“Apa? Tiga kali menduda?” Aku terbatuk dan tersedak jus jeruk yang baru terseruput.
Lelaki berdasi di seberang meja sampai harus beranjak dari kursinya. Berjalan mendekat lantas menepuk-nepuk punggungku. Suasana kembali normal setelah air yang terlanjur masuk melalui hidung bisa kukeluarkan.
Dalam otak ini tersusun rencana untuk menonjok Firman hingga babak belur. Tega-teganya adik enggak ada akhlak itu mencarikan partner kencan buta dengan predikat duda. Tiga kali pula.
“Jadi bagaimana? Kalau kamu setuju, secepatnya akan saya adakan lamaran resmi,” ucap pria bernama lengkap Indraguna Prawira setelah kembali ke kursinya.
“Lamaran? Secepat itu?”
“Lalu kamu mau melanjutkan hubungan yang seperti apa? Pacaran kaya ABG? Memang masih pantas?”
Asem! Dia nyindir gitu? Mentang-mentang lebih dulu berpengalaman di bidang perkawinan. Juga perceraian.
"T--tapi saya butuh waktu, Pak." Ada gitu pertemuan pertama, belum mengenal satu sama lain, dengan percaya dirinya melamar.
"Berapa lama? Saya tidak punya banyak waktu." Lelaki itu sebentar-sebentar melirik jam, kaya orang penting dengan segudang kesibukan. Namun, informasi dari Firman memang seperti itu.
"Tiga bulan."
"Terlalu lama. Adik ipar kamu sudah memberikan data-data valid tentang kamu. Dari profil, hobi, makanan kesukaan, juga kriteria pria idaman. Jadi, saya tidak perlu bertele-tele membuang waktu untuk mengenal diri seseorang."
Sialan! Jadi aku dikerjai Firman dan Rasti-- adik ipar sendiri yang tak lain adalah mantan sekretaris bos besar pemilik salah satu perusahaan garment di wilayah barat Jakarta sana.
Semudah itukah dia mencari calon istri? Pantas pernah gagal sampai tiga kali. Berarti pernikahan baginya hanyalah permainan, jika bosan bisa seenaknya gonta-ganti pasangan. Lelaki!
"Mayra Anataya. Usia 30 tahun, single. Penyuka tanaman. Kriteria pria idaman, dewasa, lebih tinggi, baik secara fisik maupun gaji perbulan. Tidak berkumis dan berjenggot, minimal seperti suami Raisa." Nama yang disebutkan di akhir menciptakan gelak tawa makhluk di meja seberang. Bahu kokohnya berguncang.
Padahal Rasti yang ngefans sama Hamish Daud, kenapa kakak iparnya yang dibawa-bawa.
"Kenapa ketawa, Pak? Enggak masuk kriteria, ya?" Ada untungnya Rasti nulis asal-asalan. Buat alasan nolak lamarannya.
"Ya, kebetulan semua kriteria itu memang ada dalam diri saya. Kamu benar-benar high quality jomlo." Pak Indraguna melipat tangan di dada, bersandar pada sandaran kursi. Satu kaki menyilang bertumpu di paha satunya.
Songong.
Cepat-cepat kukeluarkan ponsel dari tas, lalu mengusap layar dan menekan aplikasi g****e. Mengetikkan nama suami Raisa di pencarian.
Tak lama artikel-artikel tentang pasangan selebritis itu bermunculan. Lengkap dengan pict dengan berbagai pose yang manly. Terlebih saat mengenakan setelan jas.
Mataku mengamati layar HP. Lantas mendongak, membandingkan dengan wajah Pak Indra. Kuulangi sampai empat kali sebelum mengakui bahwa memang ada kemiripan. Kecuali tentang kumis dan jenggot.
Mati!
