Setelah istirahat dua hari, pagi ini Aisyah sudah bisa mulai untuk mengajar kembali. Sejak semalam ia sudah tidak sabar untuk bisa kembali berinteraksi dengan anak-anak polos yang selalu membuatnya merasa di butuhkan. Setelah sholat subuh Aisyah membeli sarapan di sebuah warung nasi pecel rekomendasi Shania yang letaknya tidak jauh dari rumah kontrakannya. Untuk sementara waktu Shania di perintahkan untuk menemani Aisyah selama guru cantik itu beradaptasi dengan tempat barunya. Rumah kontrakan yang di tempati Aisyah letaknya lumayan dekat dengan sekolah. Ia hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit sampai lima belas menit untuk sampai di sekolah. "Sudah selesai? Ayo cepat!" Shania berjalan keluar sembari tangannya sibuk mengetik pesan di ponselnya. "Kita harus cepat sampai di sekolah sebelum Angga sampai duluan," ajaknya sambil menggandeng tangan Aisyah yang sudah menunggunya sejak lima menit yang lalu di teras rumah. berjalan keluar. "Apa?" Aisyah melongo melihat sikap teman
"Masa sih?" . "Iya, katanya ia terlibat sebuah skandal yang memalukan sampai akhirnya dia di mutasi kesini." "Astaghfirullah,,," Shania berjalan mendekati dua guru senior yang sedang bergosip di depan koridor kelas. "Eh,,, bu Shania, Pak Angga," sapa salah satu guru dengan name tag Mila. "Maaf ya Bu Mila, ini sekolah tempat orang memberi ilmu dan mencari ilmu sangat tidak pantas jika dijadikan tempat bergosip hal-hal yang belum tentu kebenarannya," ujar Shania masih dengan senyum yang tersemat di wajahnya. "Apa sih, kita cuma ngobrol saja," bantah Mila membela diri. "Maaf Bu, tapi akan menjadi salah faham jika ad yang mendengar pembicaraan kalian. Padahal itu belum tentu benar. Dan sekalipun benar, itu bukan urusan kita. Ibu sendiri pasti tahu hukumnya orang menggunjing," Sahut Angga ikut berbicara. "Ya Alloh, aduh maaf kenapa saya jadi ngomongin orang," sesal Karina, guru yang tadi bergosip dengan Mila. "Maaf ya saya pulang duluan," Mila melirik kesal Shania yang tetap memasan
"Kamu sudah benar-benar yakin ingin menemuinya?" Anton berjalan masuk ke dalam kamar Andaru. "Iya," jawab Andaru menoleh sebentar lalu kembali sibuk memasukkan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam ransel. Setelah berpikir panjang juga atas saran dari Anton, akhirnya Andaru memutuskan menemui Aisyah untuk memastikan rasa yang saat ini tumbuh di hatinya. Pria berusia 28 tahun itu ingin mencari jawaban dari rasa tidak tenang dan kegelisahan yang sudah beberapa bulan ini ia rasakan. Apakah ini murni rasa bersalah ataukah perasaan lain. Mungkinkah playboy seperti dirinya benar-benar merasakan jatuh cinta. "Ya semoga kamu bisa menemukan jawabannya. Dan setelah pulang dari sana, kamu tidak lagi seperti vampir yang wajahnya dipenuhi dengan kantong mata," ujar Anton sambil terkekeh lantas merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sembari menunggu temannya itu bersiap-siap. "Kamu yakin alamat yang kamu berikan itu benar?" tanya Andaru ingin memastikan Anton tidak salah memberi alam
Aisyah pov. "Maaf," ucap laki-laki tampan yang duduk berhadapan denganku. Benar, aku akui wajahnya memang sangat tampan, tapi bukan berarti ia dapat seenaknya mengucapkan kata suka kepada wanita yang bahkan sama sekali tidak dikenalnya. "Bukankah aku sudah memaafkan kamu saat kita bertemu di bandara beberapa bulan yang lalu. Kamu tidak perlu lagi meminta maaf." Aku kembali mengingatkan pertemuan kami beberapa bulan lalu di bandara. "Tapi kamu terus menghantuiku," katanya. Apa maksudnya? Aku tercengang mendengar kata-katanya. Apa laki-laki ini sedang mabuk? Sepertinya otaknya sedang bermasalah karena itu omongannya melantur kemana-mana. Aku masih hidup bagaimana bisa aku menghantuinya. "Kamu pasti berpikir aku seperti orang tidak waras,?" sambungnya dengan tatapan yang entah apa artinya. Aku sama sekali tidak bisa mengartikan arti tatapan matanya."Iya." Tanpa basa-basi aku menjawab jujur sesuai apa yang aku pikirkan. Kulihat dia menghela nafas panjang lalu kembali berbicara, "S
