Happy Reading*****Fahri berusaha meredam perdebatan dengan Tiara. Masih banyak tamu undangan dan para orang tua di sekitarnya. Lelaki itu tidak mungkin meladeni mulut pedas istrinya. Tiba-tiba saja, Fahri memeluk ibunya membuat perempuan paruh baya yang sudah tujuh tahun lalu ditinggal mati suaminya itu heran."Hei, tumben kamu manja gini, Mas?" ucap perempuan berbaju dan berjilbab sama dengan mempelai pengantin serta keluarga lainnya. Dialah Karima, perempuan yang telah melahirkan dan mendidik Fahri sampai seperti sekarang."Memangnya tidak boleh, Bu? Mas sudah tidak bisa setiap hari bertemu dengan Ibu. Jadi, boleh dong sekali-kali meluk gini," ucap Fahri lirih bahkan suaranya nyaris tak keluar. Sebagai seorang ibu, tentu Karima menyadari ada yang tidak baik-baik saja dalam diri putranya. "Ceritakan pada Ibu. Ada apa sama Mas?""Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Fahri. Masih berusaha menutupi suasana hati yang tidak menentu."Yakin, Mas? Kamu tidak tertekan dengan pernikahan ini, kan?
Happy Reading*****Pesta resepsi pernikahan, Fahri dan Tiara sudah selesai digelar. Seluruh tamu semuanya sudah pulang. Pasangan yang baru meresmikan kesakralan hubungan mereka itu kini menuju kamar hotel. Mereka menginap di tempat di diadakannya resepsi. Baik Tiara maupun Fahri, keduanya tidak saling bicara sejak insiden tadi. Sang mempelai wanita bahkan enggan untuk menatap suaminya. Demikian pula Fahri, dia masih marah akibat ancaman istrinya.Menempelkan kartu pada pintu kamar yang sudah dipersiapkan untuk keduanya, Fahri berjalan masuk terlebih dahulu. Disusul Tiara dengan sedikit kerepotan karena gaun pengantin yang menjuntai panjang. Sejak tadi, tangannya mulai pegal karena terus membawa ekor gaun yang lumayan berat.Mendaratkan bobot tubuhnya begitu saja ke sofa, Fahri memijat kepalanya yang sejak tadi terasa berdenyut. Baru saja akan memejamkan mata, suara sang istri terdengar."Aku tidak suka kamu masih memikirkan Wening. Apa hebatnya dia hingga kamu masih begitu peduli. A
Happy Reading*****Dari kejauhan, Ibra melihat Wening masuk ke mobil Fandra. Keduanya sudah meninggalkan parkiran hotel saat ini. Sang lelaki cuma bisa diam menatap semuanya. "Ada apa dengan diriku saat ini? Biasanya, aku tak pernah sepeduli ini pada cewek. Mengapa saat melihat kesedihan Wening, hatiku ikut sakit," gumam Ibra. Meninggalkan hotel tempat resepsi pernikahan sahabatnya, lelaki itu menuju rumah sang bawahan.*****Wening baru saja turun dari mobil, ketika Mahmud sampai di depan pagar dengan berjalan kaki. Melihat kedatangan wali dari gadis yang diantaranya pulang, Fandra turun hendak menyalami dan menyapa. "Kesempatan bagus, mumpung ada Bapak," gumam Fandra. Lelaki itu turun dan mendekati sang empunya rumah.Tangan Fandra baru terulur untuk bersalaman, suara Mahmud sudah terdengar. "Masuk, Nduk. Bapak mau bicara dengan Fandra."Lelaki paruh baya itu kemudian menatap ke arah Fandra. Ekspresi wajah Mahmud sungguh sulit dibaca Fandra. Jika lelaki itu marah, mengapa nada s
Happy Reading*****Lama Fandra terdiam, Mahmud pun menunggu dengan setia. Jawaban apa yang akan dikeluarkan pemuda di depannya. Mengucap basmalah serta mengembuskan napas panjang. Fandra tersenyum, lalu berkata, "Perasaan cinta ini sudah membawa saya pada kedekatan dengan Allah. Bukankah perasaan yang membuat kita semakin dekat dengan-Nya adalah sebuah rasa yang harus diperjuangkan? Karena itulah, saya akan memperjuangkan hal ini." Diam sejenak, pemuda itu menatap Mahmud."Jika Bapak memang belum menerima lamaran saya karena belum pantas secara ekonomi. Maka, saya akan berusaha supaya Allah segera melimpahkan kesuksesan serta harta yang bisa menjamin perekonomian keluarga kami nantinya."Mahmud terdiam mendengar jawaban pemuda di depannya. Beberapa detik begitu hening hingga suara lelaki paruh baya itu terdengar. "Apakah kamu begitu yakin jika kesuksesan itu akan segera kamu raih?""Insya Allah, Pak. Saya sudah berdoa serta usaha. Cuma masalahnya, saya nggak tahu kriteria apa yang
