Halo, terima kasih sudah membaca sampai sini. Kamu bisa menemukan aku di media sosial @navvyda yaa. Dan tolong kesediaannya untuk vote cerita ini yaa, terima kasih banyak💕🙌
“Kamu salah dengar, Lila,” balas Jenar dengan santai, tidak ingin terpancing oleh emosi kendati Dalilah sibuk menggedor dirinya tanpa henti.“Apa ini memang pekerjaanmu, Lila? Kamu gemar menguntit dan mencuri dengar pembicaraan orang lain?” serang Lamina yang segera berdiri kemudian mendorong tubuhnya untuk berdiri sebelum perlahan beradu tatap dengan Dalilah.Setelah tempo hari Dalilah membahas mengenai perceraian Mada, Lamina mulai memupuk rasa tidak suka di hatinya.Bagi Lamina, jika Dalilah menggunjingkan orang lain dalam konotasi yang negatif, dia masih sedikit bisa menerimanya. Akan tetapi, berbeda jika yang digunjingkan adalah presdir Lawana.Tidak. Dia tidak bisa terima.Apalagi setelah dirinya tahu bahwa Mada serta Jenar tengah menjalin hubungan, Lamina langsung menjadi protektif dan tidak akan dia biarkan debu satu ini mengusik romansa di antara sekretaris dan atasannya ini.“Aku hanya mengatarkan setumpuk kertas dan ingin berinteraksi, Lami. Kamu tidak perlu bersikap terlal
“Jangan kemana-mana,” ucap Mada pelan dengan mencoba menarik Jenar kembali ke dalam dekapnya.Dia tidak ingin berjauhan dengan si perempuan ketika jantung dan benaknya sedang penuh akan gemuruh.“Aku tahu dengan pasti kalau kamu ingin mengatakan bahwa jangan terlalu berlebihan karena kita sedang berada di kantor, bukan?” terkanya hingga membuat Jenar bungkam seribu bahasa.Mada benar, itulah yang dipikirkan oleh Jenar. Apakah semudah itu Mada menebak apa yang tengah dipikirkan oleh Jenar?“Jenar, jangan pergi,” tegasnya hingga Jenar menggigit bibir bawah.“A—aku tidak kemana-mana,” lirih Jenar gugup.Tubuhnya terasa begitu kaku seperti robot, berada di dalam dekapan Mada saat keduanya berada di dalam kantor terasa sangat benar sekaligus penuh akan kesalahan.Bukankah mereka sudah sepakat untuk menjalani hubungan selepas jam kerja?Jika berpelukan seperti ini, bukankah keduanya justru menyalahi aturan tidak tertulis yang keduanya tetapkan sendiri?“Tapi aku—”“Kali ini saja, Jenar. Kal
Sudah dua hari Mada mabuk berat di dalam griya tawangnya.Jenis mabuk yang membuatnya bahkan harus berjalan dengan cara merangkak karena dunianya berputar teramat cepat dan kedua kaki tidak lagi dapat menopang bobot tubuhnya seperti biasa.Mada tidak mudah mabuk, tubuhnya sudah terbiasa sejak pertama kali dirinya mengenal alkohol.Dia bisa meneguk berbotol-botol minuman keras seperti sedang meminum air mineral dan bahkan tidak akan merasakan pusing sekecil apapun.Akan tetapi, dua malam ini di dalam keremangan griya tawangnya, Mada luruh sampai benar-benar memuntahkan isi perut hingga tersisa cairan semata. Mereka menyebut hal ini sebagai jackpot.Sebelumnya, Mada berulang kali meminta kepada Jenar untuk menemani dirinya, tetapi tidak sekalipun Jenar berkeinginan untuk menginap di griya tawang sehingga hal ini—bagi Mada—makin memperburuk keadaan dan kekalutan yang sedang bersarang di dalam hatinya.“Sugarplum,” panggilnya lirih dengan duduk bersandar dengan lutut tertekuk serta tangan
“Josh, bagaimana dengan keadaan Mada untuk dua hari terakhir ini?” Oscar yang sedang bersantai sambil mengelus anjing peliharannya seraya duduk di serambi rumah menoleh ke arah Josh yang berdiri dengan gagah di sebelahnya. “Belum ada kabar, Tuan.” Mendengar penuturan dari Josh membuat Oscar serta merta menoleh ke arahnya lalu menyipitkan mata sambil berdecak pelan. “Apa kamu menyampaikan bualan kepadaku semata?” selidiknya sebelum terdiam, merasakan semilir angin lembut khas siang hari yang menerpa wajahnya. "Tuan Oscar, saya—"“Mada pasti sedang mabuk,” gumamnya maklum seraya tersenyum miring. “Kali ini mabuknya pasti lebih parah jika dibandingkan dengan sebelumnya,” lanjut Oscar dengan membentuk kesimpulannya sendiri seraya melirik ke arah anjing yang kepalanya bergerak-gerak pelan. “Sekarang … tahun keberapa?” tanya Oscar pelan. Josh berjalan mendekat ke arah Oscar, kemudian menghitung waktu mundur sejak kematian Bianca.“Emp—maaf, Tuan Oscar. Maksud saya lima,” ralat Josh d
