Acara syukuran dan pengajian berlangsung lancar hari itu meskipun Ustaz Bashor sedikit terganggu oleh hadirnya jamaah yang melontarkan pertanyaan secara tidak langsung tentang Selina. Dia bersyukur bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik. Tidak berdusta tetapi menjelaskan dengan cara yang bijak dan tetap menjaga nama baik keluarga dan pesantren.Acara selesai sampai menjelang magrib. Beberapa jamaah yang merupakan orang tua santri seringkali meluangkan waktu mereka yang cukup singkat itu untuk meluapkan rasa rindu mereka pada putra-putri mereka. Ustaz Bashor pun dengan bijak memberi mereka waktu karena dia sendiri sebagai orang tua bisa merasakan apa yang mereka rasakan.Rindu adalah penyakit dan bertemu adalah obatnya.Dua teman Selina masih berada di sana. Mereka masih betah berada di lingkungan pesantren. Terlepas dari kepentingan masing-masing. Mereka juga tak sungkan membantu Selina, membereskan bekas acara meskipun sebetulnya ada pihak panitia yang tak lain berasal
Saat istirahat makan siang, Selina pergi ke cafetaria sekolah sendirian. Biasanya ia pergi ke ke sana bersama Zahrana. Namun semenjak kepergiannya ke Bandung Zahrana belum menampakan batang hidungnya di sekolah.Mungkin ia masih ijin cuti, pikirnya. Ia berusaha mengabaikan kejadian waktu itu tetapi ternyata sukar. Ia masih mengingat bagaimana Aqsa tersenyum pada Zahrana sewaktu dinner di restoran. Rasa cemburu hinggap di hatinya tanpa harap.Cemburu pada yang semu.Namun saat yang sama ia juga teringat seseorang. Selina hampir jatuh dari tangga jika seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dan bermata elang tak menolongnya.Siapakah lelaki itu?Tanpa sadar, beberapa kali ia berpapasan dengan lelaki itu. Beberapa barang miliknya terbawa olehnya.Masih ingatkah goodie bag yang tertukar?Atau syal putih yang jatuh lalu terinjak olehnya?Lelaki yang sama tentunya, yang ternyata tunangan dr Areeta.‘Ah, itu tak penting,’ batinnya menepisnya.Selina memesan teh manis hangat dan mie bakso untuk
Sementara itu Adam disibukan kembali dengan urusan toko lampu hias. Hari itu setelah mengecek toko yang berada di beberapa titik sekitar Cianjur, ia langsung pergi ke Cisarua. Tujuannya tentu untuk menemui Aqsa.Sayang, Aqsa tak ada di rumah, ia masih berada di kantornya. Dengan emosi yang sudah mendidih di ubun-ubun kepalanya, ia menemui Aqsa.Nekad. Adam menyusul Aqsa ke kantor.Entah apa yang tengah berkecamuk di pikirannya. Ia sangat ingin memberinya pelajaran.Adam langsung menerobos pintu lift hendak naik ke lantai dua di mana Aqsa berada. Beberapa karyawan telah mengingatkannya bahwa Aqsa sedang sibuk karena kedatangan tamu. Namun Adam sudah dibutakan oleh emosi, ia abaikan peringatan mereka.“Hei, itu orang gak sopan banget! Udah dibilangin jangan masuk,” ucap salah satu karyawan.“Biarin aja, nanti dia pasti kena marah Pak Aqsa langsung,” sahut yang lainnya.“Gimana sih! Kita yang bakalan kena omel bukan orang itu. Apa kita panggil security?”“Tenang aja aku udah telepon ke as
Shiza menangkup wajahnya dengan ke dua tangannya. Ia menangis. Entah apa alasan yang membuatnya menangis. Apakah sedih karena Aqsa dipukuli ataukah sedih karena Adam bisa bersikap setega itu. Mungkin keduanya.“Za, kamu kenapa?”Aqsa heran melihat sikap adiknya yang terasa berlebihan. Seharusnya yang menangis Aqsa yang teraniaya.“Nggak, Mas,” jawabnya dengan bahu yang berguncang. Tak pandai berbohong, body language Shiza menunjukan bahwa ia bersedih bukan karena sang kakak melainkan karena sesuatu yang tak dipahami. Hanya ia sendiri yang mengerti perasaannya saat ini. Memang urusan hati itu sangat rumit. Lebih rumit ketimbang soal geometri.“Iya, Shiza, kamu kok yang nangis? Harusnya Masmu yang nangis kesakitan. Lah ini kamu,” ucap Rakha melirik padanya.Shiza buru-buru menyeka air matanya dan mendongak melihat langit-langit.“Kelilipan, perih, apa sih debu main masuk aja ke mata,” gumam Shiza membuat Rakha menatapnya heran.Sungguh tak masuk akal air mata yang mengalir deras disebab
