"Mas, ayo bangun!" Samar-samar kudengar seseorang berbisik di telinga. "Hmmm." Enggan rasanya membuka mata di saat masih ingin nyenyak bermain di alam mimpi. "Kok, cuma hmm. Ayo cepetan bangun!" Kali ini bahuku berguncang karena dorongan tangan Mayra. "Saya masih mengantuk, May." Kurebahkan tubuh istriku lalu menggulungnya di balik selimut. "Mas!" Dia meronta minta dilepaskan. "Sepagi ini ngapain bangunin suamimu, ha?" "Kan kemarin aku sudah bilang, minta ditemani jogging." Wanita! Selalu sensitif jika ada satu dua orang yang mengomentari perubahan fisiknya. Padahal di mataku sudah ideal. Namun, itu masalah besar jika orang lain yang berkomentar. Terlebih teman-teman yang dia bilang body goal meski sudah berkali-kali melahirkan. Dua tahun lamanya dia menahan diri untuk diet. Itu pun karena aku tak pernah mengizinkan, bahkan menentangnya habis-habisan meski Mayra memohon-mohon. Sekarang, dia seperti tawanan yang telah bebas. Sudah menyelesaikan tugas menyusui Rendra selama du
"Bagaimana, May? Kamu mau kembali ke perusahaan papi? Sudah waktunya papi beristirahat, menemani Mami liburan, juga mengisi masa tua papi bersama cucu-cucu kesayangan papi." Lelaki berambut putih itu menolehku. Aku tak langsung menjawab atau berkata setuju. Belakangan kondisi kesehatan Papi menurun. Pola hidup sehat yang diterapkan kendur lagi seiring banyaknya pekerjaan yang menuntut segera diselesaikan. Namun tidak diimbangi dengan fisik yang memadai. "Mayra perlu membicarakan ini dengan Mas Indra, Pi." Kurangkul bahu Papi hingga mencapai sebuah bangku taman belakang dekat kolam ikan koi kesayangan pria tua tersebut. "Semoga Indra mengizinkan ya, May. Perusahaan Papi butuh generasi mumpuni seperti kamu. Sayang, kalau pengalaman yang kamu miliki disia-siakan begitu saja. Papi yakin, di tangan kamu perusahaan Papi pasti akan terus-menerus berkembang. Mampu menyerap tenaga kerja domestik, serta disegani kompetitor karena inovasi dan ide brilian kamu sering tidak terduga." "Itu kan
“Apa? Tiga kali menduda?” Aku terbatuk dan tersedak jus jeruk yang baru terseruput. Lelaki berdasi di seberang meja sampai harus beranjak dari kursinya. Berjalan mendekat lantas menepuk-nepuk punggungku. Suasana kembali normal setelah air yang terlanjur masuk melalui hidung bisa kukeluarkan. Dalam otak ini tersusun rencana untuk menonjok Firman hingga babak belur. Tega-teganya adik enggak ada akhlak itu mencarikan partner kencan buta dengan predikat duda. Tiga kali pula. “Jadi bagaimana? Kalau kamu setuju, secepatnya akan saya adakan lamaran resmi,” ucap pria bernama lengkap Indraguna Prawira setelah kembali ke kursinya. “Lamaran? Secepat itu?” “Lalu kamu mau melanjutkan hubungan yang seperti apa? Pacaran kaya ABG? Memang masih pantas?” Asem! Dia nyindir gitu? Mentang-mentang lebih dulu berpengalaman di bidang perkawinan. Juga perceraian. "T--tapi saya butuh waktu, Pak." Ada gitu pertemuan pertama, belum mengenal satu sama lain, dengan percaya dirinya melamar. "Berapa lama? Sa
"Firman!" Lengkingan seriosaku menggema seantero rumah Papi. Aku tahu Firman dan Rasti bersembunyi di salah satu sudut rumah Papi. Terlihat dari mobil yang teronggok di garasi. Pintar! Si jomlo ngenes dibuatnya makin ngenes. Suami istri sama-sama enggak ada akhlak. "Eh, ada Mama Mayra!" "Mama Mayra udah pulang, ya!" Aku salah. Pasangan muda itu tidak melarikan diri, tapi melemahkanku dengan menyodorkan Chesa. Bayi gembul berusia 6 bulan. Mulut dan hidung kecil tetimbun pipi itu bergerak lucu. Lalu tersenyum dan mengoceh. Ah, lucu! Mauuu! Tapi harus bekerjasama dengan siapa? Bayangan Pak Indraguna yang mengaku mirip Hamish Daud tiba-tiba melintas. Seketika tubuhku merinding, membayangkan lebatnya kumis dan jenggot yang dia punya. "Aduuuh, tayang ... tayang. Gumush!" Kuambil bayi perempuan itu dari tangan Rasti, menciumnya gemas. Lantas membawanya berputar-putar. Chesa terkikik senang, sama seperti ayah bundanya yang sedang beradu tangan sambil berteriak, toss! Strategi meredam
