Sosok dengan sweater hijau itu langsung berhenti di ambang pagar rumah. Dia tetap membelakangiku. Tangannya terlihat bergoyang-goyang, seperti seseorang yang salah tingkah.
"Siapa?" Aku bertanya seraya mendekatkan diri dengan hati-hati kepadanya.Aku mengedarkan pandangan ke sekelilng sekilas, keadaan masih sepi, belum ada tetangga yang keluar di jam-jam subuh begini."Kamu siapa? Ayo, berbalik! Tunjukan wajahmu." Aku makin mendekat, dan ketika pundaknya aku gapai ...."Kamu?" Aku mundur beberapa langkah, ketika mengetahui siapa si sosok sweater hijau itu. "Sardin, ngapain kamu di sini?" Tatapanku menajam."Aku ...." Sardin mengusap tengkuknya seraya melirik kanan-kiri. "Aku hanya lewat saja tadi, tapi tiba-tiba saja aku seperti melihat seseorang di samping rumahmu. Makanya, aku sempat memeriksanya tadi. Tapi, ternyata tidak ada apa-apa."Aku memerhatikan secara saksama raut wajah Sardin ketika menjawab pertanyaanku. Pria dengSuara tembakan terdengar dan salah satu dari mereka menggeram kesakitan, sedangkan yang satunya tampak syok karena baru saja menembak seorang polisi. Ya, pemuda yang aku perkirakan usianya baru tujuh belas tahun itu telah melepaskan tembakan pada Polisi Joshi. "Tangkap dia cepat!""Ayo, tangkap dia!"Beberapa orang polisi segera meringkus anak muda itu yang sedang berdiri dengan tatapan syok, sedangkan aku segera menghampiri Polisi Joshi yang sedang merising. "Kau baik-baik saja?" tanyaku panik. "Saya baru saja ditembak, dan kau bertanya baik-baik saja? Oh, astaga!" Polisi Joshi menatapku jengkel sambil menggenggam lengannya yang banjir darah. Tembakan tadi membuat lengan polisi itu bocor. Untung pelurunya mengenai bagian lengan, bukan di perut atau di kepala. Segera aku mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Lantas, mengikat kain tersebut di lengan Polisi Joshi guna menghentikan pendarahan. Tatapan kami bertemu
Aku kehilangan keseimbangan juga orang tersebut, membuat kami berdua terjatuh dengan aku yang menindih tubuhnya. Aish! Pandangan kami bertaut beberapa saat, aku tidak bisa mengalihkan tatapan pada siapa yang sedang berada di bawahku. Merasa kaget, lagi-lagi tubuh ini menimpa dirinya. "Kamu?!" sentaknya seraya mendorong tubuhku menjauh. "Benar-benar cewek agresif!" dengkus pria itu seraya meringis memegang lengannya yang tertembak tadi pagi. Ya, pria itu adalah Polisi Joshi. "Maaf, maaf ...." Aku hendak membantunya bangun, tetapi dia malah menepis tanganku. "Kenapa kamu selalu mengambil kesempatan dengan terjatuh di atas saya? Kau menyukaiku? Hm." Polisi Joshi berujar pelan seraya mengikis jarak, aku impulsif mundur. "Tidak! Kau sendiri ngapain di sini? Bukannya kau lagi sakit? Ini pasar malam bukannya rumah sakit," ucapku cepat seraya melirik kiri kanan. Merasa gugup dengan sikap Polisi Joshi yang terus mengayunkan kaki mendekat deng
Gerimis mulai turun, orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Angin pun berembus kencang, menerbangkan daun-daun kering ke sana kemari. "Bagaimana, masih mau pulang sendiri?" tanya Polisi Joshi di depan sana. Aku segera memutuskan berlari ke mobilnya sembari memayungi kepala dengan telapak tangan. Halah! Percuma. Sesampainya di dalam mobil Polisi Joshi juga aku harus tetap memayungi kepala dari titik-titik air hujan yang turun membasahi bumi, sebab mobil jeep Polisi Joshi ini tidak memiliki atap. Polisi Joshi langsung mengemudikan mobilnya dengan cepat, menembus rintik hujan yang mulai deras. Namun, saat melewati jalan raya yang sangat sepi, Polisi Joshi tiba-tiba menginjak rem mendadak. Hampir saja kepala membentur dashboard mobil, jika dia tidak sigap mengulurkan tangannya, melindungi kening ini dari dashboard. "Kenapa kamu mengerem mendadak?" tanyaku kesal seraya mengusap wajah yang mulai dibanjiri air hujan.