“Mau aku antar ke dokter?” tawar Nisa.Adam hanya menggeleng pelan. Ia lalu berusaha berdiri sekuat tenaga tetapi karena merasakan sekujur tubuhnya sakit, ia malah terjatuh. Spontan Nisa membantu Adam berdiri hingga ia bisa bertumpu pada pegangan besi. Lalu ia beringsut menjauh dari Adam sembari mengeluarkan air mineral dan satu strip obat anti nyeri yang selalu ia bawa.“Minumlah!”Nisa menyodorkan air dan obat itu ke tangan Adam. Adam malah memandang Nisa dengan lekat.Apakah ia jodohnya? Batin Adam berbisik seperti itu.Mengapa dipertemukan dalam kondisi yang kurang menguntungkan baginya. Namun ia rela andaikata dihajar terus security itu apabila ia bisa bertemu dengan bidadari bercadar itu setiap hari.Merasa Adam memperhatikannya, Nisa memalingkan wajahnya. Nisa sadar Adam tengah memperhatikannya.“Aku pamit pergi,” katanya sembari melangkahkan kakinya meninggalkan Adam. Adam mendengus kesal karena ia belum sempat menanyakan siapa nama gadis itu dan mengucapkan terima kasih. Ia
Selina menjinjing sepatu pantofelnya dan berjalan mengendap-endap seperti seorang maling yang takut ketahuan. Ya, ia sangat takut berhadapan dengan umminya. Sadar diri, ia telah melakukan kesalahan dengan mendatangi Shiza. Umminya akan segera mencecarnya dengan berbagai pertanyaan interogasi ala detektif swasta. Selina berjalan lewat pintu belakang. Ia merasa lega karena rumah kosong sepertinya abah dan umminya tak ada di rumah. Selina menarik knop pintu kamarnya dan merangsek masuk. Usai rapat yang amat melelahkan membuatnya ingin segera meloncat ke atas kasur. Punggungnya terasa sakit akibat duduk lama saat rapat berlangsung di sekolah. Ia menaruh sepatunya ke dalam walk in closet di mana di dalamnya terdapat bufet kaca khusus tempat menaruh pakaian dan sepatu. Sebelumnya tak ada walk in closet di kamarnya hanya saja karena merasa pakaian dan barang-barangnya terlalu banyak, ia meminta dibuatkan walk in closet yang menampung semua koleksi barang pribadinya. “Jatoh eh jatoh,” Sel
Ummi Sarah terlihat sedang mencari jawaban atas pertanyaan Selina, menebak-nebaknya. “Um, jujur, Ummi gak tahu Nak,” singkat Ummi Sarah. Benar apa kata Selina, mengapa secepat itu dr. Mahendra membatalkannya? “Ummi, apakah dr. Andra tak sabar ingin segera menikah begitukah?” tanya Selina yang masih dibayangi penasaran. “Ada banyak kemungkinan,” Ummi Sarah mengedikkan bahunya. Ia tampak kecewa sekali. Yup, benar. Ummi Sarah yang kelihatan kecewa. Sebenarnya Ummi Sarah mengkhawatirkan nasib takdir cinta Selina. Ia berpikir penyebab batal taaruf ialah karena nasab seperti halnya keluarga Aqsa. Mungkin mereka malu kelak saat ijab qabul terjadi ternyata menantunya tidak dinikahkan oleh Ustaz Bashor di mana semua orang mengira beliau lah ayahnya. Kabar Mahendra membatalkan proses taaruf sudah sampai di telinga Hawa dan Fadel. “Serius Yang?” tanya Fadel tak percaya. Ia menutup koran yang ia baca lalu dilipat dan ditaruh di atas meja. Ia beringsut duduk di dekat sang istri di sofa panj
Tak butuh waktu lama bagi Darius mencari keberadaan rumah Alana. Ia meminta asistennya untuk mencarinya. Sehari setelah insiden ‘one night stand’ keesokan harinya barulah mereka bisa menemukan alamat rumah Alana.Mahendra merasa was-was tatkala kakinya terayun masuk ke dalam rumah Alana yang sederhana. Entah, perasaannya itu sulit sekali dilukiskan dengan kata-kata. Tak mau durhaka pada kedua orang tuanya ia mengikuti keinginan mereka untuk mempertanggungjawabkan apa yang Mahendra lakukan dengan cara menikahinya.Kedatangan Mahendra dan ke dua orang tuanya disambut baik oleh ibunya Alana bernama Kiran. Sebagai wali, Darius menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah mereka untuk melamar Alana.Ternyata Kiran tak tahu kronologi kejadian sebenarnya yang menimpa putrinya. Sebelumnya Darius ingin menjelaskan ihwal insiden yang terjadi di antara Mahendra dan Alana tetapi demi menjaga aib ke duanya ia urungkan. Apalagi sang ibu sepertinya tidak tahu karena putrinya sendiri yang belum cerita.