Happy Reading*****Genap sebulan, Wening bekerja di bawah pimpinan Ibra. Sebulan itu pulalah dia selalu mendapat tekanan dalam pekerjaannya. Omelan Ibra, hampir setiap hari mampir di telinga gadis berkulit kuning langsat dengan tahi lalat di leher kanannya itu.Wening juga tidak mengerti dengan tingkah Ibra itu. Terkadang dia baik, tetapi lebih banyak jahat dan jahilnya. Andai tak ingat jika Wening harus bertahan di tempat itu karena tak ingin kembali sekantor dengan Fahri, mungkin sudah sejak lama dia mengundurkan diri. Menghela napas panjang ketika mengingat semua itu. Wening mengaduk teh yang dibuatnya. Meminum minuman hangat berwarna kemerahan yang cukup pekat untuk menenangkan pikiran."Kena omel lagi, Mbak?" tanya Bella, resepsionis yang menjadi teman Wening sejak pindah di garmen cabang. Gadis itu melihat sang akuntan dengan wajahnya yang terlihat lemas."Ya, begitulah," jawab Wening. Dia kembali menyesap teh yang dibuatnya."Betah banget, sih, Mbak. Kalau aku sudah lari nyar
Happy Reading*****Sejak hari di mana Ibra memberikan undangan pernikahan Fahri. Wening menghindari segala macam bentuk pertemuan secara langsung dengan lelaki itu. Seperti saat ini, nyata-nyata Ramadan memanggil keduanya untuk berdiskusi tentang order dari pondok pesantren Salahuddin. Namun, Wening beralasan harus mengecek nota kain yang disetor pihak gudang. Lelaki paruh baya yang sejak dua Minggu lalu mulai bergabung di garmen kembali itu merasa aneh. Tidak biasanya sang akuntan menolak diajak meeting."Kamu ada masalah sama Wening, Ib?" tanya Ramadan ketika Ibra sudah berada di ruangannya saat ini."Tidak. Kenapa Papa sampai berpikir seperti itu?" Ibra membuka berkas-berkas di hadapannya. "Papa agak aneh saja sama tingkah Wening. Dari beberapa hari lalu, Papa melihat dia seperti menghindar ketika bertemu denganmu. Apa kalian bertengkar?" tanya lelaki yang sebagian rambutnya mulai memutih itu."Apa, sih, Pa. Kayak anak kecil aja tanyanya. Tengkar sama Wening buat apa?""Papa tah
Happy Reading*****Wening segera menengok ke sumber suara. Matanya membelalak tak kalah terkejut ketika mendapati sosok lelaki yang beberapa Minggu ini berusaha dia hindari. Lelaki yang telah mematahkan seluruh hati dan kepercayaannya terhadap cinta, dialah Fahri. Lelaki itu datang dengan mengenakan jas hitam serta kemeja berwarna baby blue. Warna favorit yang selalu dipilih Wening ketika Fahri mengajaknya berbelanja pakaian. Namun, pandangan Wening langsung tertunduk ketika mengingat semua itu."Apa kabar, Ning?" sapa Fahri. Tatapannya tajam menguliti gadis di depannya. Dari ujung kaki sampai kepala tak luput dari pengamatan lelaki itu. "Kamu kurusan. Apa beban pekerjaan di sini jauh lebih berat?"Wening diam bahkan lebih menundudukkan pandangannya. Bella sendiri menjadi bingung dan bertanya-tanya siapa lelaki yang menyapa Wening. Dia sama sekali belum pernah bertemu dengannya."Maaf, jika saya menyela perkataan Bapak. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Bella sesuai SOP yang ha
Happy Reading*****Ramadan tertawa dengan perkataan anak-anak muda di sekitarnya. "Kalian ini. Semakin kalian mengingkari perasaan masing-masing. Semakin terlihat dengan jelas bahwa kalian berdua tertarik pada Wening."Papa ngawur ngomongnya," kata Ibra."Jangan sembarangan, Om. Saya sudah akan menikah beberapa hari lagi," sahut Fahri.Mengeraskan tawa, Ramadan menatap Wening. "Siapa yang akan kmu pilih, Ning. Jika apa yang saya katakan tadi salah benar. Apakah kamu akan memilih putraku atau akan menjadi pelakor di antara hubungan Fahri dan Tiara.""Pa.""Om."Menegakkan kepala, Wening menghela napas. Lalu, menatap Ramadan. "Saya nggak akan memilih keduanya, Pak.""Alasannya?" tanya ketiga lelaki itu serempak."Ternyata, kalian berdua juga kepo dengan alasan Wening. Gitu tidak mau mengakui perasaan masing-masing." Ramadan tertawa sekali lagi."Sudahlah, Pak. Jika nggak ada yang perlu saya kerjakan lagi. Lebih baik saya permisi. Sudah waktunya makan siang," kata Wening."Silakan, Ning