Lagi-lagi wanita tua itu datang ke rumahku dengan wajah yang memerah. Dia berteriak dan mencaci makiku, sedangkan diri ini hanya tertegun kebingungan. "Bukankah semalam kalian pergi berdua? Apa yang kau lakukan sampai anak saya terluka parah seperti itu?!" Wanita yang mengenakan daster merah terang itu hendak mencakar wajahku, sontak aku mundur beberapa langkah. "Aku tidak melakukan apa pun pada Sardin. Kami semalam tidak ....""Halah! Pembohong, pembunuh!" pekik Bu Sarti memotong kalimatku. "Cukup!" bentakku keras. Hanya aku yang harus mendengarkan tuduhannya, sedangkan dia sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasanku. Benar-benar egois. "Berhenti menuduh aku sebagai pembunuh! Selama ini aku masih mencoba untuk menghormati Anda." Aku berucap penuh penekanan, memaksa berani untuk melawan semua tuduhan ini. "Apa buktinya jika aku yang sudah membunuh Alina dan Sardin? Memang apa yang terjadi dengan dia? Kami semal
Seketika aku menunduk kala Fadli menoleh ke arahku. Bibir ini tidak hentinya menggumam, semoga Fadli tidak menyadari kalau aku sedang mengintip dan memerhatikan semua aktivitasnya sejak tadi. Selang beberapa menit menunduk, perlahan-lahan aku meluruskan tubuh. Menyibak tirai jendela sedikit, kembali hendak mengintip di luar sana. Namun, Fadli sudah tidak berada di sana. Halaman belakang rumahnya kini telah kosong. "Air apa tadi? Kenapa Fadli mengelilingi rumahnya dengan air tadi?" Aku mengetuk-ngetuk dagu seraya berpikir. Tingkah Fadli sangat aneh, terlebih ketika ditanyai oleh Pak Kasim, dia malah menjawabnya dengan kebohongan. Seketika aku mulai menaruh curiga kepada pria yang kuanggap alim tersebut. Aku beranjak mendekati laci tempat tidur. Menarik laci tersebut dan mengeluarkan secarik foto yang pernah aku dapatkan di rumahnya. "Gambar siapa kira-kira yang ada di dalam foto ini?" Aku mengamati secara saksama secarik foto yang seb
Aku mundur beberapa langkah dari Fadli seraya melepas paksa tangannya yang masih menggenggam bahu ini. Pria berkulit hitam manis itu menyorotiku dengan tatapan sangat intens. Aku seperti tidak mengenal Fadli yang ini, dia seperti orang lain. "Fa-Fadli, kau kenapa? Aku tidak mengerti dengan apa yang semua kau katakan." Pelipis ini kupijit, guna menghilangkan rasa pusing. "Aku mencintaimu, Nia. Sangat. Menikahlah denganku. Aku akan membuat kamu dan Alisa bahagia. Selamanya," tutur Fadli dengan pandangan berharap. Dia kembali mendekat, tetapi aku impulsif mundur lagi. "Tidak! Aku tidak bisa. Aku hanya menganggapmu sebagai suami dari sahabat karibku, Alina. Aku juga tidak mungkin menghianati persahabatan kami dengan merebut suami dan anaknya!" tandasku menggebu-gebu. Mataku terasa memanas, lalu mulai dialiri cairan bening. "Kau tidak merebut apa pun, Nia. Justru kau membantu menjalankan tugas sahabat karibmu jika menikah denganku. Kau ak
Tanganku dipegang erat-erat oleh seseorang. Aku meronta-ronta dengan kondisi menutup mata. Seseorang itu menyentakku dan meminta untuk bangun. Seketika aku membulatkan mata dengan degup jantung yang menggila. Wajah Polisi Joshi memenuhi indra penglihatan. Dia tampak mengenyitkan alis, memandangku serius. Ketika dia bergerak, cahaya matahari yang masuk lewat ventilasi udara langsung membuat mataku silau. "Uhm." Mata ini menyipit, kembali Polisi Joshi menghalangi cahaya matahari itu dengan kepalanya. "Kau? Di sini?" Sekarang gantian alisku yang mengernyit. Perlahan-lahan aku menarik tangan yang masih dia cekal. Aku bangkit dari tempat tidur sembari memegang kepala yang teramat sakit. Aku merasakan ada sesuatu membalut kening ini. "Kamu pingsan semalaman." Polisi Joshi menjelaskan. Dia bangkit dari ranjang tempat tidurku, menuju ke kursi belajar. "Semalam saat kamu menelepon, saya merasakan bahwa kamu dalam keadaan y
Dengan penuh kehati-hatian, malam ini aku mencoba memeriksa halaman belakang rumah Fadli. Aku mulai mencurigai pria beranak satu itu, walaupun dia tidak ada di kampung saat malam kejadian. Bisa sajakan dia pulang sementara di malam itu hanya untuk melenyapkan istrinya. Seperi biasa, malam hari Fadli akan melaut. Aku sudah melihat dia pergi dengan motor bisingnya itu. Sekitar jam delapan malam, aku mengendap-endap menuju ke halaman belakang rumah Fadli. Di sini terdapat banyak tumbuhan. Ada beberapa bunga, sayur, dan pohon-pohon pisang. Tidak lupa aku membawa cangkul untuk menggali tanah di sekitar pohon pisang guna mencari barang bukti tersebut. Aku sangat yakin, golok yang digunakan untuk membunuh Alina pasti dikubur di sekitar pohon-pohon pisang ini. Pasti akan kutemukan. "Ugh!" Aku mulai mencangkul tanah becek itu. Ternyata mencangkul sebuah tanah itu adalah suatu pekerjaan yang berat. Lenguhan keras keluar begitu saja dari mulutku, mewakil