Uhh! Badanku rentek semua. Mungkin karena sudah lama nggak begituan.
Aku masih berdiam diri di balik selimut yang berbagi dengan laki-laki yang semalam dengan perkasanya memberikan kenikmatan batin untukku.
Kutengok ke samping. Masih dengan mimpinya yang indah dia terpejam. Hanya segaris senyum tipis terlihat di bibirnya dengan mata terpejam.
Aku mengelus pipi dengan rahang kokoh itu.
"Tampan." batinku sambil tersenyum. Bagaimana bisa aku meninggalkannya, kalau laki-laki ini sekarang jadi canduku?
Semakin ku pertegas elusan di pipinya. Kuurai rumbai rambutnya yang menutupi dahinya. Laki-laki muda yang usianya jauh di bawahku. Mampu membuat aku bertekuk lutut.
Dengan hangat kusentuh dahi, mata, dan hidung itu dengan bibirku. Dan ku putus sentuhan itu ketika mendekati bibir kokohnya itu. Aku menarik kepalaku ke belakang. Tapi sesaat sudah terbenam di dalam rahang-rahang kokoh itu.
Ray melahap habis bibir dan lid
Hallo pembaca yang budiman, Saya up lagi, silahkan memnikmati. Dan jangan lupa klik vote, bintang, dan juga koment nya. 😊
Aku hanya bergeming ketika sudah sampai di tempat yang di maksud. Sebuah tempat yang nyaman, di sebuah mobil yang terbilang besar. Di dalamnya ada tempat untuk menjamu tamu yang datang. Di sana juga sudah ada sosok yang sangat ku kenal. Nathan! Ternyata ini semua sudah bagian dari rencananya. Aku tak menyangka kalau dia akan serius dengan ucapannya waktu itu. Dan aku kira apa yang sudah aku sampaikam waktu itu akan menjadi pemikiran buat orang tua Nathan terutama mamanya. Aku jadi pusing di buatnya. Ada rasa nggak enak tiba-tiba menjelma di hatiku. "Masuk, Move. Kita bicara di dalam." ucap mamanya Nathan pendek yang kusambut dengan anggukan. Setelah aku duduk berhadapan dengan laki-laki itu, lalu mama Nathan pun duduk di samping putranya. "Begini, Move. Tante to the point saja. Nathan menyukaimu dan dia ingin kamu menjadi istrinya. Tidak peduli dengan masa lalu kamu, meskipun kamu seorang janda atau mungkin kehidupanmu lebih susah daripada kam
"Hei! Stop! Stop--!" Aku panik melihat Ray yang kalap. Dan Nathan tak sedikitpun melawan. Ray tidak menghiraukan teriakanku, bahkan dia terus merangsak maju menggapai tubuh Nathan yang kekar. Memukulnya lagi dan menendangnya. Mencengkram leher laki-laki dewasa itu. "Ray! Cukup! Aku mohon!" teriakku sambil berlari menghampiri mereka berdua, mencoba melerai Ray yang sudah siap memukul Nathan lagi. Dan-- "Bukk-- Gelap! Aku merasakan gelap gulita, seolah tak ada pencahayaan. Bahkan aku merasakan sendiri dalam kegelapan itu.Lama-lama aku merasakan sesak napas dan sulit sekali bernapas. Ni---tt-- Suara itu terdengar setelah aku sudah nggak merasakan apa-apa selain teriakan itu. "Move! Move!" Itu suara teriakan Ray dan Nathan.Setelah itu aku tak bisa mendengar apa-apa lagi. Seolah mimpi panjang, aku membuka mataku pelan. Aku tahu aku pingsan. Aku masih ingat betul bagaimana caranya Ray melayangkan pukulan itu. Bahkan puk
Dengan berlari secepatnya, dokter Careld segera membuka pintu VIP tersebut diikuti oleh Ray. Dan mereka hanya bergeming, tertegun dengan apa yang mereka lihat. Ray, rasanya ingin melompat dan menubrukkan dirinya pada sosok itu. Sedang Carel rasanya tak percaya dengan netranya. Dia mengerjabkan mata berkali-kali hanya untuk memastikan apa yang dia lihat itu nyata apa mimpi. Sosok itu menoleh. Wajah piasnya terlihat jelas. Tapi senyum di bibir pucatnya tetap menawan. "Hei, kalian--, ada di sini. Boleh nggak, Aku minta tolong. Aku haus, tapi nggak ada air minum di sini." Dengan buru-buru kedua laki-laki itu saling bertubrukan hanya untuk mengambil segelas air putih. "Ini Move!" Dengan berbarengan mereka menyerahkan segelas air minum itu. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku mereka. "Dok, sudah berapa lama Saya di ruangan ini?" Dengan tatapan penasaran aku meminta jawaban atas pertanyaannya. Dok
