Setelah tertidur beberapa jam, Aisyah mulai membuka matanya. Melihat ke sekelilingnya lalu menghela nafas lega. 'Alhamdulillah,,,' ucapnya dalam hati. Pandangannya terhenti ketika melihat punggung suaminya yang berdiri di depan pintu balkon yang terbuka. Pria itu menatap jauh ke depan. Mungkin sedang memikirkan sesuatu yang menjadi beban pikirannya. Memikirkan mantan kekasih sekaligus mantan sahabatnya, pikir Aisyah. Perlahan Aisyah bangun dan bersandar pada sandaran ranjang. Kembali wanita itu menghela nafas, pergelangan tangannya terasa nyeri bekas tali ikatan. Tak hanya itu pipinya juga terasa sakit saat ia berusaha membuka mulutnya. "Ahkk,,," Aisyah memegangi pipinya kesakitan. Sontak Andaru menoleh, "Ai,,, kamu sudah bangun?" tanyanya lalu berjalan mendekat. "Sakit? Sini biar aku lihat." Pria itu mendekat, melihat dengan teliti luka yang ada di wajah istrinya itu. Dengan lembut tangan Andaru menyentuh pipi Aisyah, "Tadi sudah aku beri salep dari dokter. Kelihatannya bengkak
Melihat Aisyah yang sudah bisa tersenyum membuat hati Andaru merasa sedikit tenang. Meski istrinya itu masih tidak mau menceritakan apa yang sudah dilakukan oleh Meysa dan Raisa kepadanya Namun setidaknya kini wanita yang akrab di panggil Ai itu sudah bisa tertawa bersama ibu dan adiknya. Bukan tanpa alasan Aisyah memilih untuk tetap bungkam tentang kejadian penculikan yang dialaminya, itu dilakukannya semata karena tidak ingin Andaru lepas kendali setelah mengetahui apa yang sudah dilakukan oleh mantan kekasihnya. Seburuk apapun mantan kekasih Andaru itu, tapi kenyataannya wanita itu dulunya adalah sahabat yang pernah menolong Andaru dimasa susahnya.Aisyah tahu, selama ini Andaru sangat menahan diri untuk tidak membalas perbuatan dua sahabatnya itu. Diam adalah pilihan yang tepat menurut Aisyah agar tidak memperkeruh hubungan mereka. "Aku keluar sebentar, kamu sama Ibu dulu." Andaru berjalan mendekati ranjang tempat istri dan mertuanya berbincang. Aisyah langsung mengarahkan tat
Sudah beberapa hari dan keadaan Aisyah sudah membaik seperti sediakala. Ayah dan ibunya serta adiknya sudah kembali ke Jakarta sejak kemari. Tinggal Aisyah yang masih menunggu masa cutinya selesai. Seperti sebelumnya kini Aisyah kembali pada rutinitasnya menjadi guru ngaji untuk kakek mertuanya. Tak hanya mengaji Aisyah juga sering memperlihatkan video-video kajian islami yang banyak bertebaran di media sosial. Seperti pagi ini, Aisyah bersama Anggada duduk di sofa ruang tengah sedang mengarahkan tatapannya pada layar televisi yang menampilkan video kajian dari salah satu ustadz yang memiliki gaya ceramahnya ringan dan sederhana. Aisyah sengaja mencarikan video dari ustadz yang identik dengan kemeja putih dan sarung. Wanita itu merasa ceramah ustadz ini sangat cocok untuk Anggada yang baru belajar agama, karena isi kajiannya tidak berat dan gaya bahasanya mudah di pahami. Anggada nampak serius, hatinya terasa tentram mendengarkan isi ceramahnya. Aisyah sendiri meski sudah sering m
Pagi ini keluarga pradipta di kagetkan dengan kedatangan seorang wanita yang membuat keributan di depan gerbang rumah mewah itu. Wanita itu berteriak-teriak karena satpam menghalanginya untuk masuk kedalam pekarangan rumah bak istana itu. "Andaru.... keluar kamu,,," teriaknya penuh amarah. "Belum puas kamu membuatku terbaring di ranjang rymah sakit selam satu minggu hah?" "Sebaiknya kamu pergi atau kami akan memanggil polisi." Salah satu security memberi peringatan sudah yang kesekian kalinya. "Katakan pada Tuan Muda kalian untuk keluar menemui aku!" bentak Wanita itu dengan membopong tangannya. "Dia harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dia lakukan padaku!""Apa maksud Anda, nona Meysa?" Jago berjalan mendekat lalu bertolak pinggang. "Anda atau Tuan kami yang harus melapor ke polisi? Apakah kami harus memperkarakan tindakan Anda beberapa hari yang lalu." Sambungnya dengan tatapan remeh. "Aku tidak akan pergi sebelum Andaru keluar." Meysa bersikeras. Hatinya sudah di penuhi
