Share

Terpesona Suami Raisa

"Firman!" Lengkingan seriosaku menggema seantero rumah Papi. 

Aku tahu Firman dan Rasti bersembunyi di salah satu sudut rumah Papi. Terlihat dari mobil yang teronggok di garasi. Pintar! Si jomlo ngenes dibuatnya makin ngenes. Suami istri sama-sama enggak ada akhlak. 

"Eh, ada Mama Mayra!" 

"Mama Mayra udah pulang, ya!" 

Aku salah. Pasangan muda itu tidak melarikan diri, tapi melemahkanku dengan menyodorkan Chesa. Bayi gembul berusia 6 bulan. Mulut dan hidung kecil tetimbun pipi itu bergerak lucu. Lalu tersenyum dan mengoceh. 

Ah, lucu! 

Mauuu! 

Tapi harus bekerjasama dengan siapa? Bayangan Pak Indraguna yang mengaku mirip Hamish Daud tiba-tiba melintas. Seketika tubuhku merinding, membayangkan lebatnya kumis dan jenggot yang dia punya. 

"Aduuuh, tayang ... tayang. Gumush!" Kuambil bayi perempuan itu dari tangan Rasti, menciumnya gemas. Lantas membawanya berputar-putar. 

Chesa terkikik senang, sama seperti ayah bundanya yang sedang beradu tangan sambil berteriak, toss! Strategi meredam amarahku benar-benar sukses. 

"Gimana kencannya tadi, Mbak?" Rasti mengejarku yang membawa Chesa menjauh. 

Ya. Rasanya ingin kubalas perbuatan mereka dengan membawa bayi montok itu ke luar angkasa. Halah. Intinya aku kesal, marah, kepingin ngamuk tapi emosiku tertahan tingkah lucu Chesa. 

"May! Tumben ke sini." Mami meletakkan majalah fashion di coffe table ruang keluarga, melihat kedatangan putri sulungnya. 

"May lagi nyari Firman dan Rasti, Mi. Mau bikin perhitungan." Gigiku bergemelutuk menahan aliran panas di dalam sini. 

Kulihat Rasti melangkah mundur, takut. Namun ditahan oleh Firman yang menyusul ke ruang santai. 

"Sabar, May. Usaha adik kamu patut diapresiasi, lho!" Giliran Papi yang baru turun dari tangga angkat bicara. 

Mendapat pembelaan, Firman mengangkat dagu, sombong. Ya, mereka beraninya main keroyokan sekarang. Digiringlah diri ini duduk lesehan depan TV flat 52 inci. 

Ruang tengah mendadak jadi tempat persidangan. Semua menghakimi kejombloan akut ini, kecuali Chesa. Bayi polos tak berdosa itu cuma ketawa-ketiwi merangkak di atas karpet busa. Mungkin sama mengejekku yang harusnya telah memberinya kakak sepupu. Kalau perlu tiga.

"Apanya yang patut diapresiasi, Pi? Seenggaknya yang bener, dong, nyariin partner. Lah, ini, udah bewoknya kaya semak belukar. Tiga kali menduda pula." Gerutuan panjangku mengundang gelak tawa. 

"Yang penting, kan, single, May!" Mungkin Mami pun sudah putus asa anaknya yang cantik paripurna ini belum juga menemukan radar jodohnya. 

"Tetep aja bekas tiga orang. Enggak ori lagi." 

"Emang kenapa, sih, Mbak, kalo duda?" Firman ngotot, minta dilempar bakiak memang. 

"Oke, fix. Sebenernya, Mbak enggak masalah dengan status duda. Tapi enggak tiga kali juga, Firman. Udah jelas, kan, yang sebenarnya bermasalah itu siapa? Kalo dia laki-laki baik, gak mungkin segampang itu kawin cerai. Paham semuanya!" 

Hening. 

Semua kompak terbungkam. Entah mencerna atau menyiapkan sanggahan. 

