Share

Fakta Mengejutkan Tentang Mantan

"Ibu saya ingin ketemu sama kamu, May." lanjut Pak Indra, masih dari sambungan telepon. 

Sayangnya di depanku enggak ada kaca. Jadi enggak bisa lihat perubahan warna di pipi yang mungkin memerah waktu Mas Gun bilang kangen. Namun, ujungnya tidak mengenakkan. Semula dihempaskan ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi ke dasar bumi. Ini yang kangen siapa yang ingin ketemu siapa? 

"Kenapa ibunya Mas Gun pingin ketemu sama saya?" 

"Ya, ingin mengenal lebih dekat calon menantunya lah." 

"Saya belum acc, loh, Mas. Tentang rencana lamaran itu." 

Calon, calon. Percaya diri sekali lelaki itu, mentang-mentang sekali tembak tiga wanita bisa tumbang oleh pesonanya. Jangan sampai aku tertipu sebelum berhasil mengumpulkan fakta. 

"Yang penting keluarga kamu sudah deal. Urusan kamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Nanti kalau sudah menthok paling-paling nyerah juga. Ingat! Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi." Kalimat terakhir terdengar penuh penekanan. Mengingatkan jeda waktu yang dia sendiri tidak tahu untuk apa. 

Mudah-mudahan misi selanjutnya aku bisa mendapat info yang lebih valid tentang mantan istri berikutnya. Mencari kesalahan orang ternyata tidak segampang yang netijen bilang. 

"Nanti sore saya jemput, May." 

"Loh, kok, main jemput-jemputan segala. Halo Mas! Mas Gun ... halo--" Semprul! Dia memutuskan sambungan telepon. 

Pintu private room bergeser, Rasti datang bersama bayi gembulnya. "Mbak May! Gimana?" 

Ipar enggak ada akhlak, datang-datang langsung kepo. Dia duduk manis di kursi bekas Mbak Purnama Julita tadi. Menopang dagu cengengesan menunggu hasil pertemuan empat mata dengan salah satu mantan istri Pak Indra. 

"Zonk, Ras." 

Aku mendesah kecewa, sementara Chesa cekikikan. Tangan kecilnya menggapai-gapai benda di meja. Lihatlah! Bahkan bayi itu pun punya bakat julid kaya ayah bundanya. Menertawakan kengenesan ini. 

"Kok, gitu, Mbak? Enggak berhasil ngorek sama sekali?" 

Mau mengorek bagaimana? Belum apa-apa sudah diskakmat. Malu kalau diingat-ingat. Seumur-umur, baru kali ini aku kurang kerjaan stalking mantan istri orang. 

"Kalau tahu hasilnya zonk begini. Mbak hora sudi, Ras. Repot-repot bikin janji berakhir malu-maluin." 

"Lagian Mbak ada-ada aja, tinggal iyain lamaran Pak Indra eh malah ribet ngoprek masa lalu orang." 

"Itu penting, Ras. Masa lalu adalah acuan untuk masa depan. Jadi harus clear di awal dulu, biar ke depannya enggak kaget kalau ternyata di kehidupan lampau ada something yang kudu diberesin." 

Menurutku itu harus dilakukan. Keterbukaan dalam menjalin hubungan adalah penunjang keharmonisan. Jadi, aku harus tahu asem, manis, pahit, legit kehidupan rumah tangga Pak Indra sebelum menduda ... tiga kali. 

"Jadi, Mbak Mayra mau lanjut selidikin mantan istri nomor dua?" 

"Ya, dong." 

"Minta bantuan Rasti sama Mas Firman lagi?" 

"Enggaklah." 

"Alhamdulillah." 

"Enggak salah maksudnya." 

"Mbaaak!" 

Salah sendiri mengerjaiku, siapa suruh iseng menyodorkan duda untuk partner kencan buta. Mau tak mau mereka harus tanggung jawab sampai ke akar-akarnya. 

***

Sore hari. 

Pak Indra benar-benar konsisten dengan ucapannya. Maka dari itu sekarang aku berdiri di sini. Di depan sebuah rumah yang kuperkirakan seluas ribuan meter persegi. Lebih besar dua kali lipat dari rumah Papi. 

Pilar-pilar bercat putih menjulang kokoh di beberapa bagian bangunan, termasuk teras. Dari arsitektur-nya jelas sekali mengusung tema Eropa klasik. 

"Masuk, May!" Pak Indra menarik tanganku setelah pintu yang juga berwarna putih terbuka oleh asisten rumah tangga. 

Seperti kucing lapar yang mengintil kaki sang majikan, aku pun manut saja mengikuti ke mana pun pria itu melangkah dengan mata menjelajah ruang demi ruang yang masih didominasi warna putih. 

"Ini rumah Pak Indra?" Sudah jauh sampai di dalam baru bertanya, dasar aku! 

"Rumah orang tua saya, May." Lelaki berkemeja putih itu menoleh sekilas lalu meneruskan langkah menaiki anak tangga yang pembatas kanan kirinya dihiasi lampu-lampu. 

Di perjalanan tadi Pak Indra sedikit bercerita mengenai keluarganya. Bungsu dari tiga bersaudara itu merupakan anak lelaki satu-satunya di trah Prawira. Kakak pertama menjalani bisnis di luar negeri bersama sang suami. Sementara satu lagi tinggal di Bandung. Namun, sering bolak-balik Jakarta untuk merawat sang ibu. 

Padahal aku menunggu Pak Indra membuka rahasia perceraian dengan mantan-mantan istrinya. Kenapa malah membahas silsilah keluarga? 

"Silahkan May!" Hamish Daud KW membuka salah satu pintu di lantai dua. Rupanya terhubung dengan balkon. 

