Aku menyipitkan mata melihat kedekatan mamanya Ray dan Farhan itu. Jujur dalam hatiku merasakan hak yang tidak wahar. Ada perasaan yabg aneh dan sulit aku ungkapkan.
"Rencana apalagi yang akan dilakukan mamanya Ray? Sebenarnya salah aku ini apa, sampai wanita separu baya sangat membenciku?
Satu kesalahanku mencintai putranya yang bernama Raya Dinata. Yang ternyata punya saudara kembar bernama Farhan Dinata dan Farhan inilah orang yang pertama kali mencintaiku tapi terjadi sekelumit kisah yang luar biasa banget rumitnya untuk diceritakan.
"Hei, Move!" panggilan itu menyentakkanku dari lamunan dan membuatku gugup seketika.
"Pak-kk Farhan," jawabku tergagap sambil menatap wajahnya yang tersenyum simpul.
"Kenapa jadi memanggilku dengan sebutan pak?" tanyanya mengerling lucu.
"Ya, haruskan. Ini kantor, tidak enak kalau manggil pakai nama. Nggak etis." jawabku sambil membalas senyumnya.
"Sudah waktunya makan siang, Move, Aku ng
Mampir yuk di sini, @sang kapten
Hatiku berdebar kencang. Seolah ditabuh bertalu-talu ketika mendengar namaku disebut oleh Farhan. "Ya Tuhan! Pasti Aku di suruh menyerahkan file itu," batinku tak berhenti bicara. Kulihat Renata tersenyum penuh kemenangan. Sebenarnya ada apa sich? Apa benar file yang sudah kusimpan di dokumen itu ada yang sengaja menghapus. Ada pikiran buruk aku tentang Renata. Tapi aku belum yakin itu. Mungkin harus mencari buktinya dulu. "Move," kembali namaku disebut dan dipanggil. Kali ini bukan hanya Farhan yang menoleh ke arahku. Raya Dinata dan bahkan hampir semua yang hadir di situ menatapku. Termasuk Renata. Kulihat senyum sinis penuh kemenangan itu mengembang terus di bibirnya menyaksikan kepanikan di raut mukaku. Aku melangkah maju ke panggung dengan ragu. "Ya Tuhan ...! Apa yang harus Aku bilang--?" Kembali hatiku bertanya dalam ketakutan. Bahkan aku hanya menunduk ketika sudah berada di atas panggung, tepatnya di sisi Farhan. "Mari kita lihat pere
Bahkan sama sekali aku masih tak percaya, kalau ini terjadi lagi. Sebuah konspirasikah ini. Apakah memang sudah seharusnya seperti ini. Kenapa hidupku lagi-lagi di skenario orang lain? Aku ingin lepas dari semua ini, lepas dari mereka semua, tapi bagaimana caranya?Terlalu bodoh memang aku mempercayai Farhan. Harusnya aku belajar banyak dari pengalamanku bersama Ray. Dari awal sampai detik ini aku adalah boneka mainannya. Kenapa sekarang ini terjadi lagi? Apakah Farhan berniat membalas dendam? Tapi kenapa begini caranya?Akh! Aku sangat membenci kondisi ini. Dan ini sangat pernah melukaiku dan membuatku trauma. Haruskah Aku lari lagi? Untuk apa, kalau pada akhirnya aku kembali ke kondisi seperti ini lagi?"Hei, kenapa di sini? Nggak mau gabung menyambut para anggota dewan? Mereka semua menanyakanmu. Menanyakan seorang yang sudah begitu brilian membuat ide proposal yang sangat bagus untuk dipresentasikan." Kalimatnya mampu kucerna tapi aku tak ada niat menjawab.
Dengan sedikit tergesa aku melangkah pergi dari ruang pertemuan itu dan kembali ke meja kerjaku. Pikiranku masih nggak karuan, mengingat kembali rekaman cctv itu. Dimana Ray dan Farhan bersama dengan Renata membuka laptop kerjakj tanpa seizinku. Apalah mereka yang menghapus file itu. Apa tujuan mereka kali ini? Kenapa ini terulang kembali. Beberapa bulan silam jiga begitu. Hidupnya diskenario dan dikonspirasi oleh keluarga Dinata. Bahkan dampsi sekarang dia juga nggak paham kenapa dirinya yang menjadi korban mereka. Dan kenapa di tempat yang berbeda ini semua terulang lsgi. Sebenarnya ada apa dengan hidupku ini. Kenapa srlslu di permainkan orang terus, bahka selalu diskenario oleh semua orang. Sebenarnya ada apa dengan diriku. Apakah semacam terkena kutukan? "Move, kenapa meninggalkan ruang pertemuan tanpa pamit terlebih dahulu?" suara itu sudah menderu di depan meja kerjaku. "Maaf, Pak. Saya buru-buru kerjaan mendesak." jawabku tanpa menoleh ke arahn
