Setelah pulang dari rumah sakit, Arshaka menghabiskan waktunya di ruang perawatan pribadinya. Terbaring di atas ranjang, ia merasa sedikit lega setelah mendapat perawatan yang layak. Cedera di tangannya masih terasa, tetapi ia yakin bahwa dengan istirahat yang cukup, semuanya akan sembuh.Arshaka memanggil asisten pribadinya, Leo, ke dalam ruangan. Dengan wajah serius, ia meminta kepada Leo untuk memastikan bahwa berita tentang insiden di rumah sakit tidak tersebar. Ia tidak ingin namanya terhubung dengan kejadian tersebut lebih jauh lagi. Leo dengan cermat mencatat permintaan Arshaka dan menjamin bahwa semua akan diurus dengan baik.Setelah Leo pergi, Arshaka menghubungi Rey, sekretaris pribadi yang selalu cakap dan andal dalam menangani segala urusan Arshaka. Arshaka memercayakan banyak hal padanya, terutama ketika ia membutuhkan informasi tertentu atau ingin menyelidiki suatu hal. Rey tiba di ruangan itu dengan cepat, mempersilakan dirinya duduk di kursi di depan meja kerja Arshak
Varisha melangkah masuk ke ruang kerja Arshaka yang ada di rumah pria itu. Ruangan itu tampak jauh lebih mewah dan eksklusif dibandingkan dengan ruang kerja Ganendra yang pernah dilihatnya. Kain-kain mahal menutupi meja, lampu gantung bergaya mewah menggantung di atas, dan rak-rak penuh dengan berbagai buku referensi dan dokumen penting. Varisha merasa tidak nyaman, merasa sedikit terlalu rendah di antara semua kemewahan ini.Kedatangan Varisha hari ini merupakan hasil dari kesepakatan dengan Arshaka. Dia telah menyelesaikan urusannya dengan Ganendra dan bahkan sempat menemui Cakra untuk membahas perkembangan terkini mengenai Bagas, yang kini sudah kembali berada di penjara.Arshaka yang duduk di meja kerjanya melihat Varisha masuk dan mengalihkan perhatiannya kepadanya. Dia bertanya, "Apa urusanmu sudah selesai?” Varisha mengangguk pelan dan langsung bertanya, "Apa yang Anda butuhkan?"Arshaka memberikan senyuman yang terlihat beratapkan lapisan tanda tanya. "Saya ingin kamu menjadi
Varisha menarik napas dalam-dalam sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya. Karena ia merasa terjebak dan tak ingin membuat situasinya semakin rumit, akhirnya ia mengikuti langkah Arshaka dan memasuki kamar pribadi pria itu.Mereka berdua berdiri di tengah kamar yang luas dengan warna-warna netral yang tenang. Arshaka berjalan ke tempat tidurnya dan duduk di pinggiran. Dia mengepalkan tangannya untuk melepaskan perban dari luka di perutnya.Arshaka menatap Varisha yang masih berdiri, menunggu instruksi selanjutnya. Arshaka merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, dan itu adalah sensasi yang sangat aneh baginya. Selama hidupnya, dia selalu dapat mengendalikan situasi. Tetapi sekarang, ada kebingungan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, dan dia tidak tahu bagaimana harus menanganinya.Varisha akhirnya bergerak mendekat. Dia mencoba menutupi perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Sementara Arshaka mengangkat baju yang telah dilepaskan sebagian unt
Di dalam kamar mandi yang bermandikan cahaya lembut, Varisha dengan telaten memerhatikan rambut Arshaka. Ia meremas setiap helai dengan penuh ketelitian, berusaha menciptakan momen yang nyaman meski di tengah situasi yang penuh ketegangan. Air dingin mengalir di antara jari-jarinya, menciptakan sensasi yang menenangkan.Sementara Sentuhan tangan Varisha yang telaten dan perhatian memberikan kehangatan yang sangat dibutuhkan oleh Arshaka. Walaupun ia terus berusaha mengalihkan perhatiannya, sulit baginya untuk tidak merasa nyaman dan tenang dalam keadaan yang seharusnya menjadi aneh dan kikuk. Arshaka merasa adanya ketegangan yang mengendur antara mereka berdua seiring berjalannya waktu.Di tengah ketenangan itu, ada kilatan tajam di mata Arshaka yang mencoba menembus tembok pertahanan yang Varisha bangun. Kesan di wajahnya menandakan sebuah pertanyaan, sebuah pertanyaan yang cukup tidak terduga."Apa kamu akan memperhatikan semua pria seperti ini?" tanya Arshaka dengan suara yang tena