"Belum tentu begitu, May. Kebetulan Papi tahu sepak terjang Indraguna di kalangan pengusaha." Papi memulai sanggahan pertama. 

"Tapi kehidupan pribadinya Papi enggak tau, kan?" balasku tak kalah sengit. 

Tega-teganya aku diumpankan pada lelaki yang mengaku mirip suami Raisa itu demi mengakhiri status single-ku ini. 

"Papi benar, Mbak. Lima tahun Rasti jadi sekretaris Pak Indra, dia orangnya enggak neko-neko, kok. Kalo rada dingin dan to the point, sih, iya." Ini adik ipar, mentang-mentang sudah laku duluan pakai acara ngiklanin mantan bosnya. 

"Firman sependapat, Mbak. Memang cuma Pak Indra yang cocok jadi pasangan Mbak Mayra. Coba flashback dulu tentang mantan-mantan Mbak. Ada yang lurus dan bener, gak?" 

Ada benarnya kata Firman. Entah kenapa aku selalu menjalin hubungan dengan pria bermasalah. 

Pernah berpacaran dengan lelaki berwajah tampan, seumuran, tapi ujung-ujungnya cuma jadi parasit. Tanda sayang baginya adalah minta dibayarin ini itu. 

Untung aku cepat tanggap, yang model begitu patut untuk dimusnahkan dari muka bumi. Kalau dinikahi bisanya ngandelin istri sementara dia cuma ongkang-ongkang kaki. Tampang oke tapi kere, buruk akhlak pula. 

Failed! 

Ada lagi pernah dekat dengan lelaki yang lebih dewasa, mapan dan juga menawan. Namun, baru sehari jadian ternyata ketahuan kalau dia suami orang. Nyesek! Tapi cepat-cepat undur diri sebelum dicap sebagai pelakor. 

Ngeri kalau sampai dihakimi emak-emak di seluruh pelosok negeri. 

Gagal maning. 

Pernah juga icip-icip dekat sama berondong. Matre, sih, enggak. Bukan pula suami orang, tetapi labilnya tingkat Asia. Sebentar-sebentar ngambek, sebentar-sebentar laporan ini itu. 

Aku kepingin diemong bukannya ngemong. 

Gagal untuk kesekian kali. 

Jujur, masih banyak lagi cerita serupa tapi tak sama. Jika kutuliskan satu per satu enggak bakalan muat satu lembar kertas ukuran A4. Kalaupun ada yang benar-benar tulus, mereka memilih mundur karena status sosial yang berbeda. 

Tak selamanya wanita cantik, mandiri dan sukses dalam karier itu mujur dalam perihal asmara. Kalau apes melulu, sih, iya. 

"Oke. Sekarang May mau tanya. Apa Papi Mami malu dengan status perawan tua ini?" Sakit menyebutnya, aku bukan perawan tua, kok. Cuma telat nikah saja alias jodohku masih tertunda. 

"Bukannya malu, Sayang. Kami hanya bisa mengupayakan yang terbaik untuk masa depanmu." Mami menepuk bahuku, memberi pengertian. Aku bisa menangkap kekhawatiran di sepasang mata yang mulai menua. 

Apalagi kalau sudah menyangkut penyakit tua. Ingin melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa sebelum ajal menjemput. Ah! Makin terpojok dan tak berkutik. 

Haruskah aku menyerah sampai di sini? 

"Kalian semua yakin dengan pilihan itu?" Semua mengangguk kompak. 

"Yakin, kalian semua siap? Ini adalah pertaruhan karier Mayra. Setelah menikah, Mayra akan resign dari perusahaan. Menanggalkan gelar sarjana, melepas karier dan mendedikasikan diri Mayra full sebagai ibu rumah tangga. Papi udah siap kehilangan calon presiden direktur dengan segudang prestasinya?" 

Terdengar konyol, tapi itu murni cita-citaku setelah menemukan pendamping hidup. Sekaligus mengetes kerelaan Papi. 