Derrrrtt.... Suara ponsel milik Arka bergetar. Nampak sebuah panggilan suara dan beberapa pesan dari nomer yang sama. "Angkatlah dulu ponselmu! Sepertinya penting," ujar Radit teman kerja sekaligus sahabat Arka sejak masih kuliah. Belum ada sepuluh menit sejak Radit masuk ke ruang kerja temannya itu, sudah lebih dari tiga kali panggilan suara dari nomer yang sama yaitu nomer telfon dengan nama kontak 'Mama Maya'. "Sudah tidak usah kamu perdulikan," jawab Arka tanpa mengalihkan fokusnya dari kertas-kertas yang ada di atas meja kerjanya. "Kamu masih belum mau pulang ke rumah?" tanya Radit menatap Arka yang nampak sibuk. Arka hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Masih dengan posisi yang sama yaitu sibuk memeriksa beberapa dokumen dan membubuhkan tanda tangan di beberapa kertas penting itu. "Ini sudah dua tahun sejak perceraianmu dengan guru SD itu. Sepertinya keinginan Mamamu bukan hal yang aneh jika melihat kedekatan kamu dan Maharani," tutur Radit sambil membolak-balikk
"Aku tidak suka Mama membuat keributan di kantorku," ujar Arka pelan namun penuh penekanan. Terlihat sekali jika dia sedang marah dan tidak aula dengan sikap Maya."Mama datang ke kantor karena kamu tidak membalas pesan dari Mama. Kamu juga tidak mau mengangkat telfon Mama," ungkap Maya membela diri. "Tapi tidak dengan memaksa masuk ke tempat kerja aku." Arka menatap mamanya kesal. Satu jam yang lalu Maya menerobos masuk ke ruang kerja Arka. Sambil marah-marah Maya mengomeli putra tirinya itu. Sehingga membuat Arka malu karena menjadi bahan tontonan anak buah dan rekan-rekan kerjanya. Tanpa banyak bicara Arka langsung membawa ibu tirinya itu keluar dari kantor. Dan sekarang disinilah mereka, di ruang tamu rumah papanya. "Kalau Mama tidak memaksa masuk ke kantormu, kamu pasti tidak mau menemui Mama.""Mama tahu alasan," jawab Arka singkat. Mantan suami Aisyah ini memang pendiam dan irit bicara. "Memangnya apa salah Mama?" sungut Maya kesal. "Mama hanya,..." "Ma," sela Mahendra a
"Jangan bercanda kamu!" Aisyah meninggikan suaranya. "Kembalilah ke Jakarta dan jangan pernah kembali kesini!" sambungnya mengusir Andaru. Aisyah sudah tidak lagi bisa menahan emosinya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pria tampan di depannya itu. Sudah di maafkan masih saja mengusiknya, apa dipikir Aisyah tidak bisa marah?Shania dibuat kaget melihat sikap rekan kerjanya itu. Selama hampir dua tahun Shania mengenal Aisyah tidak pernah sekalipun melihatnya se-marah ini. "Ai, jangan kayak gitu! Kamu gak kasihan, dia jauh-jauh dari Jakarta hanya ingin bertemu denganmu." Shania menarik lengan Aisyah. "Ck, Kamu diam dulu," ujar Aisyah sambil melepaskan tangan Shania dari lengannya. "Gak papa, kamu boleh memaki dan mengumpat padaku. Aku pantas menerimanya," sahut Andaru masih dengan senyum yang tak lepas dari wajah tampannya. Aisyah menghembuskan nafas kasar, kesabarannya emosinya sudah mencapai ubun-ubun. Entah kenapa ia tidak bisa menghadapi laki-laki di depannya ini dengan ten
"Ai, kamu kenapa??" pekik Shania sambil menggedor pintu toilet "Lama banget di toilet? Apa kamu sakit?" sambungnya khawatir.Aisyah tiba-tiba izin ke kamar mandi saat menyambut tamu dari diknas dan perwakilan dari perusahaan kontruksi yang akan membangun sekolah menengah atas di lahan kosong depan sekolah mereka. Setelah hampir satu jam namun Aisyah belum juga kembali. Karena khawatir Shania menyusul untuk memastikan keadaan rekan kerjanya itu. "Aisyah, buka pintunya!""Iya sebentar," sahut Aisyah dari dalam kamar mandi. Jari tangannya saling meremas sambil mondar-mandir di dalam ruangan sempit itu. Tak ketinggalan wajah pucat dengan tangan dan kaki yang gemetaran. "Astaga apa yang harus aku lakukan?" gumamnya ketakutan. Waktu dua tahun belum cukup membuatnya siap untuk kembali berhadapan dengan Arkana Mahendda, mantan suaminya itu. Aisyah takut jika Arka akan kembali mengoyak kembali kehidupannya yang sudah tenang di kota kecil ini. Baru juga dua tahun, ia merasakan ketenangan s