“Nyonya, apa yang Anda lakukan tengah malam seperti ini di luar?” Salah satu pengawal berjalan mendekati Sesil begitu wanita itu menginjakkan kaki di teras rumah. “Siapkan mobil.” Pengawal itu butuh penjelasan lebih. “Cepat. Bawa aku ke ... ke ...” Sesil tak tahu ke mana dia harus pergi. Dirga tak mengatakan apa pun karena pria itu sedang dalam keadaan sekarat. “Ke sini.” Pengawal itu menatap ponsel yang diletakkan Sesil di tangannya. “Cepat kau cari tahu di mana lokasi nomor yang baru saja menelponku dan bawa aku ke sana.” “Tuan Saga ...” “Saga tidak bisa dihubungi. Dia masih di pesawat. Dan ini sangat genting. Seseorang sedang sekarat, aku harus menolongnya.” Pengawal itu tampak keberatan. “Atau kauingin aku pergi ke sana sendirian!” bentak Sesil. “Baik, Nyonya. Saya akan segera mencarinya.” “Cepat.” Tak lebih dari sepuluh menit, pengawal Saga memberitahu tahu lokasi di sekitar ini dan itu yang sama sekali tak pernah didengar oleh Sesil. Sesil pun menyuruh pengawal itu unt
Ketika keputus-asaan benar-benar nyaris membuat Sesil sekarat, akhirnya ia mendengar suara Alec memanggilnya dari arah kegelapan. Ia melihat cahaya bergerak-gerak tak jauh dari tempatnya bersimpuh. “Alec?” Sesil melempar ponselnya di rumput. Bersamaan pengawalnya yang tadi menghilang tiba-tiba muncul. Dengan napas terengah dan saat cahaya Alec menyorot wajah keduanya, Sesil bisa melihat luka lebam dan sobek di mulut pengawalnya. “Dia Alec,” cegah Sesil ketika pengawal itu hendak mengarahkan pistol ke arah Alec. “Apa yang terjadi?” Alec langsung duduk berjongkok di samping Sesil. Melihat tangan Sesil yang menekan dada Dirga sudah dipenuh darah. Pria itu menyentuhkan tangannya di leher Dirga. Sangat lemah, dan mungkin tak bisa diselamatkan melihat bagaimana banyaknya darah di sekitar tubuh Dirga juga Sesil. “Kita harus segera membawanya,” perintah Alec pada pengawal Sesil. Yang langsung menggantikan telapak tangan Sesil di dada Dirga. Wanita itu menggeleng. “Mundurlah, Sesil. Biarkan
“Atas ijin siapa kalian memasukkan pria itu ke rumahku?!” Gelegar suara Saga dari arah ruang tamu mengejutkan Sesil yang berdiri di depan kamar Dirga. Sesil memutus panggilannya dengan Alec dan bergegas menghampiri suaminya. Di ruang tamu, ia melihat Saga yang tengah berdiri di tengah ruang tamu, dengan beberapa pengawal yang sudah berjajar rapi, menunduk ketakutan. “Aku yang menyuruhnya, Saga.” Sesil menelan ketakutannya bulat-bulat hanya untuk mengganjal di tenggorokannya. Saga menoleh. Ia bisa merasakan ketakutan yang menyelimuti Sesil tapi tak cukup lihat untuk disembunyikan. Rasanya darahnya mendidih mengetahui pria itu ada di atap yang sama dengannya. Ditambah sikap kepahlawanan Sesil yang membuat titik didih di kepalanya semakin tak tertahankan menunggu jebol. “Kaupikir aku bertanya pada mereka karena tidak tahu?” Bibir Saga nyaris tak bergerak ketika mendesiskan pertanyaan retoris tersebut. Sesil menelan ludahnya, meremas tangannya sendiri. Kemarahan yang berkobar di kedua
Selalu, selalu, dan selalu. Tangisan Sesil dalam sekejap meredam semua kemarahan terpendamnya meski tak mampu melenyapkannya. Tak hanya tangis wanita itu saja. Permohonan, penyerahan, dan semua tentang Sesil selalu melemahkannya. Membuatnya tak berdaya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Semua fakta itu membuatnya merasa tak aman, keresahan yang sejak tadi siang mengganggu pikirannya, kini semakin mengganggu. Seolah Sesil masih belum ia miliki dengan seutuhnya. Ah, jika diingat, wanita itu kembali juga karena Kei. Dan ia tak pernah tahu, apakah Sesil mencintainya juga karena Kei. Seumur hidup, Saga belum pernah merasa begitu tak aman seperti ini. “Apa kau masih marah padaku?” Suara isak tangis Sesil teredam dada Saga. “Kau harus memahaminya, Sesil. Suami mana yang tidak marah melihat istrinya ...” “Aku tahu. Maafkan aku.” Saga mendengus. “Begitukah?” Sesil diam sesaat, mengangguk lalu menggeleng. Dengan gemas, Saga menahan diri untuk tidak membalas pelukan Sesil. “Kau selalu