"Ayok, akh!" ajaknya dengan tatapan sendu, membuatku semakin membulatkan mata. Namun beberapa saat kemudian mataku sudah terpejam, menikmati lumatan bibirnya yang panas. Yang membuat seakan terbang membubung tinggi meninggalkan segala kesakitan dan kekecewaan yang luar biasa dasyat kurasakan setahun terakhir ini. Bahkan ketika tubuhku melenting indah dan lidah panas Ray mengejar lentingan tubuhku aku masih belum sadar bahwa ada tugas yang masih harus dilakukan. Dan aku melupakan bahwa semua tentang aku dan hidupku adalah sebuah konspirasi dan skenario yang sudah disusun oleh mereka semua. "Akh, Ray terus--" ucapku terengah ketika dengan sigap laki-laki sejuta pesona itu memasuki milik intiku dengan ganasnya. Ray mendesah, keringat mengembun deras dari dada bidangnya, perut sixpacknya, dan lengan berototnya. Aku semakin menggila mengikuti irama ayunannya. Desahan dan rintihan terdengar silih berganti hingga akhirnya kami menjerit bersamaan, menjemput dan
Kepanikanku beberapa jam yang lalu menghantarku pada kenyataan terpahit dalam hidupku. Di ruangan itu, ruangan kematian menurutku ada dua nyawa terbaring di sana. Si kembar Farhan dan Raya Dinata. Mereka berdua bertaruh nyawa di sana. Dan lagi-lagi aku yang yang dipersalahkan dalam peristiwa ini. Kondisi Farhan sudah mulai pulih setelah alat pengisi daya jantung buatannya sudah di perbaiki oleh profesor LinHuang yang sempat nggak aktif nomornya karena ternyata sedang melakukan perjalanan luar kota. Sedang di satu pembaringan yang lain sosok Raya Dinata dalam kondisi lebih mengenaskan. Kecelakaan yang dialaminya semalam benar-benar membuat keadaannya sangat menyedihkan. Mobil yang rengsek karena menabrak pembatas jalan dan tubuh yang berlumuran darah karena terjepit badan mobil. Masih untung bisa diselamatkan. Raya Dinata, presdir dari Dinata Group mengalami kecelakaan tragis tadi malam dijalan bebas hambatan. Karena kondisi hujan lebat dan
"Raya, oh!" Suara ratapan itu milik tante Aliya. Ada apakah? Tadi aku tinggal baik-baik saja. Kenapa semua jadi seperti ini. Ada apa di dalam sana? Aku menatap ruangan yang sangat menyesakkan itu. Ruanhan yang tiba-tiba menghitam dan ada beberapa orang berpakaian putih-putih sedang mendorong tempat tidur pasien yang sudah tertutup kain kafan. Pecah sudah air maya keluarga Ray. Mamanya meratap histeris sedang sang papa terduduk lemas. Sosok Farhan sama sekali tidak kelihatan. Aku masih bergeming dan hanya terpaku melihat kondisi inj. Masih bingung. Sebenarnya ada apa ini? Siapa yang meninggal? Ray-kah? Oh Tuhan! Jantungku seperti tertusuk pisau yang sangat tajam. Beberapa menit yang lalu aku masih melihatnya tertidur dan meninggalkannya dalam keadaan baik-baik saja. Kenapa sekarang seperti ini? Hatiku luruh, air mataku sudah tidak bisa ku tahan lagi. Aku menghambur mengejar tempat tidur pasien yang didorong para perawat itu. Tak kupedulikan
Ruang praktek dokter umum itu sebenarnya tidak begitu rame. Bahkan bisa dibilang sepi. Tapi aku sudah menunggu hampir 1 jam di luar tunggu tak ada kunjung keluar mamanya si Ray. Aku mulai berpikir mungkin beliau nggak mau bertemu denganku. Apapun itu alasannya. Aku mulai merasa sadar diri. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan wanita yang masih cantik itu meski diumur hampir kepala 5. Mungkin benar sebesar apapun usahaku untuk dapat diterima di keluarga Dinata itu hanya sebuah angan-angan belaka. Baru saja aku beranjak meninggalkan ruang tunggu dokter umum, ada tangan yang sudah menggapai lenganku membuatku tersentak sesaat. "Dokter Careld," suaraku tercekat. "Apa kamu sedang sedih, Move?" tanyanya datar berjalan di sisiku tanpa menoleh. Aku hanya terus menatap ke depan dan menatap lurus ke depan. "Kamu nggak mau kembali kepadaku, ke tempat ini?" tanyanya lagi. Kali ini sambil menoleh ke arahku menatapku dalam dan luruh. Tatapan itu masih
Salivaku benar-benar kering kerontang untuk kutelan. Ada sesak yang sedari tadi menjalar di dadaku. Kubiarkan angan-anganku terbang jauh meninggalkan ragaku. Beberapa saat lalu Farhan masih bersamaku namun kini dia harus kembali ke apartemennya untuk istirahat. Sedang aku masih menaikkan adrenalin dengan berkhayal ke dunia lain. Aku tersentak saat menyadari adanya gerakan halus sudah menjalar di pangkal lenganku. "Hei," kutatap wajah itu dengan sendu. "Ada apa?" tanyanya sambil mengusap punggung tanganku dengan lembut. Lalu ku gelengkan kepala pelan. "Kamu tampak sedih, apa mama menyakitimu lagi?" lagi-lagi aku menggeleng. "Lalu-- Huft! Kuhembuskan napas yang sangat sesak itu. "Terus apa?" Pertanyaan itu di berikan dengan tatapan mengharap. Aku kembali menghembuskan napas berat. Kitatao wajah Ray dalam-dalam sebelum aku memulai untuk bicara. "Apa kamu sudah mulai menganggap Farhan ada dalam keluargamu?" Ray agak terkejut mendenga