Happy Reading*****Kesal dengan sikap Ibra tadi, Wening segera masuk kamar. Merebahkan tubuh tanpa berniat mengganti pakaian yang dikenakan tadi, gadis itu memijat pelipisnya."Ya Allah, bimbing hamba supaya nggak salah jalan lagi. Ampuni hamba karena melanggar apa yang sudah Engkau perintahkan," ucap Wening. Matanya mulai meredup dan beberapa saat kemudian larut dalam tidur.Sementara itu, Fandra dan Mahmud masih berbincang di teras sampai suara azan Asar terdengar berkumandang."Sudah azan, Bapak harus segera ke musala, Nak. Nggak bermaksud mengusir, lho, ya," kata Mahmud. Senyum itu terbit."Saya yang harusnya minta maaf, Pak. Sudah mengganggu waktu Bapak," jawab Fandra. Lelaki itu berdiri dan menjulurkan tangan. "Saya pamit pulang, Pak. Terima kasih sudah mengajak saya berbincang. Lain kali, boleh kan semisal saya datang berkunjung sekedar berbincang seperti tadi.""Boleh, tapi harus ingat waktu juga, ya." Mahmud membalas uluran tangan Fandra. Lalu, lelaki paruh baya itu menarik
Happy Reading *****Fandra sedikit menaikkan garis bibirnya ketika tatapan Mahmud penuh selidik. Memantapkan hati untuk meraih restu kedua orang tua Wening, lelaki yang kini memiliki kumis dan juga jambang tipis itu berjalan mendekati lelaki paruh baya tersebut."Assalamualaikum," sapa Fandra. Menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Mahmud setelah itu berganti pada Fatimah. Sempat ada sedikit penolakan ketika akan menyalami Fatimah, Fandra tidak menyerah. Lelaki itu sedikit menarik punggung tangan wanita paruh baya di depannya demi bisa mencium dengan takdim."Waalaikumsalam. Nak Fandra mau ke mana? Pagi-pagi sudah terlihat rapi, bawa tas juga," tanya Mahmud, sekedar basa-basi. Raut wajah lelaki paruh baya tersebut juga cenderung bersahabat bahkan senyum tipis menghias wajahnya kini.Sementara, Fatimah menatap pemuda yang baru menyalaminya itu. Bola matanya bergerak mengamati dari ujung kepala hingga ujung kaki Fandra. Tidak ada senyuman sama sekali. Malah terkesan mencibir penam
Happy Reading ****Bapak dan anak itu menatap tajam ke arah Fatimah. Keduanya serempak menggelengkan kepala. Sangat khawatir jika Fandra akan tersinggung dengan perkataan Fatimah tadi.Namun, keduanya cukup lega ketika Fandra menaikkan garis bibir. Cowok itu bahkan terlihat begitu tenang. Sedikit pun tidak ada reaksi berlebihan padahal perkataan Fatimah sungguh menyakitkan. "Maaf, Bu. Mobil itu memang pinjaman dan nggak akan menjadi hak mutlak saya karena keseluruhan harta yang kita miliki di dunia ini, hakikatnya adalah pinjaman dari Allah. Jadi, benda tersebut dipinjamkan oleh Allah kepada saya untuk dipakai di jalan kebaikan. Termasuk untuk memudahkan saya dalam beribadah dan bekerja." Jawaban yang dikeluarkan Fandra mampu membungkam Fatimah. Perempuan paruh baya itu bahkan sampai menundukkan kepala. Sebuah jawaban tanpa sanggahan berlebihan bahkan terkesan merendah. Walau sebenarnya, Fandra mampu mengatakan secara singkat bahwa mobil tersebut miliknya sendiri.Melihat sikap Fat
Happy Reading*****Melirik pada sang pujaan, Fandra memberanikan diri menganggukkan kepala. "Tapi, bukan sepenuhnya milik saya, Pak. Ada beberapa teman yang juga bergabung memberikan modal. Dari jaman kuliah, saya dan teman-teman sudah merintis usaha yang bergerak di bidang kuliner walau jurusan yang kami pilih nggak ada kaitan sama sekali dengan usaha.""Memangnya Nak Fandra dulu kuliah jurusan apa?" tanya Mahmud mewakili pertanyaan Wening.Gadis itu mengingat perkataan Fahri yang pernah bercerita jika adiknya sangat berbeda dengan dirinya. Dari segi hobi maupun tujuan hidup. Si gadis dulu sempat ingin bertemu dengan bungsu keluarga kekasihnya. Namun, Fahri selalu melarang dengan alasan jika saudaranya itu tengah menempuh pendidikan di luar kota dan jarang sekali pulang.Jika pun pulang, paling lama cuma dua hari saja di rumah. Wening mengangkat kepala dan melirik sebentar ke arah lelaki itu. Senyuman Fandra terlihat dengan jelas."Saya kuliah di keguruan, Pak. Almarhum ayah saya pe