Happy Reading*****Lama Fandra terdiam, Mahmud pun menunggu dengan setia. Jawaban apa yang akan dikeluarkan pemuda di depannya. Mengucap basmalah serta mengembuskan napas panjang. Fandra tersenyum, lalu berkata, "Perasaan cinta ini sudah membawa saya pada kedekatan dengan Allah. Bukankah perasaan yang membuat kita semakin dekat dengan-Nya adalah sebuah rasa yang harus diperjuangkan? Karena itulah, saya akan memperjuangkan hal ini." Diam sejenak, pemuda itu menatap Mahmud."Jika Bapak memang belum menerima lamaran saya karena belum pantas secara ekonomi. Maka, saya akan berusaha supaya Allah segera melimpahkan kesuksesan serta harta yang bisa menjamin perekonomian keluarga kami nantinya."Mahmud terdiam mendengar jawaban pemuda di depannya. Beberapa detik begitu hening hingga suara lelaki paruh baya itu terdengar. "Apakah kamu begitu yakin jika kesuksesan itu akan segera kamu raih?""Insya Allah, Pak. Saya sudah berdoa serta usaha. Cuma masalahnya, saya nggak tahu kriteria apa yang
Happy Reading*****Kesal dengan sikap Ibra tadi, Wening segera masuk kamar. Merebahkan tubuh tanpa berniat mengganti pakaian yang dikenakan tadi, gadis itu memijat pelipisnya."Ya Allah, bimbing hamba supaya nggak salah jalan lagi. Ampuni hamba karena melanggar apa yang sudah Engkau perintahkan," ucap Wening. Matanya mulai meredup dan beberapa saat kemudian larut dalam tidur.Sementara itu, Fandra dan Mahmud masih berbincang di teras sampai suara azan Asar terdengar berkumandang."Sudah azan, Bapak harus segera ke musala, Nak. Nggak bermaksud mengusir, lho, ya," kata Mahmud. Senyum itu terbit."Saya yang harusnya minta maaf, Pak. Sudah mengganggu waktu Bapak," jawab Fandra. Lelaki itu berdiri dan menjulurkan tangan. "Saya pamit pulang, Pak. Terima kasih sudah mengajak saya berbincang. Lain kali, boleh kan semisal saya datang berkunjung sekedar berbincang seperti tadi.""Boleh, tapi harus ingat waktu juga, ya." Mahmud membalas uluran tangan Fandra. Lalu, lelaki paruh baya itu menarik
Happy Reading *****Fandra sedikit menaikkan garis bibirnya ketika tatapan Mahmud penuh selidik. Memantapkan hati untuk meraih restu kedua orang tua Wening, lelaki yang kini memiliki kumis dan juga jambang tipis itu berjalan mendekati lelaki paruh baya tersebut."Assalamualaikum," sapa Fandra. Menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Mahmud setelah itu berganti pada Fatimah. Sempat ada sedikit penolakan ketika akan menyalami Fatimah, Fandra tidak menyerah. Lelaki itu sedikit menarik punggung tangan wanita paruh baya di depannya demi bisa mencium dengan takdim."Waalaikumsalam. Nak Fandra mau ke mana? Pagi-pagi sudah terlihat rapi, bawa tas juga," tanya Mahmud, sekedar basa-basi. Raut wajah lelaki paruh baya tersebut juga cenderung bersahabat bahkan senyum tipis menghias wajahnya kini.Sementara, Fatimah menatap pemuda yang baru menyalaminya itu. Bola matanya bergerak mengamati dari ujung kepala hingga ujung kaki Fandra. Tidak ada senyuman sama sekali. Malah terkesan mencibir penam
Happy Reading ****Bapak dan anak itu menatap tajam ke arah Fatimah. Keduanya serempak menggelengkan kepala. Sangat khawatir jika Fandra akan tersinggung dengan perkataan Fatimah tadi.Namun, keduanya cukup lega ketika Fandra menaikkan garis bibir. Cowok itu bahkan terlihat begitu tenang. Sedikit pun tidak ada reaksi berlebihan padahal perkataan Fatimah sungguh menyakitkan. "Maaf, Bu. Mobil itu memang pinjaman dan nggak akan menjadi hak mutlak saya karena keseluruhan harta yang kita miliki di dunia ini, hakikatnya adalah pinjaman dari Allah. Jadi, benda tersebut dipinjamkan oleh Allah kepada saya untuk dipakai di jalan kebaikan. Termasuk untuk memudahkan saya dalam beribadah dan bekerja." Jawaban yang dikeluarkan Fandra mampu membungkam Fatimah. Perempuan paruh baya itu bahkan sampai menundukkan kepala. Sebuah jawaban tanpa sanggahan berlebihan bahkan terkesan merendah. Walau sebenarnya, Fandra mampu mengatakan secara singkat bahwa mobil tersebut miliknya sendiri.Melihat sikap Fat