Bersambung
"Firman!" Lengkingan seriosaku menggema seantero rumah Papi. Aku tahu Firman dan Rasti bersembunyi di salah satu sudut rumah Papi. Terlihat dari mobil yang teronggok di garasi. Pintar! Si jomlo ngenes dibuatnya makin ngenes. Suami istri sama-sama enggak ada akhlak. "Eh, ada Mama Mayra!" "Mama Mayra udah pulang, ya!" Aku salah. Pasangan muda itu tidak melarikan diri, tapi melemahkanku dengan menyodorkan Chesa. Bayi gembul berusia 6 bulan. Mulut dan hidung kecil tetimbun pipi itu bergerak lucu. Lalu tersenyum dan mengoceh. Ah, lucu! Mauuu! Tapi harus bekerjasama dengan siapa? Bayangan Pak Indraguna yang mengaku mirip Hamish Daud tiba-tiba melintas. Seketika tubuhku merinding, membayangkan lebatnya kumis dan jenggot yang dia punya. "Aduuuh, tayang ... tayang. Gumush!" Kuambil bayi perempuan itu dari tangan Rasti, menciumnya gemas. Lantas membawanya berputar-putar. Chesa terkikik senang, sama seperti ayah bundanya yang sedang beradu tangan sambil berteriak, toss! Strategi meredam
"Bapak keberatan dengan panggilan itu?" What's wrong with Mas Gun? Bukankah terdengar lebih akrab. Lelaki yang langsung mengenakan kacamata hitam itu tertawa sambil mengibaskan tangan di depan wajah. "Terserah mau panggil apa. Yang jelas saat ini saya sangat membutuhkan bantuan kamu." "Bantuan apa, Pak?" "Ikut saya!" Pria 35 tahun itu bangkit lantas mengulurkan tangan. Mau digandeng ke mana? Bukan mau dansa atau menyeberang jalan, kan? "Maaf, Pak. Saya tidak bisa pergi begitu saja tanpa kejelasan." Tangan yang menggantung itu perlahan turun, seiring helaan napas kecewa karena aku menolak ajakan yang entah ke mana. "Saya akan jelaskan semuanya setelah sampai tujuan, saya tidak punya banyak waktu." Kupikir dia menyerah dan segera pergi, tapi malah menjulang di depanku. "Begitu pun dengan saya. Kebetulan jadwal saya pun sangat padat. Jika tidak mendadak seperti ini, pasti akan saya re-scedule supaya tidak bentrok. Sekali lagi maaf!" "Rapat hari ini biar Papi dan Firman yang han
"Jadi, Mbak May habis dikenalin sama ibunya Pak Indra? Ada kemajuan, nih." Rasti bersorak yas yes merasa misinya berhasil. Sepulang dari rumah sakit, mood-ku terlanjur berantakan. Malas kembali ke kantor, kuputuskan menyambangi rumah Firman dan Rasti. "Jangan kesenengan dulu kamu, Ras. Aku kasih jeda satu bulan sebelum Mas Gun datang melamar." "Mas Gun siapa, Mbak? Ada calon lain?" "Maksud Mbak, ya, Pak Serbaguna eh Indraguna mantan bos kamu itu." "Aciaaaah, udah punya nama panggilan kesayangan." Rasti noel-noel lenganku, bikin dada ini ser-seran aneh mendengar apa yang dia bilang. Panggilan kesayangan itu bukannya semacam, sayang, baby, honey. Lha ini Mas Gun? Kesayangan dari Hongkong? "Udah, deh, gak usah julid kamu, Ras." Malu, sudah tua begini diledekin kaya anak ABG. Ulah manusia enggak ada akhlak. "Kenapa harus nunggu selama itu, sih, Mbak?" tanya adik iparku. "Nah, itu dia tujuan Mbak ke sini. Kalau kamu pengen mbakmu ini lepas dari status jomblo ngenes. Kamu harus ban
"Ibu saya ingin ketemu sama kamu, May." lanjut Pak Indra, masih dari sambungan telepon. Sayangnya di depanku enggak ada kaca. Jadi enggak bisa lihat perubahan warna di pipi yang mungkin memerah waktu Mas Gun bilang kangen. Namun, ujungnya tidak mengenakkan. Semula dihempaskan ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi ke dasar bumi. Ini yang kangen siapa yang ingin ketemu siapa? "Kenapa ibunya Mas Gun pingin ketemu sama saya?" "Ya, ingin mengenal lebih dekat calon menantunya lah." "Saya belum acc, loh, Mas. Tentang rencana lamaran itu." Calon, calon. Percaya diri sekali lelaki itu, mentang-mentang sekali tembak tiga wanita bisa tumbang oleh pesonanya. Jangan sampai aku tertipu sebelum berhasil mengumpulkan fakta. "Yang penting keluarga kamu sudah deal. Urusan kamu mau atau tidak itu urusan belakangan. Nanti kalau sudah menthok paling-paling nyerah juga. Ingat! Waktu kamu tinggal tiga minggu lagi." Kalimat terakhir terdengar penuh penekanan. Mengingatkan jeda waktu yang dia sendiri tidak t