"Apa ini alamatnya?" tanya Anggada pada sopir begitu mereka sampai di depan sebuah rumah sederhana. "Benar Tuan. Ini alamat yang di berikan Tuan Andaru," jawab pria paruh baya yang sudah bertahun-tahun menjadi sopir keluarga Pradipta itu. Anggada mengamati rumah sederhana yang nampak sedikit usang di depannya. Pria itu menghela nafas berat dengan ekspresi muram. "Tenanglah Opa, kita datang untuk meminta maaf bukan mengajak perang," ucap Aisyah menenangkan setelah melihat wajah tegang dari kakek mertuanya. Anggada mengangguk lalu memberi perintah pada pengawalnya untuk membantunya turun. Perlahan Aisyah mendorong kursi roda Anggada. "Opa tunggu di sini," kata Aisyah berhenti mendorong lalu melangkah maju. Namun sebelum Aisyah mengetuk Jago meminta Aisyah untuk mundur dua langkah dan meminta izin agar dirinya saja yang mengetuk. "Untuk keamanan sebaiknya saya saja yang megetuk pintu."Tanpa menunggu lama Aisyah langsung mengangguk paham. Ia tak lupa dengan pesan suaminya yang mem
Hati Aisyah bergetar mendengar penuturan wanita di depannya itu. Jujur ia tak bisa membayangkan jika dirinya yang ada di posisi wanita yang saat ini menatapnya tajam. "Membisu? Setelah kamu berceramah panjang lebar sekarang kamu hanya bisa diam," cibir Wanita bernama Zarina itu. "Jangan memarahinya, akulah yang bersalah. Caci maki saja aku sesukamu." Anggada menyahut karena tidak rela cucu menantunya itu menjadi pelampiasan amarah Zarina. "Sepertinya kamu begitu menyanginya,,, apa wanita seperti dia yang menjadi menantu idaman keluarga Pradipta?" ujar wanita itu remeh. Aisyah menghela nafas panjang, sikap dan ucapan Zarina menunjukkan jika kebencian sudah mendarah daging dan menutup mata hati wanita paruh baya itu. Membutuhkan banyak kesabaran untuk bisa meruntuhkan kebencian yang sudah menggunung di hati wanita itu.Namun Aisyah tak mau mengalah dan pulang dengan tangan kosong. Tidak yakin Andaru akan memberikan izin lagi jika suami Aisyah itu mengetahui respon dari ibunya Zaskia
Setelah kepergian Aisyah dan Anggada, mantan kekasih Andaru itu kembali masuk kedalam taksi yang sejak tadi masih menunggunya. "Sudah mey, sebaiknya kita balik ke jakarta sekarang," saran Sarah asisten pribadinya."Diam!! Jangan banyak bac*t kamu," timpal Meysa tanpa menoleh. Matanya fokus pada ponsel di depannya. Wanita itu sedang mencari alamat gedung perusahaan baru milik Andaru. Saat ia hendak menunjukkan layar ponselnya pada sopir tanpa sengaja ia melihat sebuah mobil berhenti tepat didepan gerbang ruang mewah di depannya. Segera wanita itu keluar dan sedikit berlari ketika pintu gerbang besi kediaman Pradipta terbuka secara otomatis."Dimana Andaru?" teriaknya mendekati Elmira yang baru saja keluar dari mobilnya. Spontan Elmira menoleh, matanya menyipit sembari mengingat wanita yang sedang menggendong tangan kanannya sendiri itu. "Kamu?" "Aku Meysa, mantan kekasih Andaru." Akunya angkuh. "Dimana putramu?" "Oh, ternyata ada tamu tak di undang," cibir Elmira dengan tatapan
Meysa tersenyum tipis, melihat reaksi orang-orang di sekitarnya atas pengakuan yang baru saja ia ucapkan. 'Lihat apa yang akan aku lakukan untuk membuatmu keluar,' batin Meysa. Dua security yang tadi hendak menyeret Meysa menjadi bingung dan saling pandang, lalu melempar tatapannya pada resepsionis. "Coba telfon Pak Doni," ucapnya lirih. Namun salah satu resepsionis menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, bawa keluar saja," ucap resepsionis tanpa suara sambil menggoyangkan telapak tangannya sebagai isyarat."Kami akan mengaantar Anda keluar." Dua Security itu mendekati Meysa.Namun dengan sigap Meysa memundurkan tubuhnya, "Dengar bos kalian itu sudah berbuat hal tak senonoh padaku. Dia hampir memperkosaku dia bahkan menembak tanganku karena aku menolak cintanya," ocehnya membual.Kalimat itu sontak saja membuat semua orang tercengang. Tidak sedikit dari para pegawai yang mulai menyalakan kamera ponselnya untuk mengambil foto juga video. "Jangan bicara sembarangan!" Suara tegas Doni y