Matahari bersinar cerah di langit, memantulkan sinarnya melalui jendela kamar. Cahaya yang memasuki ruangan itu cukup terang hingga menyadarkan Varisha dari tidurnya. Dengan setengah sadar, ia mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan kecerahan tiba-tiba di dalam kamar. Saat ia melihat jam di sebelah tempat tidurnya yang menunjukkan pukul satu siang, Varisha terlonjak kaget. Sebuah loncatan refleks membuatnya duduk dengan cepat, dan terkejut menyadari bahwa ia masih berada di kamar Arshaka. Rasa panik muncul saat ia memikirkan bagaimana ia tertidur begitu lama, melewatkan waktu kerja dan tanggung jawabnya.Varisha merutuki dirinya sendiri karena telah tertidur semalam saat menjaga Arshaka. Ia berharap tidak terlalu lama tertidur, mengingat seharusnya ia hanya tidur sebentar.Namun, tak ada waktu untuk membiarkan penyesalannya melanda lebih lama, karena tiba-tiba beberapa staf hotel memasuki kamarnya membawa makan siang yang sudah disiapkan, serta beberapa set pa
Makan malam berlangsung dengan ketegangan yang semakin terasa, meskipun luaran mereka masing-masing tetap terlihat tenang. Arshaka tetap menjaga senyumannya, mencoba menjalin hubungan yang lebih baik dengan Varisha. Namun, ia merasakan seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketegangan mata wanita itu, sesuatu yang mengganggu pikiran Varisha."Pak, saya pikir sudah saatnya saya berhenti bekerja untuk Anda," ujar Varisha dengan tegas sambil menatap Arshaka dengan serius.Arshaka terdiam sejenak, matanya masih menatap Varisha dengan intensitas. "Kenapa? Apa pekerjaan yang saya berikan terlalu berat untukmu?" tanyanya dengan nada serius.Varisha menjawab dengan ketegasan yang nyata, "Bukan itu masalahnya.”“Saya hanya merasa saya sudah tidak bisa melakukannya. Tapi, Anda tidak perlu khawatir karena saya tidak akan lari dari tanggung jawab saya begitu saja. Saya akan membayar semua biaya pengobatan dan pemeriksaan medis Anda.” Arshaka memandangnya dengan perasaan campuran, bagian da
Arshaka membuka mata, mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyapu kantuk yang masih mengganggunya. Cahaya pagi mulai memenuhi ruangan, menerangi sudut-sudut gelap yang sebelumnya tersembunyi dalam kegelapan. Saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, Arshaka merasakan hangatnya selimut yang membungkus tubuh polosnya, sementara pakaiannya masih berserakan di lantai. Arshaka menyadari bahwa ia masih berada di sofa yang telah menjadi saksi bisu dari gairah membara yang ia bagikan bersama Varisha.Arshaka merenung, merenung tentang malam yang takkan pernah bisa dilupakan. Malam yang mungkin telah merubah segalanya dalam hidupnya. Ia merasa getaran dalam hatinya, yang semula terkunci erat dalam dinding yang telah ia bangun, telah terbuka oleh wanita itu. Varisha mampu meruntuhkan pertahanan Arshaka hanya dengan senyuman dan ciumannya yang memabukkan.Arshaka tersenyum kecil, mengenakan kembali pakaian dengan sedikit kesulitan, terutama karena tangannya yang cedera kembali terasa sakit. Aktiv
Setelah tangannya pulih dengan baik, Arshaka memutuskan untuk kembali sepenuhnya pada pekerjaannya. Ia merasa perlu untuk mengalihkan perhatiannya dari rencana pernikahan yang dituntut oleh ayahnya setelah ia menghadiri pesta ulang tahun Adelia. Meskipun acara tersebut telah berlalu, bayangan tentang pernikahan yang akan datang masih menghantui pikirannya.Arshaka memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Ia mengambil beberapa proyek bisnis yang penting, yang akan membutuhkan perhatian dan dedikasi penuh. Ia bekerja tanpa kenal lelah, menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan bisnis, dan mengurus detail-detail yang rumit. Pekerjaan menjadi pelarian yang sempurna dari masalah pribadinya, dan Arshaka tidak peduli jika itu berarti ia tidak bisa beristirahat.Salah satu perjalanan bisnisnya membawanya ke berbagai negara Eropa. Ia terbang ke Italia dan Paris selama dua hari, menghadiri pertemuan penting, mengejar kontrak baru, dan menjalin hubungan bisnis yang lebih kuat. Kemudian, dalam
