama mengatakan itu sembari menggulung lengan kemejanya, laki-laki itu juga berpindah posisi ke sisi dekat jendela agar bisa lebih leluasa memandangi Jenna.“Lo tau Jenna, laki-laki yang sama lo di mall waktu itu dateng ke sini kemaren.” Rama tersenyum dingin begitu melihat Jenna mulai memberikan reaksi.“Gue penasaran, kok lo bisa pacaran sama laki-laki bar-bar kaya gitu? Sama sekali enggak pu
Jenna mengulurkan segelas air putih dingin yang langsung di minum oleh Maira, setelah meletakan gelas kosong di samping nakas Jenna baru melangkah menaiki sisi ranjang yang kosong dan bersiap untuk tidur.“Bunda kenapa?” Tanya Jenna karena sejak tadi ia merasa Maira terus memandang ke arahnya.“Bunda kangen, peluk bunda sini.” Jenna tertawa, perempuan itu kemudian sedikit bergeser agar bisa bergelung dengan nyaman di dalam dekapan malaikat penolongnya.“Kamu baik-baik aja kan?”“Jenna baik bunda.” Jenna merasakan Maira tersenyum sebelum membelai rambut hitamnya dengan penuh sayang.“Gaul sama ibu-ibu sosialita bermuka dua itu bikin bunda jadi lebih perasa loh Jen, bunda juga jadi bisa bedain kapan seseorang berbohong atau enggak.”Jenna begitu saja mengeratkan pelukannya setelah mendengar kalimat Maira.“Sekarang bunda juga tau kalau kamu bohong.”“Bunda..”“Stt, enggak apa-apa sayang. Enggak apa-apa..” Jenna mulai terisak.“Engga
Jenna mengikuti Bima yang baru saja memasuki sebuah studio foto, laki-laki itu sepertinya cukup terkenal di sana karena beberapa orang yang berpapasan dengan Bima berhenti untuk memberikan salam.“Wah siapa nih?”“Ck, jangan macem-macem. Punya Rama nih.” Samar-samar Jenna mendengar Bima berbisik kepada salah seorang kru studio yang menyambutnya.“Duh ini si princess yang jadi bahan gosip di tempat tongkrongan ya?”“Iya.”“Ya kalau bentukannya begini sih, gue juga enggak akan noleh kanan-kiri.”“Bacot.” Ke dua laki-laki itu terkekeh, sedangkan Jenna kebingungan.“Bim.” Jenna menarik ujung jaket Bima pelan.“Eh, Nik mana?”“Di dalem, masuk aja.” Bima menganggukan kepala, kemudian menggandeng Jenna memasuki satu ruangan dengan bertuliskan ‘staff only’.“Ini studio punya kenalan gue Jen, dulu h
Rama menunggu dengan gelisah, matanya terus saja mengamati kamera keamanan yang secara khusus tersambung dengan televisi di dalam kamarnya. Laki-laki itu sedang menunggu Jenna yang seharian ini pergi bersama Bima.“Brengsek! Mereka ngapain aja sih sampai hampir jam makan malem begini belum juga pulang.” Rama sudah mengambil ponselnya dan bersiap menghubungi saudaranya itu, namun niatnya ia urungkan begitu melihat mobil Bima baru saja terpakir di basement.“Bunda!” Rama bisa mendengar jerit kebahagian Jenna ketika menuruni anak tangga, benar saja begitu sampai di ruang keluarga laki-laki itu menemukan Jenna sedang memeluk bundanya dengan erat. Perempuan itu juga membawa Maira melompat-lompat saking kesenangannya.“Jenna dapet pekerjaan bund, gajinya besar. Bima bilang, Jenna udah bisa mulai mikirin dari sekarang mau kuliah apa mau kursus.”“Wah, selamet ya sayang. Bunda ikut seneng dengernya.”“M
Rudi mengendap-endap, di pundaknya sudah tersampir ransel besar. Laki-laki itu hendak melarikan diri kerena hingga saat ini Jenna belum juga bisa di hubungi sedangkan hutangnya kepada Karyo semakin menumpuk selama dua bulan ini.“Brengsek, gara-gara perempuan sialan itu hidup gue jadi enggak tenang begini.” Maki Rudi setelah berhasil keluar dari gang tempat tinggalnya, laki-laki itu sedang berusaha mencari tumpangan dari kendaraan yang melaju di jalan besar sekarang.“Liat aja, kalau ketemu nanti. Gue bakal bikin Jenna ngebayar semuanya.”“Sebelum itu, gimana kalau lo urus utang lo sama gue dulu Rud.”“Eh, bang..bang Karyo.”“Mau ke mana Rudi?” tanya si ketua preman sembari menunjuk ransel yang tersampir di pundak laki-laki tersebut.“Itu.. anu bang, gue..”“Ck..ck..ck.. kalau mau pergi, lo harus lunasin dulu semua utang lo ke gue kan?” Rudi langsung melarikan diri begitu Karyo memberikan tanda kepada anak buahnya, laki-laki itu berlari seku