Lelaki 60 tahun itu menarik napas, memijit pangkal hidung, memijit pelipis, seakan tengah berada dalam dua pilihan yang sangat sulit. Namun, harus tetap memutuskan salah satu. 

"Itu, sih, enggak masalah. Ya, kan, Pi! Kan masih ada Firman." Elah! Rupanya ada yang sedang mencari celah di tengah ketidakberdayaan kakaknya. 

"Ooh. Jangan-jangan ini memang rencana kamu biar dipromosikan jadi direktur buat gantiin Mbak. Good!" Firman pucat seketika mendengar tuduhanku. 

"E--enggak gitu, Mbak." 

Ekspresi ketakutan adikku terlihat lucu. Kalau pun dia yang jadi penggatiku, ya, wajar. Firman 'kan anak Papi juga. 

"In Syaa Allah, Papi ikhlas, May. Demi generasi penerus perusahaan. Papi butuh bibit-bibit unggul yang cerdas dan mandiri seperti kamu dan Indraguna." Ucapan Papi seperti hakim yang telah mengetuk palu pertanda sidang telah selesai dengan satu keputusan. 

"Jadi--" 

"Iya, sebaiknya kamu menikah saja. Lahirkan cucu-cucu yang banyak untuk Papi Mami." 

Nikah? Serius ini? 

***

Melewati lobi kantor, sapaan juga anggukan penuh hormat selalu menjadi pemandangan sehari-hari. Aku bukan penggila kehormatan. Sebisa mungkin membalas mereka dengan senyuman. 

Bagiku, senyuman adalah energi positif untuk menumbuhkan semangat mereka dalam beraktivitas. Jika hati senang pekerjaan pun terasa ringan. Menebar senyuman toh, tidak akan menjatuhkan wibawaku sebagai pimpinan. 

Justru kearoganan kerap kali membuat orang lain merasa terpaksa menjalani rutinitas. Hanya demi uang. 

"Maaf, Bu Mayra. Ada yang sedang menunggu di ruang tunggu lobi." Salah satu security memberitahu saat tangan ini hendak menekan tombol lift. 

"Siapa, Pak?" tanyaku, penasaran. 

"Namanya Pak Indraguna, Bu Mayra." 

What! Pemilik jenggot semak belukar ngapain pagi-pagi ke kantor? 

"Baik, Pak. Terima kasih." 

Petugas keamanan itu mengangguk dan mengayunkan tangan mempersilakan menuju ruang tunggu. 

Lelaki berbalut kemeja hitam lengan panjang tengah duduk menyilangkan kaki di sofa dekat pintu masuk lobi. Memandang lurus ke luar dinding kaca hingga tak menyadari aku telah berdiri di sampingnya. 

"Selamat pagi, Pak! Bapak mencari saya?" Sapaanku mengagetkannya. Pun sama denganku yang tiba-tiba memaku tanpa sebab. 

Salah, memang ada sebabnya. Ke mana perginya rambut-rambut lebat di kitaran dagu dan bawah hidung itu? 

"Bapak--" 

"Iya. Saya suami Raisa. Kenapa? Kaget lihat ketampanan saya?" 

Sial! Ucapannya benar semua. Jenggot dan kumis itu terpangkas habis, yang tersisa hanya ketampanannya. Ya, hanya itu. 

"Maaf. Ada perlu apa Bapak datang ke sini?" Aku duduk di sofa tunggal satu lagi.  

Duh, kenapa orang ini jadi kelihatan lebih muda? 

"Jangan terlalu formal, panggil saya biasa saja." 

"Baik. Mas Gun ada perlu apa mencari saya?" 

"Mas Gun?" Dia mengernyit. 

Salahku di mana? Katanya tidak boleh terlalu formal. Dipanggil Mas Gun kok, protes. Orang namanya Indraguna. Ada Gun-gunnya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status