Varisha tersenyum setelah mendengar kata-kata khas yang keluar dari mulut Arshaka. Wajahnya yang tadi serius mulai berseri-seri, dan ia menjawab dengan suara yang tenang, "Saya dan pak Cakra tidak memiliki hubungan seperti yang Anda bayangkan. Saya menghormatinya karena beliau pernah menyelamatkan dan membantu saya dalam situasi yang sulit, tapi tidak lebih dari itu."Arshaka merasa ada kelegaan dalam hatinya ketika mendengar kata-kata itu. Dia menatap Varisha dengan tajam, seakan mencari kebohongan di mata wanita itu. Namun, Varisha hanya membalas tatapannya dengan ketegasan yang membuat Arshaka merasa yakin akan kebenarannya."Tapi kenapa kamu baru memberitahu saya sekarang?" tanya Arshaka, mencoba menggali lebih dalam.Varisha terdiam sejenak, mengumpulkan kata-kata dengan hati-hati. "Sebelumnya, saya merasa tidak perlu menjelaskan apapun kepada Anda. Saya yakin Anda hanya akan membenarkan segalanya dari sudut pandang Anda sendiri."Arshaka membenarkan kata-kata Varisha dalam hati
Perjalanan ke Singapura menjadi suatu pengalaman yang sangat intens bagi Varisha. Ia tak pernah membayangkan bahwa ia akan mengikuti Arshaka dalam perjalanan bisnis seperti ini.Selama perjalanan pesawat, keduanya tidak banyak berbicara. Arshaka seakan tenggelam dalam urusannya, dan Varisha, sebagai sekretaris sementara, harus bekerja dengan cepat untuk menyusun jadwal dan dokumen-dokumen yang diperlukan.Setibanya di Singapura, Varisha harus bekerja lebih keras. Rapat pertama dimulai segera setelah mereka tiba. Arshaka ditemani oleh Varisha dalam setiap pertemuan. Ketika ia melihat daftar hadir rapat, ia tidak bisa menahan kagum melihat nama-nama pengusaha sukses dan eksekutif perusahaan besar yang menghadiri pertemuan ini. Ini benar-benar adalah proyek bisnis yang besar, dan Arshaka sangat serius dalam menjalankannya.Varisha duduk di sebelah Arshaka, memantau setiap perkembangan dalam rapat. Dalam diam, ia mencatat poin-poin penting yang dibahas, memastikan segala detail tercatat d
Hari berjalan dengan sangat cepat. Varisha merasa seperti ia berada dalam aliran kerja yang tak pernah berhenti. Arshaka terus bergerak, dengan jadwal yang sangat padat. Setelah bertemu dengan beberapa klien penting, mereka berakhir dengan menginap di salah satu kamar suite mewah di hotel di Singapura.Setelah makan malam selesai, Arshaka kembali membenamkan diri dalam pekerjaan, kali ini di ruang tengah antara dua kamar tidur mereka. Pria itu masih terus memeriksa dokumen-dokumen dan menjawab email-email penting.Dengan berani, Varisha mendekati Arshaka dan mulai meraih beberapa dokumen di meja. "Pak, saya akan menyelesaikan beberapa pekerjaan ini. Jadi, lebih baik Anda istirahat." katanya dengan lembut.Arshaka menoleh, masih terlihat serius. “Tidak perlu, Varisha. Kamu juga sudah bekerja keras hari ini. Saya akan menyelesaikannya sebentar lagi dan beristirahat. Jadi, lebih baik kamu juga beristirahat sekarang,” Varisha mencoba untuk lebih tegas dan tanpa rasa bersalah menutup lapt
Pikiran Varisha bergerak begitu cepat, hampir secepat denyutan jantungnya yang tidak teratur. Perasaan cemas dan gelisah merambat dalam dirinya, membuat perutnya terasa tidak nyaman. Dengan mata masih terpejam, Varisha melihat kembali momen ciuman itu. Ciuman yang luar biasa, penuh kelembutan, tetapi juga penuh dengan konsekuensi yang mungkin tak terhindarkan. Semua yang telah terjadi antara dirinya dan Arshaka adalah kesalahan besar, dan mungkin Varisha akan mengutuk dirinya sendiri jika hal tersebut terulang kembali. Varisha belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Perasaan yang campur aduk, perasaan ingin dan tidak ingin dalam satu waktu. Rasa penyesalan dan penasaran yang berkecamuk di dalamnya. Sejenak, Varisha merasa seperti hanyut dalam hasrat yang tidak seharusnya ia sentuh.Hasrat yang memuncak dalam ciuman mereka mengingatkannya pada betapa mudahnya ia hanyut dalam emosi. Bagaimana bisa dia menyambut getaran yang Arshaka berikan, seorang pria yang seharusnya