"Apa?" "Benar," tegas Mada dengan memutuskan keluar sepenuhnya dari dalam ruangan dan berdiri tepat di sebelah Jenar. Tangannya terjulur lurus dari arah belakang untuk mengusap tengkuk Jenar yang terpampang nyata karena dia menguncir rambutnya cukup tinggi dalam satu ikatan. "Apanya yang benar?" tuntut Jenar dengan berusaha menggelengkan kepala agar Mada berhenti mengusapnya. "Katamu tiap benda mati diruangan ini memiliki telinga, mereka bisa mendengar apapun yang terjadi, kan?" "Pak Mada, hentikan," kilah Jenar berulang kali berupaya membuat Mada berhenti memijat tengkuknya dari arah belakang. Jenar tidak mau ada yang melihat interaksi keduanya yang berlebihan sebagai seorang presdir dan sekretaris ini. "Bagaimana dengan hatimu? Apakah hatimu dapat mendengar kalau aku menginginkanmu?" Jenar menatap ke arah Mada dengan serius, mulutnya sedikit terbuka ketika mendengar tutur dari presdir Lawana yang konon kata Lamina tadi menyeramkan. Alih-alih seram, Lamina harus tahu bahwa Ma
“Je, pasti Pak Mada memintamu untuk melakukan lembur lagi, ‘kan?” selidik Lamina. Lamina sibuk menarik-narik tali tas pada satu sisi bahu ketika dia mendekati Jenar yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. “Lembur?” ulang Jenar dengan mengangkat kepala sebelum menyibak rambut yang menjatuhi area kening. “Ya,” balas Lamina.Dia bergerak makin mendekat ke arah Jenar lalu menunjuk ke arah layar yang masih menyala serta ke dalam ruangan pribadi Mada yang tertutup sempurna. “Sudah aku katakan kepadaku, Pak Mada itu tidak sebaik Pak Oscar," bisiknya penuh gosip. "Lihatlah, betapa seringnya dia memintamu untuk lembur dan pulang malam.” Sejak kapan Mada selalu memintanya untuk lembur? Sejauh yang dia ingat, Mada bahkan kerap mengingatkan Jenar untuk pulang ketika sudah pukul lima, dia bahkan bersikeras agar Jenar pulang tepat waktu. Mungkin, maksud Lamina adalah ‘lembur’ dalam tanda kutip yang membuat Jenar pulang larut malam. “Ah, itu …” Jenar menggaruk pipi, sadar bahwa gosip yang me
[Hei bajing kecil, di mana kamu berada?] [Apakah perjalanan dari Lawana ke sini memerlukan waktu yang sangat lama?] [Dasar lambat, siput saja jauh lebih cepat dibandingkan dengan dirimu.] “Itadakimasu.” Berbeda dengan Mada yang masih menggebu-gebu untuk diakui oleh Jenar dan secara terang-terangan menyatakan rasa tidak sukanya jika Jenar menyukai Ryota, pada salah satu ruangan pribadi di restoran tersebut, disitulah si topik pembicaraan berada. Ryota Seiji Gaidzan. Dia sedang duduk diatas tatami setelah mengirim rentet pesan kepada Mada. Ryota sibuk mengedarkan pandang lalu bergumam tidak sabar. Matanya menatap beberapa hidangan yang akan dia nikmati dengan Mada, sahabat lamanya. Apalagi, Madasudah mengabarkan pada dirinya bahwa presdir Lawana itu akan datang dengan seseorang. “Ada lagi yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya seorang pekerja setelah menata piring-piring kecil yang menutupi seluruh permukaan meja dengan beragam sajian laut yang segar kepada Ryota. Ryota menggelen
“Jenar, asal kamu tahu, ada aku yang lebih menarik jika dibandingkan dengan tikus tanah satu itu,” cibir Mada. Dia kembali menuangkan teh hijau ke dalam cangkir kecil dan meneguknya seketika. “Kamu mengataiku tikus tanah?" sela Ryota dengan tidak terima. "Bagaimana dengan dirimu, sigung?” sambungnya. Ryota menolehkan kepalanya ke arah Mada tanpa meninggalkan posisinya sama sekali yang berada di hadapan Jenar. “Mengapa kamu ingin menghabiskan waktu dengan sigung jantan itu?” Luka pada sudut bibir Ryota membuat Jenar menyipitkan mata dan terdiam untuk sejenak sehingga keduanya memutuskan untuk menatap satu sama lain dengan kebingungan penuh. “Ryota, kamu memesan shochu atau tidak?” tanyanya sebelum menjentikan jemari. “Ah, aku ingat. Itu bukan sembarang teh hijau, bukan? Melainkan ryokucha. Bisakah memesan shochu? Teh hijau terlalu ringan, tidak sesuai dengan seleraku.” Mada berupaya keras untuk menarik atensi dua orang yang masih berdiri dengan diam. Jenar pada area luar denga