Sesil memberengut ketika Saga menyuruh pelayan untuk memberikan piring berisi omelet pada Sesil sedangkan pria itu meminta piring lain untuk diri sendiri. Dengan tanpa selera, Sesil memaksa melahap makanannya. Tak ingin terlihat merajuk seperti anak kecil di hadapan Kei. “Bukankah Mama harus menghabiskan makanannya?” tanya Kei melihat piring Sesil yang masih tersisa setengah ketika mengatakan sudah selesai. Saga melirik piring Sesil lalu wajah wanita itu. “Habiskan, Sesil.” “Aku sudah kenyang,” jawab Sesil datar. Bangkit berdiri. “Kau belum meminum susumu.” “Perutku sudah penuh.” Sesil melangkah pergi. Saga menipiskan bibir, tapi ia tak mungkin berteriak di depan putranya. “Apa Mama marah pada Papa?” tanya Kei polos dengan mata bulatnya saat tubuh Sesil sudah menghilang dari ruang makan. “Papa akan bicara dengan mama, habiskan sarapanmu.” Saga bangkit, membungkuk sejenak untuk mengecup ujung kepala putranya sebelum menyusul Sesil. “Paman Alec akan mengantarmu ke sekolah.” Kei
“Tidak habis lagi?” Saga menggeram. Membanting nampan berisi sisa makanan yang dipegang pelayan di depannya kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Tidak ada Sesil di tempat tidur, dan pintu kamar mandi terbuka setengah. Menyusul suara muntahan yang begitu keras.Saga bergegas mendatangi suara yang terdengar semakin menyiksa itu, membuka pintu kamar mandi dan membungkuk di belakang Sesil. Mengusap punggung wanita itu meski dadanya masih bergemuruh oleh kemarahan. Sudah berhari-hari wanita itu tak bisa menelan makanan lebih dari tiga suap dan lebih banyak yang wanita itu muntahkan. Bersikeras tak ingin ke rumah sakit. Saga yakin berat badan wanita itu sudah turun beberapa kilo. Jika keadaan ini terus berlanjut, pasti akan membuat anak di perut Sesil berada dalam bahaya.Sesil mengusap bibirnya dengan punggung tangan sambil menengok ke belakang. Matanya berair dan keringat membasahi seluruh wajah. Kehilangan tenaga bahkan untuk bersuara.Saga mengangkat tubuh lemah itu dalam gendongann
Ketiganya membeku, keheningan membentang di antara ketiganya dalam perjalanan Sesil menutup jarak di antara mereka dan berhenti tepat di samping Saga, menatap dokter Juan. “Jadi Dirga sudah bangun?” Sekali lagi Sesil mengulang pertanyaan tersebut karena ketiganya membisu akan kedatangannya. Dokter Juan mendapatkan satu kedipan mata dari Saga, pria itu langsung mengangguk sekali dan berpamit. Sesil pun beralih pada Alec dan Saga yang tetap bergeming. Saga dengan kemarahan yang terpendam sedangkan Alec terlihat salah tingkah. Tak ingin terlihat memihak Sesil dengan kemarahan Saga yang sangat jelas. Rasanya pertengkaran Saga dan Sesil belum pernah terasa begitu menyesakkan seperti ini. Ya, ia tahu pemicunya. Ada Dirga di balik pintu yang ada di belakang mereka. Sesil menunggu jawaban yang sia-sia. Ia menyelipkan tubuhnya di antara Saga dan Sesil, hendak meraih gagang pintu untuk memastikan apa yang baru didengarnya. Tetapi pergelangan tangannya ditangkap oleh Saga dan ditarik menjauh
Saga dan Sesil memucat menemukan Kei yang berdiri di ambang pintu ruang perawatan yang masih terbuka. Ketegangan di antara keduanya pun terpaksa dikendorkan. Wajah keduanya tampak melunak. Saga menaikkan Sesil kembali ke tempat tidur kemudian berjalan keluar untuk menggendong sang putra. Bersamaan dengan Alec yang muncul dari lorong. Alec segera menyadari ada yang tidak beres menangkap raut tenang yang dipaksaan di wajah Saga. Ia bertanya ada apa tanpa suara pada Saga. “Kenapa kau membawanya kemari?” “Dia bersikeras ingin melihat Sesil. Kau tahu terkadang dia mendapatkan sifat keras kepalanya seperti Sesil, kan?” jawab Alec setengah berbisik. Saga hanya diam, kemudian memberi isyarat gerakan ke dalam ruang perawatan Sesil. Setelah Alec masuk dan menutup pintu di belakangnya, Saga berjongkok di depan Kei, menyejajarkan wajah mereka dan kedua tangan memegang tangan mungil sang putra. “Kenapa papa berteriak pada mama?” Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Kei dengan