Happy Reading*****Melirik pada sang pujaan, Fandra memberanikan diri menganggukkan kepala. "Tapi, bukan sepenuhnya milik saya, Pak. Ada beberapa teman yang juga bergabung memberikan modal. Dari jaman kuliah, saya dan teman-teman sudah merintis usaha yang bergerak di bidang kuliner walau jurusan yang kami pilih nggak ada kaitan sama sekali dengan usaha.""Memangnya Nak Fandra dulu kuliah jurusan apa?" tanya Mahmud mewakili pertanyaan Wening.Gadis itu mengingat perkataan Fahri yang pernah bercerita jika adiknya sangat berbeda dengan dirinya. Dari segi hobi maupun tujuan hidup. Si gadis dulu sempat ingin bertemu dengan bungsu keluarga kekasihnya. Namun, Fahri selalu melarang dengan alasan jika saudaranya itu tengah menempuh pendidikan di luar kota dan jarang sekali pulang.Jika pun pulang, paling lama cuma dua hari saja di rumah. Wening mengangkat kepala dan melirik sebentar ke arah lelaki itu. Senyuman Fandra terlihat dengan jelas."Saya kuliah di keguruan, Pak. Almarhum ayah saya pe
Happy Reading*****Mengambil air minum dan meminumnya. Sekali lagi, Fandra menatap sang pujaan sebelum membuka suara untuk menjawab pertanyaan Mahmud.Ditatap seperti itu, Wening salah tingkah. Lelaki yang berusia jauh di bawahnya itu selalu saja bisa membuatnya bertanya- tanya dalam hati. Apa tujuan Fandra mendekatinya."Restu itu memang belum Bapak berikan, tapi bukan berarti nggak akan diberikan. Saya akan tetap berusaha dan tentunya berdoa lebih keras supaya Allah mengabulkan. Semua yang nggak mungkin akan terjadi jika Allah sudah menetapkan. Saya sangat percaya Allah akan mengabulkan semua doa-doa yang dipanjatkan hamba-Nya." Mengakhiri jawabannya, Fandra kembali melirik sang pujaan."Bagaimana jika Allah nggak pernah menakdirkan kamu dengan Wening?" tanya Mahmud."Jika Allah menetapkan demikian. Maka, saya akan tetap menjalin silaturahmi dengan baik pada Bapak dan keluarga lainnya. Asal Mbak NIng bahagia dan Allah rida, Insya Allah saya ikhlas menerima."Mahmud menghela napas p
Happy Reading*****"Mau tak lempar pake sendal biar tambah sakit." Wening sudah ancang-ancang akan membuka sepatu heels-nya. "Aduh, calon istri kok kejam sekali. Kalau sampai aku terluka, Mbak juga yang susah." Fandra mengedipkan sebelah matanya. Namun, si gadis malah mengerucutkan bibir."Sana pergi!" usir Wening, "aku bakalan telat kalau nuruti kamu ngobrol gini.""Baiklah tuan putri sesuai permintaan, hamba akan pergi. Tapi, akan mengawal sampai tuan putri sampai di kantor dengan selamat." Tak lupa, lelaki itu mengedipkan sebelah mata. Bibir sedikit maju seperti hendak mencium.Berusaha tak peduli dengan perkataan dan tingkah Fandra, Wening menaiki, lalu melajukan motor. Dari teras rumahnya, Rahmat serta seluruh keluarga menyaksikan interaksi keduanya dan tersenyum. "Mbakmu itu, umur sudah hampir tiga puluh masih saja jutek pada cowok. Bapak kok berharap kalau mereka berjodoh. Nak Fandra itu terlihat perhatian dan baik pada semua orang," ucap Rahmat."Ibu sependapat dengan Bapak
Happy Reading*****Tangan kanan Ramadan terangkat dengan kelima jarinya tegak ke atas. "Pokoknya jangan sampai Papa melihat wajah Wening cemberut gara-gara ulahmu," ucapnya, "sekarang kita bahas pekerjaan. Kalian berdua harus menemui tamu yang baru saja datang dari Surabaya. Dia jauh-jauh nyari garmen kita padahal di tempatnya begitu banyak garmen besar yang bisa memenuhi permintaan baju untuk menyuplai tokonya. Papa minta kamu bisa membuat kesepakatan dengan beliau. Akan sangat menguntungkan jika kita bisa bekerja sama. Order yang dia lakukan jelas berlanjut dan dengan jumlah besar. Dia memiliki banyak banyak reseller saat menjalankan usaha.""Hmm," jawab Ibra. Dia terlihat menyimpan amarah karena perkataan Ramadan."Kamu bisa, kan, Ning? Bekerja dengan cowok menjengkelkan macam putra saya ini.""Pa, bisa tidak, jangan merendahkan aku terus," protes Ibra. Sengaja membuang muka agar tidak terlalu kentara kemarahannya pada si gadis.Ramadan tertawa keras mendengar protesan sang putra.