Aku tertunduk dan mulai terisak. Ku coba mebahan tangis itu, tapi aku gagal. Guncangan hebat itu nampak dari puncak punggungku. Ray sedikit terkejut. Tapi dia sudah tidak ingin menyakiti lebih jauh lagi perasaanku. Dibiarkannya isakku makin terdengar. Dan itu semakin membuat perih hatiku. "Kenapa kamu tidak oernah bilang, kalau kamu tidak menginginkan hubungan yang terikat. Kenapa kamu tega membiarkan aku menunggumu selama 6 tahun kebih?" Suaraku masih sedikit serak, ketika beberapa menit aku mencoba menguasai diriku lagi. Tak ada hawaban dari Ray. Dan itu sudah biasa. "Aku harap kita tidak usah ada hububgan apa-apa lagi. Dan jangan sampai kita kembali menjalin hubungan ini. Aku akan berusaha melupakanmu dan menutup hatiku untukmu." Kalimatku yang agak panjang itu mampu membuat Ray merespon. Laki-laki itu menolehkan wajahnya yang keliatan berantakan. Dengan pandangan kosong dia menatapku. "Semoga kamu bisa bahagia setelah aku lepaskan
"Mari pulang, Nak." ucap mamanya terluka melihat pertunjukkan yang seharusnya tidak usah dilihat olehnya. Raya Dinata rapuh. Dia ambruk dengan keputusanku untuk berhenti mempertahankan hubungan kami. Bahkan dia sendiri pun tak mampu menolak ketika keputusan itu kuajukan. Dengan ringan laki-laki itu mengiyakan, permintaanku untuk berpisah. Entah sebenarnya ada tabir misteri apa dibalik semua ini. Yang pasti baik Ray dan ibunya, memang benar-benar menginginkan hubungan ini berakhir. Hari itu, aku benar-benar hancur. Dunia seakan tak berpihak padaku. Aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya aku melewati masa sulit ini. Setelah sekian tahun aku lewati dengan berbagai cara. Sedangkan hari ini, aku benar-benar kehilangan dia. Segalanya sudah kupertaruhkan buat dia, termasuk dengan nyawa ini, hampir berkali-kali aku mati hanya untuk dia. Tapi ternyata itu nggak cukup membuatnya untuk mencintaiku. Memberikan pengakuan pada semua orang bahwa aku lay
Aku membuka mata tepat ketika ada sentuhan di keningku. Sama-samar kulihat seseorang itu sudah mengelus rumbai rambut yang menjuntai ke dahiku. Jejak air mata masih kurasakan lengket di wajahku. "Aku sudah menyiapkan air hangat. Mandilah, biar tubuh kamu bersih. Semalaman aku belum semua membersihkannya." "Apa!" Aku berjengkit ke belakang mendengar ucapannya. "Dok-dokter-- membuka bajuku?" Dokter muda itu hanya menganguk pelan. "Daleman kamu belum bisa Aku lepaskan karena, kamu nggak mau ngelepasinnya." Duh! Ku tutup mukaku. Malu rasanya. Bahkan sekarang tanpa sadar aku malah melepaskan selimutku ketika sedang ngobrol sama dokter muda itu. "Move! Jangan sengaja begitu. Aku bisa khilaf nanti." ucapnya sekali lagi tanpa melepaskan pandangannya dari badanku. "Aaaa!" teriakanku nyaring di pagi itu. Aku buru-buru menarik selimut lagi. Dan kulihat dokter tampan itu mendekatiku. Dan menarikku dalam dekapannya. "Aku sud
"Kring--" Suara dering telpon di ponselku itu menunda bibir kokoh itu mengunyah bibir kenyalku. Karena setelah beberapa detik kemudian, aku sudah meraih ponselku yang ada di atas nakas. Namun, secepat kilat dokter Careld sudah merampas benda pipih itu dari genggaman tanganku Terlihat di layar ponsel itu tertulis nama " My Soulmate" yang seketika membuat darah dokter muda itu mendidih. Dengan posesif diangkatnya panggilan itu. "Hallo!" Si penelpon bergeming setelah mendengar sapaan dokter Careld. Beberapa detik yang lalu seakan dia ingin meloncat girang mana kala sang empunya ponsel mau mengangkat panggilan telponnya. Namun sekarang, seperti dicampakkan dengan tusukan ribuan jarum yang menyakitkan ketika faktanya suara itu bukan milik Move. "Tidak seharusnya Move, masih menyimpan nomermu. Karena kalian sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi!" Raya Dinata! Susah payah menelan salivanya ketika mendengar ucapan
Wanita itu sudah duduk di sofa yang berseberangan dengan seorang laki-laki yang sedang sibuk menghadap layar laptopnya. Berkali-kali dia mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha fokus pada kerjaannya tapi gagal. Menghela napas dan menghembuskannya agar perasaan yang berkecamuk di hatinya bisa hilang. Namun tak kunjung membaik juga hatinya. Dihempaskannya beberapa berkas itu dengan kasar. Lagi-lagi dia melihat ke arah ponselnya. Ada kemarahan yang luar biasa besar di sana. Beberapa foto yang mampu merejam hatinya. Mencabik dapat mengkoyak segala raganya. Dan itu adalah kesalahannya sendiri. "Apakah yang aku lihat itu semuanya benar, Ray? Hubungan kalian sudah berakhir? Pertanyaan itu sungguh tidak ingin dia dengar. Rasanya hanya menyakiti telinganya saja. Merasa sudah tidak mood lagi mengerjakan semua pekerjaannya hari ini, Ray! Sosok itu menyambar jasnya lalu berlalu dari hadapan wanita yang tak lain Feronika Alfarest. Di ruang karyawan tampak