"Maaf, apa betul ini Mbak Sarah?" Wanita berambut panjang kecoklatan itu menengok saat aku telah sampai dan berdiri dekat kursi yang dia tempati. "Betul. Dengan Mbak Mayra?" Dia balik bertanya. "Iya, benar." Aku berjalan memutari meja bulat putih itu, lantas duduk berseberangan dengan seseorang yang ingin kutemui. Menjelang deadline waktu sebulan sebelum Mas Gun resmi melamar. Akhirnya sampai juga pada penyelidikan ketiga. Untung Mbak Sarah ini sangat kooperatif. Gampang diajak ketemuan tanpa ribet asal ada hitung-hitungannya, yang ini benar-benar mantan anti-mainstream. Sepersekian detik aku menilik penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Body padat berisi itu berbalut mini dress hitam ketat tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Enggak usah kalian bayangkan lah, ya. Pokoknya idaman semua laki-laki. Mbak Sarah mengaplikasikan riasan cukup tebal di area wajah ovalnya. Bulu mata palsu ulala dan softlens biru menyempurnakan kitaran mata bulatnya. Mas Gun, Mas Gun. Apa
"Karena Mas Gun ini adalah kandidat tunggal alias enggak ada saingan. Boleh, kan, aku tahu cerita lalu dengan mantan-mantan mas Gun. Saling terbuka gitu, biar ke depannya enggak ada pertanyaan-pertanyaan lagi. Kenapa begini, kenapa begitu? Aku pun akan melakukan yang sama." Di bangku besi taman kota, uneg-uneg di perut akhirnya tersampaikan juga. Mas Gun duduk terpekur, mengamati pasangan muda mudi yang melintas di depan kami. Lantas menoleh ke arah lain, seakan merangkai jawaban sebanyak dan semampuku bisa mendengar, kalau perlu sekalian mencernanya. "Namanya Sarah ...." Menurut versi mas Gun enggak berbeda jauh dengan versi mbak Sarah. Menikah karena perjodohan. Almarhum Prawira menjodohkan sang putra dengan anak kawan baiknya semasa sekolah dan belum memiliki apa-apa. Keluarga sang sahabat berjasa besar pernah menolong beliau dalam kesulitan hidup. Hingga merasa harus membalas budi. Kebetulan mbak Sarah belum menemukan jodohnya, lalu Mas Gun telah menyandang status duda. Semu
"Kamu suka warna apa, May?" Suara bariton Mas Gun sedikit tenggelam oleh kebisingan sekitar. Entah di mana dirinya menelepon sekarang. "Merah, Mas." Makin seenaknya dia menghubungiku saat berjibaku dengan kertas-kertas laporan. Hanya untuk menanyakan warna kesukaan. "Melambangkan diri kamu, ya, May?" "Bukan, Mas. Melambangkan kertas merah dengan nominal yang paling disukai wanita."Realistis, Cuy!"Berarti untuk seserahan kamu memilih mentahnya saja, May?" Ooh. Jadi ada hubungannya dengan barang seserahan nanti. Merasa berdosa asal jeplak pilih warna. Padahal aku suka segala sesuatu yang bernuansa peach. "Terserah Mas Gun saja. Mau mentah atau matang, insyaa Allah saya terima dengan sepenuh hati." Sudah terlanjur malu, ya, sudah ceburkan sekalian. Kekehan ala suami Raisa menjadi penutup percakapan. Belum kuletakkan lagi benda di tangan, notifikasi pesan masuk muncul di display layar. 'Maaf, ketinggalan, May.' Yang dimaksud ketinggalan adalah emotikon kepala gundul yang memon
Pagi ini. Aku hanya mengenakan kimono lembut warna biru dengan rambut basah tergulung handuk saat keluar kamar mandi hotel. Kalau ada netijen, mereka pasti bilang cieee ... keramas. Iya, juga. Ini bukan kebiasanku keramas pagi-pagi. Ada apa? Menyapu kanan kiri ruangan luas bertemperatur dingin ini, aku menemukan Mas Gun berdiri dekat ranjang. Membolak-balikan sprei putih itu hingga kelopak-kelopak bunga mawar berhamburan ke lantai. Tempat tidur yang memang sudah berantakan sebelumnya karena gempa bertektonik sekian Skala Richter, semakin berantakan oleh tindakan tak jelas Mas Gun. Oh, iya! Jangan-jangan dia mau mencari bercak darah bukti keorisinilan diri ini. Lah, bukannya dia juga second? Ini namanya diskriminasi kalau seandainya tujuannya demikian. "Mas, ngapain?" tanyaku baik-baik. Belum ada rencana untuk ngegas. Jangan keceplosan, May! Mas Gun enggak jawab, dia meneruskan pencarian bercak yang mungkin tercecer di sudut sprei. Putus asa karena enggak ketemu, suamiku berbal
