Suara gemuruh mesin helikopter yang terdengar di atas mengakhiri niat Arshaka untuk berselisih dengan Varisha. Ia melihat ke arah langit biru yang cerah, menyadari bahwa tak ada tempat untuk pertengkaran di sini. Mungkin ini juga alasan mengapa pria itu memutuskan untuk membawa Varisha ke tempat yang jauh dari semua masalah yang menimpanya, ke tempat di mana suara mesin helikopter adalah satu-satunya hal yang bisa didengarnya.Dalam sekejap, Arshaka mengulurkan tangannya, menyambar tas Varisha dengan gerakan cepat dan tegas. Ia memandu wanita itu dengan langkah-langkah mantap menuju helikopter hitam mengilap yang berdiam di landasan. Helikopter itu terlihat begitu megah dengan garis luar keemasan yang memancar di bawah sinar matahari terik.Namun, ketika mereka tiba di samping helikopter, Varisha memberhentikan langkahnya. Tatapannya penuh tanya menatap Arshaka, "Kemana kita akan pergi? Bukannya tadi kamu bilang kita akan ke rumah sakit? Kenapa harus naik helikopter?"“Kita harus perg
Saat helikopter itu mendarat, getaran mesin besar itu seolah terasa sampai ke dalam tulang Varisha. Perutnya terasa terpilin, bukan hanya oleh perasaan mual yang telah menghantuinya sejak pagi, tetapi juga oleh rasa ketidakpastian yang semakin merajalela. Arshaka membuka pintu samping helikopter dengan sikap penuh kesabaran, bersiap membantunya turun. Namun, Varisha menolak bantuan itu dengan dingin. Matanya yang penuh ketegangan menatap Arshaka, menolak untuk memberi kesempatan pria itu mendekat.Arshaka berusaha bersikap sopan, meskipun kehadirannya selalu memberikan aura ancaman. Tatapannya yang tajam menembus ruang di antara mereka, menciptakan distansi yang tak terucapkan namun begitu nyata. Tak lama kemudian, sebuah Porsche hitam model terbaru terparkir di depan mereka, seorang pria muda yang tampak gagah dan tampan berdiri di samping mobil itu, menunggu dengan sabar.Arshaka bergerak menuju mobil tersebut, mengangkat tangan untuk menangkap kunci yang dilemparkan pemuda itu. Na
Perasaan Varisha langsung bergolak. Pikirannya berputar cepat, mencari cara untuk menghindari situasi yang semakin rumit ini. Dengan suara yang cepat dan dingin, Varisha menjawab, "Saya hanya tidak mau kembali. Lagipula saya tidak mempunyai keharusan untuk menurutimu. Kamu bukan siapa-siapa bagi saya. Jadi, sebaiknya kamu berhenti mencampuri hidup saya!"Arshaka masih menatapnya tajam, matanya menyiratkan kebencian. "Lalu apa alasanmu?”“Untuk apa saya menjelaskannya?” tanya Varisha sambil mengepalkan tangannya.“Jangan jadikan anak ini sebagai alasan! Awalnya kamu tidak mempercayainya dan bahkan kamu tidak pernah berpikir kalau bisa jadi kamu lah ayahnya.” Varisha melanjutkan ucapannya dengan penuh ketegasan. Arshaka menatap Varisha dengan tajam dan sinis, seolah memandangnya dengan sebelah mata. “Saya pernah mempercayaimu sebelumnya, tapi kepercayaan itu kamu hancurkan dengan mudahnya. Semua ucapan dan perbuatanmu sangat berbeda. Jadi, bagaimana menurutmu saya harus percaya?” Var
London, dua minggu kemudian.Dalam keheningan ruangan rumah sakit yang sepi, Varisha terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terbungkus oleh linen putih yang bersih. Cahaya redup lampu menyelinap masuk dari balik tirai jendela, menciptakan suasana hening yang menggantung di udara. Setiap napas yang dihela Varisha terasa berat, dipenuhi oleh rasa sakit yang mencabik-cabik hatinya. Sinar mentari sore menyapu lembut wajahnya melalui jendela yang dipagari bilah-bilah besi. Wajah Varisha terlihat pucat dan lelah, cernanya mata itu dipenuhi oleh kekosongan yang sulit diungkapkan.Dua minggu lamanya, Varisha terperangkap dalam dunia yang gelap dan kesepian. Di dalam ruangan rumah sakit yang sunyi, ia merasa seolah-olah seluruh dunianya telah runtuh, dan tidak ada cahaya yang mampu menerangi jalannya.Ketika akhirnya ia membuka mata untuk pertama kalinya, suasana yang menyelimuti kamarnya adalah kehampaan dan kesendirian. Ia merasa seorang diri, terkunci dalam dunianya yang gelap. Semua ya