"Nikahin secepatnya? Anda lucu sekali, Pak. Lamaran saja belum tentu terlaksana." Aku terkekeh sombong.Sebagai pengidap jomlo akut, tak memungkiri bahwa aku pun ingin segera mengakhiri status single ini. Namun sah-sah saja kan, jika aku berhak mendapatkan calon pendamping terbaik. Sudah enggak laku-laku, pemilih pula. Well, silahkan beropini apa saja. Namun, jalan hidup mendatang tetap berada dalam genggamanku bukan di tangan netijen. "Konsisten, May. Kalau panggil pak ya pak, mas ya mas. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa dengan panggilan Mas Gun. Meski sedikit menurunkan wibawa saya, tapi kalau keluar dari mulut kamu jadi terdengar lebih spesial." Enggak bakalan mempan, Mas. Mau digombalin jenis apa pun aku enggak akan menerima lamaran sebelum misi selesai. Pak Indra membimbingku duduk berhadapan di kursi balkon. Bersekat meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi yang mulai berkurang kepulan asapnya. Aroma khas minuman berkafein itu merelaksasi pikiran semrawut yang berjeja
Atas dasar ingin tetap menjalin silaturahmi dengan mantan menantu. Tante Kantini meneruskan temu kangen di sebuah resto dalam mal. Duduk bertiga di meja yang sama. Posisi mereka jelas, pernah ada ikatan keluarga. Lalu aku? Pacar Mas Gun? Bukan. Calon istri? Belum di-approve. Jadi untuk sementara aku menjadi pendengar setia dua wanita beda usia yang lebih mendominasi pertemuan mengagetkan ini. Seperti terjebak dalam labirin dan kebingungan mencari jalan keluar, aku menikmati sepelan mungkin makanan yang terkunyah di mulut. Jangan sampai habis sebelum alarm perbincangan itu berbunyi tanda selesai. Ponsel hanya ku-check sesekali, enggak enak memainkan benda itu berlama-lama di depan wanita yang sangat kuhormati. "Bagaimana kabarmu, Denia? Sudah menemukan pendamping baru?" Seakan paham situasi, Tante Kantini sama sekali tak membahas masa lalu mantan istri putranya. "Belum, Ma." Diiringi senyuman tipis, Mbak Denia menjawab pelan. Mengalihkan kecanggungan dengan meminum jus. Mama. Pan
"Maksud Mas Gun apa?" Aku mengedikkan bahu dan bertanya-tanya dalam hati. Mas Gun menolehku lagi. Mati. Kacamata hitam yang bertengger di atas hidung tak menghalangi tatapan intens-nya. Akan terus seperti itu andai Alphard putih ini tak disalip truk yang membunyikan klakson cukup keras. Meng-ambyarkan aktivitas iseng Mas Gun sekaligus menyadarkan dirinya untuk fokus menyetir. "Dulu, Denia itu salah satu karyawan saya di kantor. Gadis yang membuat saya move on dari Purnama." Akhirnya ... cerita itu mengalir tanpa kuminta. "Terus?" "Sudah saya duga, kamu pasti sangat ingin tahu, May." "Tapi aku enggak maksa Mas buat cerita juga, kok. Santuy, Mas." Ada yang mau ngeles tapi bukan bajaj. Padahal kepingin tahu juga dari versi Mas Gun sendiri. "Oh, yasudah." Maaas Guuun! Kepingin pelintir lengannya tapi belum punya hak. Lihat aku kesal, dia terkekeh. Khas sekali, sampai orangnya enggak ada pun masih terngiang di telinga. Tengil-tengil gimana gitu. Enggak tega lihat bibirku tambah
"Maaf, apa betul ini Mbak Sarah?" Wanita berambut panjang kecoklatan itu menengok saat aku telah sampai dan berdiri dekat kursi yang dia tempati. "Betul. Dengan Mbak Mayra?" Dia balik bertanya. "Iya, benar." Aku berjalan memutari meja bulat putih itu, lantas duduk berseberangan dengan seseorang yang ingin kutemui. Menjelang deadline waktu sebulan sebelum Mas Gun resmi melamar. Akhirnya sampai juga pada penyelidikan ketiga. Untung Mbak Sarah ini sangat kooperatif. Gampang diajak ketemuan tanpa ribet asal ada hitung-hitungannya, yang ini benar-benar mantan anti-mainstream. Sepersekian detik aku menilik penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Body padat berisi itu berbalut mini dress hitam ketat tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Enggak usah kalian bayangkan lah, ya. Pokoknya idaman semua laki-laki. Mbak Sarah mengaplikasikan riasan cukup tebal di area wajah ovalnya. Bulu mata palsu ulala dan softlens biru menyempurnakan kitaran mata bulatnya. Mas Gun, Mas Gun. Apa