Matahari senja memancarkan sinar emas yang lembut di langit Berlin, memberikan sentuhan keemasan pada bangunan-bangunan tua di sepanjang jalanan kota. Udara musim gugur yang sejuk menyapa wajah Varisha, membelai pipinya dengan angin sejuk yang bertiup pelan. Wanita itu melangkah dengan langkah ringan, matanya berbinar-binar penuh kekaguman ketika ia melihat sekitarnya. Jerman, dengan arsitektur klasiknya yang mempesona dan atmosfernya yang kaya sejarah, menariknya ke dalam pesona yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.Varisha telah menjelajahi berbagai negara Eropa selama dua minggu terakhir, mengeksplorasi keindahan dan keajaiban benua itu. Namun, kali ini, panggilan dari Cakra membawanya ke Jerman, tanpa memberikan petunjuk tentang apa yang akan menunggunya di sana. Keingintahuan dan rasa penasaran membuatnya mencari jawaban, meskipun ia sama sekali tidak tahu apa yang diharapkan oleh Cakra dari pertemuan mereka.Sejak hampir dua bulan terakhir, Varisha telah berada dalam perjalana
Restoran yang sama di hotel mewah Berlin kembali menjadi saksi pertemuan antara Varisha dan Cakra. Ketika Varisha memasuki ruangan, Sebastian Richter sudah meninggalkan tempat itu, dan Cakra tampak duduk dengan tenang menunggu kedatangan Varisha. Cakra tersenyum lembut saat melihatnya, dan Varisha menjawab senyuman itu dengan penuh sopan. Varisha mengenali pelayan-pelayan yang masih sama dengan sebelumnya. Restoran ini memiliki suasana yang elegan dengan ornamen-ornamen klasik yang menghiasi dinding dan langit-langit, menciptakan aura yang mewah dan tenang.Setelah saling menyapa, mereka duduk bersama di meja yang sama dengan pertemuan sebelumnya. Cakra segera memesan hidangan untuk mereka berdua, menunjukkan perhatian dan sopan santunnya.Mereka berbicara tentang hal-hal biasa untuk mengisi keheningan. Cakra bertanya tentang perjalanan Varisha dan apa yang dia nikmati selama berada di Jerman. Varisha menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan antusiasme, seperti saat dia melihat k
Tatapan Arshaka yang penuh kebencian dan kemarahan mematikan seperti kilat menyambar di tengah ruangan. Matanya melebar, mencoba menangkap setiap ekspresi di wajah Varisha, mencari tahu apakah ada keraguan di dalam hati wanita itu. Namun, apa pun yang ditemukan, amarah yang membakar hatinya tidak memudar. Varisha menatapnya dengan tangguh, seperti benteng yang bertahan di tengah badai."Sudah berapa lama kamu merencanakannya?" bentak Arshaka dengan suara yang tegas dan penuh amarah. Varisha menatapnya dengan tajam, tetapi suaranya tetap tenang. "Kamu terlalu berlebihan. Kesimpulanmu juga salah. Kamu harus memahami kalau malam itu adalah kesalahan besar, kita berdua mabuk, dan itu tidak berarti apa pun."Arshaka tersenyum sinis, senyum yang menciptakan rasa jijik di hati Varisha. "Oh, kamu memang ahli dalam menyembunyikan kebenaranmu, Varisha. Saya kira kamu hanya akan terus berbohong dan merencanakan lebih banyak tipu daya. Saya tahu semuanya. Saya tahu betapa rendahnya dirimu, betap
Arshaka merasa kehilangan kendali, dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Puncak amarah dan kebingungan mendesaknya. Dalam keputusasaannya, ia melancarkan tinjunya ke arah cermin, menghancurkannya dengan keras. Pecahan kaca beterbangan, menyebabkan darah mengalir dari jari-jari tangannya. Meski rasa sakit fisik itu nyata, tidak ada yang bisa menyamai rasa sakit dan kebencian yang mengoyak hatinya saat ini.Dalam pandangannya, dia melihat wajah Varisha, kadang menggoda, kadang berani, dan terkadang penuh dengan ketakutan.Arshaka bergerak menuju pancuran, menyalakan air sepanas yang masih bisa ia toleransi. Dia menempelkan dahinya ke dinding dingin dan membiarkan semburan air menerpa pundaknya yang tegang. Kepalanya terasa penuh dengan kekacauan, pikiran-pikiran yang tak teratur mencoba mencari jalan keluar dari labirin emosinya yang rumit.Air panas membasahi tubuhnya, mengalir di atas kulitnya yang memerah. Tetapi, meskipun air panas itu seharusnya memberikan kehangatan, dalam hati Ar