Memasuki ruang kerja Mada pada detik ini membuat Jenar tercengang. Suatu pemandangan yang niscaya tidak akan pernah dirinya lihat untuk kali kedua kini tersuguh dengan terang-terangan di hadapannya. "Ada apa denganmu?" tanya Jenar keheranan, berusaha mengulum senyum dan menyembunyikan keinginan untuk meledak dalam tawa. Dirinya gegas mendorong pintu ruang kerja Mada menggunakan punggung agar tertutup dengan sempurna disusul dengan suara sepatu hak tingginya terdengar menggema saat memasuki ruangan. "Ini tidak lucu," jedanya setelah beberapa waktu seraya membasahi bibir, membuat permukaan yang sudah lembab tersebut menjadi semakin basah. Kakinya bergerak gelisah, tumpuannya kerap berpindah dari satu sisi ke sisi yang lainnya. "Sebetulnya apa yang tengah kamu lakukan?" sambung Jenar, bibirnya terangkat untuk menunjukan seulas senyum canggung tetapi Mada tidak memberikan reaksi apapun yang berarti. Perlahan, Jenar bergerak memutar seraya memperhatikan Mada dengan sakama. "Kamu seda
“Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang ingin berdansa denganmu,” kata Mada berkilah dengan cukup abu-abu tanpa sekalipun melepas dekapnya dari Jenar.“Secara tiba-tiba?” tanya Jenar dengan mata membulat lalu bergumam pelan sambil mengangkat kedua alisnya disusul dengan sebuah siulan, seakan sedang menggoda Mada.“Di kantor?”“Tentu. Apa ada yang salah dari itu?”Tanya dari Mada praktis membuat Jenar menggelengkan kepala lalu menyunggingkan senyum pada satu sisi wajahnya.“Oh tentu saja tidak salah. Hanya saja—”Jenar menimbang-nimbang kalimatnya sebelum sejurus kemudian menggeleng dan menyurukan tubuhnnya ke atas dada bidang si pria, merasakan detak yang berdegup kencang tersebut.“Hanya saja apa? Mengapa kamu tidak melanjutkan percakapan?” tagih Mada.Kali ini dia mendekatkan bibirnya pada kening Jenar lalu mulai mengecupnya singkat.“Kalau aku tahu kamu ingin berdansa denganku, aku akan mengganti pakaianku dengan gaun yang memiliki lebar seperti kurungan ayam agar bisa berayun-ayun.”
“Apa ini semacam lelucon dan test yang harus aku lakukan?” kekeh Jenar dengan tertawa canggung kemudian melipat bibirnya ke arah dalam dalam upaya untuk membuatnya terlihat lebih tipis jika dibandingkan dengan sebelumnya.“Bertemu dengan Pak Oscar? Seorang Oscar Lawana? Wah, sepertinya aku bermimpi dengan sangat indah semalam,” sambung si perempuan dengan mengerucutkan bibir lalu menggeleng pelan, sekelebat rasa kecewa menyeruak ke permukaan dan tercetak jelas di wajah Mada.Jenar jelas langsung menyadari perubahan pada air wajah Mada hingga membuat telapak tangannya terasa dingin.Meski demikian, Jenar mencoba untuk mengabaikan raut yang ditunjukan oleh Mada lalu berpaling.“A—aku tidak yakin untuk itu,” lanjutnya dengan diselimuti oleh kegugupan.Dirinya menjauhkan diri dari Mada, melepaskan dekap yang sejak tadi terjalin lalu memilih untuk berjalan memunggungi si lelaki.Jenar duduk di sofa yang empuk sambil memiringkan kedua kakinya ke arah kiri dan mendekap tab kerja yang sejak t
“Tidak kusangka kamu akan mengikutiku sampai sini.”Mada bersedekap kemudian menggaruk area dagunya seraya menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang kedua matanya luhat saat ini.Pada salah satu sisi café sederhana yang dirinya dan Jenar sambangi sejak beberapa saat lalu ketika keduanya meninggalkan Lawana Corporation, kini Mada memandang lekat seseorang yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya."Ini sangat menyebalkan. Saya merasa tidak memiliki privasi sama sekali."Mada berdecak pertanda kadung merasa sebal, kepalanya terjulur untuk memeriksa area sekitar, sisa-sisa rinai hujan masih membasahi lokasi mereka saat ini, menyebarkan hawa dingin yang tidak terlalu menyenangkan dan cenderung membuat bulu kuduk meremang.“Bisakah untuk sekali saja kamu berhenti melakukannya?” sambungnya disertai mata yang menyipit.Josh sadar bahwa Mada jengah terus diawasi olehnya sejak kedatangan duda tampan itu di Indonesia beberapa waktu yang lalu dan tidak sekali dua kali Mada meminta