Happy Reading***** Ketiga lelaki itu terdiam. Melihat keganjilan itu, Wening memilih meninggalkan mereka. Sudah tak ada alasan baginya untuk dekat-dekat dengan ketiganya. "Siapa kamu sebenarnya, Fan. Mengapa ... orang yang aku kenal ternyata mengenal Fahri juga. Aku benci kalian semua," ucap Wening sepanjang perjalanan menuju rumah Pakliknya.Sejak kejadian itu, sikap Wening berubah sepenuhnya. Dia tak lagi menanggapi telepon atau chat yang dikirimkan Fandra. Tak lagi berinteraksi berlebihan dengan Ibra. Jika lelaki itu mulai bersikap menjengkelkan, Wening memilih diam dan meninggalkannya. Pun demikian dengan sikap gadis itu pada Fahri yang beberapa kali menghubungi dan meminta maaf. Semua tidak digubrisnya. Wening juga menjadi jauh lebih pendiam. Terkadang, Silvia bertanya kenapa, tetapi jawabannya selalu saja sama. Tidak ada masalah apa pun yang perlu diceritakan pada sepupunya itu. Hari yang ditentukan itu tiba, mau tak mau Wening harus menghadiri acara pernikahan mantan kekas
Happy Reading*****Tak ingin kehilangan muka di depan tamunya, Mahmud terpaksa menyetujui permintaan sang istri. Ibra seolah mendapat angin segar dengan tawaran ibunya Wening. Dia dengan senang hati menyetujui. Mereka semua masuk tanpa berkata apa pun lagi. Mahmud menunjukkan kamar yang akan digunakan Ibra di lantai bawah, tepat di sebelah kamarnya."Mungkin, kamarnya nggak semewah kamar hotel, Nak. Semoga kamu bisa tidur nyenyak malam ini," kata Mahmud sebelum meninggalkan si bos sendirian."Terima kasih, Pak. Kamarnya cukup nyaman. Jadi, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak tidur dengan nyenyak." Mahmud tersenyum. Mengucapkan salam perpisahan dan meninggalkan kamar tersebut. Ibra segera mengistirahatkan tubuhnya tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Menyetir dengan jarak jauh ternyata melelahkan juga. Dia pun dengan cepat berada di alam mimpi.Berbeda dengan Ibra yang sudah tertidur dengan pulas. Wening, begitu sangat gelisah malam ini. Bayangan Kebersamaan dengan Fahri munc
Happy Reading*****"Mbak tunggu di sini. Aku akan segera kembali dan menemanimu," kata Fandra. Lalu, lelaki itu bergegas ke atas panggung pelaminan. Wening diam tak bergerak sama sekali. Semua kejadian perkenalan dengan Fandra berputar tanpa bisa dicegah. Memejamkan mata dengan tangan dan kaki yang masih bergetar hebat. Berton-ton batu seakan menghantam tubuh gadis itu. Menangis pun saat ini percuma. Semua sudah terjadi. Andai saja ... andai saja Fandra secara jujur mengakui siapa dirinya. Mungkin, sejak kedatangan si lelaki malam itu, Wening susah mencaci makinya."Takdir ini, hamba tidak tahu akan seperti apa nantinya. Yakinkan hamba Ya Allah. Semua akan baik-baik saja, semua akan indah di saat yang tepat." Sang gadis pun duduk di salah satu meja kosong. Menatap ke arah pelaminan yang terdapat Fandra dengan seorang perempuan paruh baya. Wening tersenyum miris."Lima tahun bersama, tapi aku sama sekali nggak kenal dengan keluargamu, Mas," gumam Wening.Rangkaian acara resepsi dim
Happy Reading*****Terus berjalan tanpa menghiraukan pertanyaan Abraham, Wening menuju stan kue yang terlihat menarik hatinya. Namun, ingat jika dia sedang berpuasa saat ini. Melirik di sebelah kanan, gadis itu melihat cake susun dua dengan konsep yang selama ini diidamkannya.Warna baby pink dengan bunga mawar putih sebagai hiasan yang menutupi kue. Boneka pengantin berkerudung merah dengan pita keemasan, sedangkan pakaian pengantin pria berwarna cokelat keemasan senada dengan renda di gaun si wanita."Kenapa cake ini bisa persis seperti kue impian yang selama ini aku ceritakan pada Mas Fahri. Mungkinkah?" Wening bergumam sendiri.Semakin lama dia mengamati kue tersebut, Wening semakin yakin bahwa cake pernikahan itu adalah impian yang sering diceritakan pada sang mantan. Gadis itupun menggelengkan kepala dan tak habis pikir. Mengapa Fahri mewujudkan keinginannya itu. Diam terpaku, sang gadis mulai mengamati dekorasi serta makanan dan hidangan lain yang tersedia di pesta resepsi.