Aku menggeliat, meraba-raba keberadaan guling. Namun, permukaan guling itu kurasakan berbeda di tangan. Sewaktu lengan ini melingkarinya, ada pergerakan yang sama melingkari pinggangku. Mataku mengerjap, mulanya samar-samar hingga lama kelamaan penglihatanku normal saat mendongak. Senyuman indah terbingkai di sana. "Mas!" Nyaris saja kudorong lelaki itu andai nyawaku belum terkumpul separuhnya sehabis bangun tidur. "Kok, kaget, May?" "M--maaf, Mas." Oh, iya. Dia suamiku. Ini enggak mimpi, kan? Masa jomloku sudah berakhir, kan? Buku nikah! Dimana buku nikah? "May!" Mas Gun mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku. "Sebentar. Ini sungguhan kan, Mas? Tolong cubit aku!" Adegan Mas Gun mengobrak-abrik sprei dalam lamunan parahku kemarin seperti nyata sekali. Apa pagi ini dia akan melakukan itu saat kutinggal mandi nanti? Tapi enggak adil banget, dia sudah menang banyak sebelum-sebelumnya. "Enggak mau, May. Mendingan saya cium daripada dicubit." Tahu-tahu hidung bangir itu suda
"Apa sebaiknya kita ke rumah sakit saja, May. Sepertinya kamu demam." Mas Gun meletakkan telapak tangan di kening dan leherku. "Enggak usah, Mas. Nanti juga hilang sendiri." Aku meringkuk di balik selimut, sedikit menggigil. "Bisa tolong matikan AC-nya, Mas!" Lelaki matangku menekan tombol off pada remote itu lantas berbaring lagi menghadapku. Dia mengusap pipi dan bibir yang sesekali mendesis menahan hawa dingin menusuk hingga ke sumsum tulang meski telah bergulung bed cover. Mas Gun menyelipkan lengan di bawah kepalaku, menjadi tumpuan pengganti bantal. Sedangkan lengan satu lagi memeluk tubuhku. Hangat. "Maafkan perbuatan saya, May." "Perbuatan yang mana, Mas? Kaya aku ini istri yang terdzolimi saja." "Harusnya saya lebih berhati-hati membimbing kamu. Saya lupa kamu masih belum berpengalaman." Astaghfirullah, Bambang! Mentang-mentang aku demam habis begadang. Haruskah dikait-kaitkan juga? Serba salah jadi pengantin baru. Habis keramas arahnya ke sana, bangun kesiangan dibel
Ada pemandangan mengharukan saat aku keluar dari ruang kerja. Ruangan yang akan segera ditempati orang lain setelah aku membulatkan tekad untuk resign. Ya, ini hari terakhir menginjakkan kaki di tempat yang menjadi saksi bagaimana diriku ikut bersinergi mengembangkan perusahaan papi. Staff-ku berdiri membentuk deretan, seperti hendak memberikan penghormatan terakhir. Jangan-jangan! Istilah itu lebih cocok untuk pahlawan yang gugur di medan perang. "Bu May! Bilang ke saya kalau ini cuma mimpi." Vivi--sekretarisku sesenggukan, sedikit emosional memeluk mantan bosnya. Barang-barang penting dalam kardus yang kudekap kuulurkan pada security untuk dibawa ke mobil. Aku segera membalas pelukan wanita muda berhijab pink itu. Vivi adalah tangan kananku, wajar begitu kehilangan. "Sabar, ya! Insyaa Allah pengganti saya pasti jauh lebih baik," hiburku. Tangisan Vivi menular pada karyawan lain, ada sekitar lima orang di sana. Meninggalkan kubikal masing-masing demi perpisahan mendadak ini. Me
"Ayo May!" Sepeninggal petugas resort, Mas Gun membuka pintu kayu selebar dua meter penuh ukiran khas Bali. Aku membuntuti pria yang mengangkut doa koper besar berisi perlengkapan honeymoon selama lebih dari seminggu ke depan. Reservasi kamar kami bertipe single bed private villa. Di dalamnya terdapat satu kamar tidur dengan ranjang super besar. Juga ranjang kecil di sudut ruangan bersebelahan dengan sofa dengan lima bantal berjajar rapi. Fasilitas lain yang bikin betah adalah bath tub yang view-nya menghadap langsung ke alam. Juga kolam renang pribadi dengan suguhan pemandangan areal persawahan terasering hijau di kejauhan. Lelah hampir setengah harian menempuh perjalanan Jakarta-Bali. Aku menjulurkan kaki di gazebo sudut kolam renang. Di sana sudah tersedia dua handuk juga menu untuk lunch yang ditata manis dalam wadah rajutan unik. "Suka suasananya, May?" Suamiku telah berganti pakaian dengan atasan kaos berbahan katun dan celana santai. "Aku langsung jatuh cinta, Mas." "Sam