"Bapak keberatan dengan panggilan itu?" What's wrong with Mas Gun? Bukankah terdengar lebih akrab. Lelaki yang langsung mengenakan kacamata hitam itu tertawa sambil mengibaskan tangan di depan wajah. "Terserah mau panggil apa. Yang jelas saat ini saya sangat membutuhkan bantuan kamu." "Bantuan apa, Pak?" "Ikut saya!" Pria 35 tahun itu bangkit lantas mengulurkan tangan. Mau digandeng ke mana? Bukan mau dansa atau menyeberang jalan, kan? "Maaf, Pak. Saya tidak bisa pergi begitu saja tanpa kejelasan." Tangan yang menggantung itu perlahan turun, seiring helaan napas kecewa karena aku menolak ajakan yang entah ke mana. "Saya akan jelaskan semuanya setelah sampai tujuan, saya tidak punya banyak waktu." Kupikir dia menyerah dan segera pergi, tapi malah menjulang di depanku. "Begitu pun dengan saya. Kebetulan jadwal saya pun sangat padat. Jika tidak mendadak seperti ini, pasti akan saya re-scedule supaya tidak bentrok. Sekali lagi maaf!" "Rapat hari ini biar Papi dan Firman yang han
"Jadi, Mbak May habis dikenalin sama ibunya Pak Indra? Ada kemajuan, nih." Rasti bersorak yas yes merasa misinya berhasil. Sepulang dari rumah sakit, mood-ku terlanjur berantakan. Malas kembali ke kantor, kuputuskan menyambangi rumah Firman dan Rasti. "Jangan kesenengan dulu kamu, Ras. Aku kasih jeda satu bulan sebelum Mas Gun datang melamar." "Mas Gun siapa, Mbak? Ada calon lain?" "Maksud Mbak, ya, Pak Serbaguna eh Indraguna mantan bos kamu itu." "Aciaaaah, udah punya nama panggilan kesayangan." Rasti noel-noel lenganku, bikin dada ini ser-seran aneh mendengar apa yang dia bilang. Panggilan kesayangan itu bukannya semacam, sayang, baby, honey. Lha ini Mas Gun? Kesayangan dari Hongkong? "Udah, deh, gak usah julid kamu, Ras." Malu, sudah tua begini diledekin kaya anak ABG. Ulah manusia enggak ada akhlak. "Kenapa harus nunggu selama itu, sih, Mbak?" tanya adik iparku. "Nah, itu dia tujuan Mbak ke sini. Kalau kamu pengen mbakmu ini lepas dari status jomblo ngenes. Kamu harus ban
"Ibu saya ingin ketemu sama kamu, May." lanjut Pak Indra, masih dari sambungan telepon. Sayangnya di depanku enggak ada kaca. Jadi enggak bisa lihat perubahan warna di pipi yang mungkin memerah waktu Mas Gun bilang kangen. Namun, ujungnya tidak mengenakkan. Semula dihempaskan ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi ke dasar bumi. Ini yang kangen siapa yang ingin ketemu siapa? "Kenapa ibunya Mas Gun pingin ketemu sama saya?" "Ya, ingin mengenal lebih dekat calon menantunya lah." "Saya belum acc, loh, Mas. Tentang rencana lamaran itu." Calon, calon. Percaya diri sekali lelaki itu, mentang-mentang sekali tembak tiga wanita bisa tumbang oleh pesonanya. Jangan sampai aku tertipu sebelum berhasil mengumpulkan fakta. "Yang penting keluarga kamu sudah deal. Urusan kamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Nanti kalau sudah menthok paling-paling nyerah juga. Ingat! Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi." Kalimat terakhir terdengar penuh penekanan. Mengingatkan jeda waktu yang dia sendiri tidak t
"Nikahin secepatnya? Anda lucu sekali, Pak. Lamaran saja belum tentu terlaksana." Aku terkekeh sombong.Sebagai pengidap jomlo akut, tak memungkiri bahwa aku pun ingin segera mengakhiri status single ini. Namun sah-sah saja kan, jika aku berhak mendapatkan calon pendamping terbaik. Sudah enggak laku-laku, pemilih pula. Well, silahkan beropini apa saja. Namun, jalan hidup mendatang tetap berada dalam genggamanku bukan di tangan netijen. "Konsisten, May. Kalau panggil pak ya pak, mas ya mas. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa dengan panggilan Mas Gun. Meski sedikit menurunkan wibawa saya, tapi kalau keluar dari mulut kamu jadi terdengar lebih spesial." Enggak bakalan mempan, Mas. Mau digombalin jenis apa pun aku enggak akan menerima lamaran sebelum misi selesai. Pak Indra membimbingku duduk berhadapan di kursi balkon. Bersekat meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi yang mulai berkurang kepulan asapnya. Aroma khas minuman berkafein itu merelaksasi pikiran semrawut yang berjeja