“Atas dasar apa kamu menuduhku seperti itu?” “Hanya sebuah tebakan,” balas Jenar dengan cukup yakin. “Tebakan tanpa bukti?” tukas Ryota seraya memiringkan kepala ke arah Jenar, berusaha dengan keras untuk mengerti arah ucapan si perempuan. “Bukti dapat dikumpulkan seiring dengan waktu berjalan, Ryota.” “Tetapi kalau kamu ingin menuduhku, setidaknya sertakan bukti.” “Bibirmu yang berdarah,” terang Jenar dengan menegakan posisi duduk serta meletakan sumpit pada sebelah kiri posisinya saat ini. “Sudah aku katakan aku terluka karena bermain rugby,” kekeh Ryota yang merasa bahwa Jenar menjadi kelewat konyol. “Oke, baiklah. Mari kita hentikan permainan ini. Apa yang sebetulnya coba kamu katakan mengenai diriku, Nona Jenar?” tanyanya dengan lebih serius dan cengiran pada bibirnya perlahan menghilang sepenuhnya. “Bahwa kamu menyalahkan Mada atas kematian Bianca." Dengan penuh rasa percaya diri setelah melihat luka pada sudut bibir Ryota serta nada suara dan pakaian penuh nuansa biru y
“Kepalaku terasa pening,” keluh Mada yang membuat Jenar tidak habis pikir.Jenar ingin marah, tetapi tidak bisa sebab dirinya terlanjur letih. “Sudah aku bilang, hanya orang gila yang dapat menghabiskan begitu banyak botol shochu dalam satu malam," cebiknya.“Aku bisa, Jenar.”“Buktinya sekarang kepalamu justru terasa pening, Mada.”“Sudah aku katakan padamu, kadar alkohol shochu tidak setinggi dengan alkohol yang sering aku teguk, Jenar,” gerutunya dengan kepala yang menempel pada kemudi sementara kedua tangannya sibuk memijat area kening.“Tetap sama saja, Tuan Keras Kepala,” kata Jenar dengan jengah seraya duduk disebelah Mada, menyilangkan sabuk pengaman melintang di atas tubuhnya.“Jadi, sekarang bagaimana? Kita tidak akan pulang?”Mada mengangkat wajahnya, dia menoleh ke arah Jenar lalu berdeguk sebanyak tiga kali serta mengangkat jemarinya.“Tunggu sampai rasa pening sialan ini pergi dari kepalaku terlebih dahulu.”“Kita sudah berada di mobil ini hampir satu jam lamanya jika k
“Mada, tanganmu!” protes Jenar ketika jemari milik Mada menyusup pada bagian belakang blouse yang dikenakan, mengusap area punggung yang sudah bebas dari kaitan bra.“Mengapa kamu tidak memakai dalaman lagi?” bisik Mada di tengah mobil dengan suasana yang sangat gelap tersebut.Seakan-akan jika Mada tidak menyeringai, maka Jenar tidak akan mampu melihat apa-apa.Deretan gigi berwarna putih natural itu bagaikan penerang di dalam mobil.“Dan kamu tidak memiliki hak untuk memprotes apa yang aku kenakan,” terang Jenar dengan menepuk lembut pipi Mada sebanyak dua kali.“Mengerti?”Mada mengangkat kepalanya seperti akan melakukan olahraga sit-up sebelum mengecup dada sebelah kiri Jenar.“Mengerti,” ujarnya dan beralih pada area sebelah kanan yang menggantung rendah dengan teramat menggoda hingga Mada dibuat berkedut karenanya.“Oh, kamu sekarang sudah memutuskan untuk berlaku adil?”“Mereka harus diperlakukan sama,” celetuk Mada. Dengan segera, dia menegakan tubuh kemudian memeluk Jenar ter
“Sangat cantik,” puji Mada pada Jenar dengan nada yang sangat sensual.Mada membelai Jenar dengan tangan yang berbeda, mengusap lembut area pipi kemudian menjalar ke area perpotongan leher yang sudah memiliki beberapa bercak cinta sebelum meremas kecil payudara Jenar dari arah luar.“Hmm … Mada,” gumam Jenar disertai oleh lenguh panjang berisikan kenikmatan hingga memancing libido Mada pada tahap tertinggi.Pinggulnya bergerak-gerak gelisah, ingin merasakan yang lebih dari seorang Mada.Sampai detik ini, jamah yang diberikan Mada pada tubuhnya tidak pernah gagal dan selalu membuat Jenar ingin merasakan lebih dibandingkan yang terjadi saat ini.Seluruh syaraf ditubuhnya terus memanggil nama Mada, berupaya membelai dan mengajak pria itu untuk beradu peluh bersama seiring waktu yang terlewati.“Sentuh dirimu, Jenar. Aku ingin melihatnya,” tukas Mada.Laki-laki itu berhenti sejenak, dia menarik jemarinya yang berada di dalam tubuh Jenar serta menyelipkan jemari yang basah nan lembab terse