Area yang cukup luas untuk bersantai itu dilengkapi meja kayu panjang, dikelilingi kursi-kursi dari bahan yang sama. Sepertinya mereka sering mengadakan jamuan barbeque. 

Lantai balkon diberi sentuhan rumput sintetis. Sementara di dekat pagar pembatas, berjajar pula tanaman-tanaman yang tertata rapi dalam pot. Di situlah aku melihat wanita berbalut kerudung ungu tengah menyemprotkan air ke salah satu koleksi tanaman. 

"Sore, Tante!" sapaku, sepeninggal Pak Indra. 

Entah kenapa pria yang dagunya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus lagi itu memilih pergi ketimbang bergabung dengan perbincangan kami. 

Apakah ini yang namanya disuruh mengambil hati calon mertua? 

"May! Kamu sudah datang?" Tante Kantini memutar kursi roda. Aku sigap menghampiri nya lantas meraih pegangan di belakang punggung wanita keibuan tersebut. 

"Iya, Tante." 

Kondisi wanita yang telah melahirkan Pak Indra jauh lebih baik. Sangat berbeda dengan pertemuan pertama kami di rumah sakit waktu itu. 

Setengah jam kami terlibat dalam perbincangan. Membahas hal yang ringan-ringan saja. Walaupun bisa dipastikan bahwa ujung-ujungnya selalu menyinggung tentang pernikahan. Aku bukan cenayang, tapi feeling seorang jomlo ngenes biasanya tepat. 

"Jika Indra sudah yakin dengan pilihannya. Tante selalu menyarankan untuk disegerakan saja," ucap Tante Kantini. 

Tuh, kan! 

Masalahnya bukan terletak pada Mas Gun, tapi aku yang belum yakin. Sayang, wanita itu tak bisa mendengar isi hatiku. Ingin diutarakan tapi takut menyinggung perasaan. 

"Mungkin Pak Indra masih butuh waktu, Tante." Jelas ini pencitraan, padahal aku yang mengulur waktu. 

"Untuk apa mengulur waktu? Lelaki itu harus tegas, karena wanita pada dasarnya selalu menunggu." Pak Indra mengarang cerita apa ke ibunya. Kok, kenyataannya terbalik. "Jangan sampai seperti waktu itu, pacaran bertahun-tahun, nikah lima tahun, tapi harus bercerai," lanjut beliau. 

Ini dia yang kutunggu-tunggu, sejarah perceraian pertama versi keluarga Prawira. 

"Memangnya kenapa, Tante?" Mari kita lempar umpan untuk mendapat pancingan. 

"Waktu itu mereka masih sama-sama muda. Wajar sering terjadi percekcokan karena kesibukan masing-masing. Namun, salah Indra juga terlalu memberikan kebebasan untuk Purnama, sampai dia tidak sadar jika akhirnya berbuah simalakama." Sedikit demi sedikit misteri itu mulai terkuak dari bibir Tante Kantini. Sudah pasti dia berkata sebenarnya. 

"Maksud Tante?" 

"Sudahlah, May! Tante tidak mau membicarakan keburukan di masa lalu. Itu pilihan mereka, dan saya harus menghargai keputusan itu. Namun setahu Tante, Indra tidak akan pernah memberikan kesempatan kedua untuk sebuah pengkhianatan." 

Apa? Pengkhianatan? Jadi sebenarnya Mbak Purnama Julita yang berkhianat di sini? Wanita sok bijak dan sok idealis itu ternyata .... 

Ini benar-benar plot twist. Awalnya dibuat terkagum-kagum oleh sosok cantik jelita itu. Sekarang ketemu faktanya. Seorang Indraguna yang tampan paripurna pernah diselingkuhi? 

Oke! Mumpung masih membahas mantan istri. Aku harus pancing-pancing lagi ke penyelidikan berikutnya. Ini namanya sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Jadi tak perlu capek-capek menggunakan jasa intelegensi. 

"Maaf, Tante. Lalu tentang mantan istri--" 

"Maaf, Buk. Waktunya istirahat dan minum obat." Kalimatku menggantung oleh kehadiran salah satu perawat pribadi. 

Semprul! Gagal tanya jawab. 

Tante Kantini undur diri dibawa masuk untuk beristirahat. Sementara aku berdiri memandangi view kawasan elite dengan luas bangunan yang rata-rata nyaris sama. 

"Seru ngobrolnya May?" Pria yang sedari tadi menghilang, kembali lagi dengan membawa dua cangkir kopi panas. 

"Biasa aja, Mas." Tentu saja seru, andai tidak ada yang mengganggu. 

"Insting Mama itu kuat May. Bahkan dia bisa tahu kepribadian seseorang hanya dengan tatapan mata saat dia berinteraksi dengan lawan bicaranya." 

"Tante Kantini seorang pakar ekspresi, Mas?" Jangan-jangan, aku salah satu target yang ingin dikupas kepribadiannya. 

Pak Indra terkekeh melihat kepanikanku. Menyebalkan tapi tak menurunkan level ketampanannya. 

"Dulu, saya sering tidak percaya dengan penilaian Mama tentang wanita-wanita yang pernah dekat dengan saya. Sampai kegagalan demi kegagalan itu menyadarkan saya tentang naluri seorang ibu." Pak Indra berdiri sejajar denganku, menyandarkan setengah tubuhnya di besi pembatas balkon. 

"Lalu hubungannya dengan saya apa?" 

"Kali ini saya akan mencoba untuk mempercayai Mama, May." 

"Caranya?" 

"Menikahi kamu secepatnya." 

Weleh!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status