Kilatan amarah masih membara dalam mata Arshaka saat dia menatap dokter. Ketidakpatuhan Varisha membuatnya marah, dan dia merasa segera membawa wanita itu pulang adalah satu-satunya jalan keluar."Apakah Anda benar-benar tidak mengenalnya?" tanya dokter tersebut dengan sabar.“Saya sama sekali tidak mengenalnya,” jawab Varisha dengan tegas.Arshaka hanya tersenyum pahit, mengabaikan larangan duduk di ranjang yang diucapkan oleh wanita di depannya. Dia menurunkan tubuhnya hanya beberapa jengkal dari tubuh Varisha. Namun, gadis itu tidak mengakui keberadaannya dan tetap bersikeras tidak ingin melihatnya."Bagaimana mungkin seorang istri tidak mengingat suaminya sendiri?" tanya Arshaka dengan sinis.“Apakah benar kondisinya baik-baik saja? Apa tidak ada yang salah dengan ingatannya?” Arshaka menatap dokter dengan dalam seolah mencari jawaban yang pasti.Dokter itu menghela nafas dan akhirnya mengatakan, "Sejauh ini, pasien masih mengingat namanya dan memiliki memori yang cukup baik. Namu
Beberapa hari kemudian, Varisha berbaring di ranjang apartemen mewah milik Arshaka, perasaannya masih berantakan. Varisha sempat berpikir bahwa Arshaka akan langsung membawanya ke Indonesia seperti rencana awal sebelum dirinya melarikan diri. Namun, ternyata Arshaka membawanya kembali ke apartemen pribadinya di London.Varisha masih merasa syok setelah kecelakaan yang mengakibatkan dirinya kehilangan calon anaknya. Bagian terdalam dari hatinya terasa kosong, seolah-olah sebagian besar dari dirinya telah dirobek keluar. kemarahannya pada Arshaka semakin besar karena pria itu mencoba mengendalikan hidupnya, merenggut sedikit kontrol yang tersisa padanya.Varisha menatap kosong piring makanan yang sejak tadi disajikan untuknya. Pikirannya hancur, emosi bergejolak, dan dia merasa seperti dalam penjara emosional.Tiba-tiba, Varisha mendengar langkah kaki dari kamar mandi. Arshaka keluar dengan santainya, telah mengganti baju dan terlihat seperti biasa. Tetapi tatapan dinginnya terasa menus
Varisha turun dari ranjangnya perlahan, merasa kelelahan yang begitu mendalam menyergap tubuhnya. Kamar mewah itu tiba-tiba terasa terlalu sesak, seperti penjara yang mencekiknya. Dia melangkah ke arah balkon, mencari udara segar yang bisa memberinya sedikit kelonggaran. Meskipun malam London bersinar terang dengan lampu-lampu kota yang berkilau, pikirannya masih gelap, dipenuhi oleh bayangan Arshaka dan serangkaian peristiwa yang menyakitkan.Varisha sudah mempertimbangkan berbagai cara untuk melarikan diri, untuk menghindari Arshaka dan menghapusnya dari kehidupannya seperti yang ia lakukan beberapa minggu lalu. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa melarikan diri hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit dan kerugian. Dia sudah membayar harga yang sangat mahal, kehilangan calon anaknya. Kejadian itu masih terasa sangat segar di ingatannya.Kali ini, Varisha merasa sudah tak bisa lagi lari dari Arshaka, tidak peduli seberapa keras ia mencoba. Ia tahu bahwa pria itu takkan pernah melepa
Keesokan paginya, Varisha duduk dengan sikap yang canggung di depan Arshaka, yang duduk di seberang meja dengan pandangan penuh perhatian. Arshaka tersenyum dengan bangga saat Varisha dengan canggung menghabiskan telur omelet yang baru saja ia buatkan. Setelahnya, pria itu menyiapkan segelas jus segar untuk Varisha.Varisha hanya diam, menerima perlakuan Arshaka tanpa banyak bicara. Ia merasa masih asing dengan semua perhatian pria itu, namun, dalam hatinya, Varisha sudah membuat keputusan. Ia akan mengikuti permainan Arshaka, setidaknya sampai ia menemukan peluang untuk melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.Arshaka melanjutkan untuk menunjukkan perhatiannya dengan menyodorkan segelas jus di hadapan Varisha. "Minumlah, itu akan membantumu merasa lebih baik," katanya.Varisha meraih gelas dengan gemetar, menundukkan pandangannya ke dalam cairan berwarna cerah di depannya. Dia meminum jus itu dengan ragu, mencoba mengabaikan rasa manisnya yang menyelinap ke kerongkongannya, sement