Alisya yang mendengar tuduhan kakaknya pun langsung berdiri. Ana sendiri sedikit terkejut dengan tuduhan itu.
“Kak, kak Ana tidak melakukan apapun, bukan salah dia.” Alisya mencoba membela kakak iparnya.
“Halah! Kalau bukan kamu siapa lagi? Kamu pasti tidak becus menjaga ayah hingga akhirnya kondisi beliau memburuk!” kekek Mikaila seraya menunjuk-nunjuk pada Ana.
“Kalau ngomong jangan sembarangan!” Ana kini berani melawan tuduhan Mikaila.
Zidan yang begitu cemas bercampur khawatir pun semakin emosi karena Ana dan Mikaila bertengkar, pria itu langsung berdiri dan berteriak.
“Diam!”
Suara Zidan membuat baik Ana, Mikaila ataupun Alisya terdiam, keduanya tidak pernah melihat sosok Zidan yang seperti itu.
“Mikaila memang benar, jika saja kamu tidak memilih bekerja dan lebih memperhatikan keadaan ayah sebagai mestinya, harusnya ayah tidak akan kambuh seperti ini!” Zidan m
Ana berjalan gontai dengan menyeret kopernya, menjauh dari rumah yang ia anggap bagai neraka karena tidak pernah ada kasih sayang untuknya di sana. Entah sudah berapa jauh ia berjalan, hingga kakinya terasa lemas, panas terik matahari membakar kulit, hingga akhirnya Ana terduduk di bangku yang terdapat di trotoar.“Aku harus ke mana? Aku tidak mau kembali ke sana.”Ana menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, ia menangis lagi, kedua pundaknya bergetar karena ia menahan agar tangisnya tidak semakin meledak.Hingga ia tersadar akan sesuatu, Ana merogoh ponselnya yang berada di saku, satu nama kontak Ia tatap begitu lama.“Apakah aku harus meminta bantuannya?”Ana memejamkan matanya, dengan berat hati Ia menekan nama Arga. Laki-laki itu menjadi harapan terakhir baginya.“Tunggu! Aku akan menjemputmu,” ucapan Arga menjadi sebuah harapan bagi Ana.Duduk menunggu A
Arga terlihat begitu cemas menunggu dokter yang sedang melakukan pengecekan pada Ana, jaket yang dikenakan Arga pun sampai terkena noda berwarna merah itu. Zidan sendiri juga ada di sana, tapi keduanya berdiri di sisi yang berlawanan, suami Ana mengabaikan keberadaan Arga karena rasa syok yang melanda jiwanya. Setelah hampir setengah jam, akhirnya dokter keluar dengan wajah penuh penyesalan.“Maaf, istri Anda mengalami keguguran,” ucap dokter yang memeriksa Ana, dokter itu mengira jika Arga adalah suami Ana.“Keguguran?” Arga bertanya-tanya dalam hati. “Kenapa tadi Anda tidak mengatakan kalau dia sedang hamil?” tanya Arga yang terkejut.Zidan begitu terkejut dengan ucapan dokter yang memeriksa istrinya, tatapannya tertuju pada kamar di mana Ana masih terbaring.Dokter yang memeriksa Ana sama dengan yang tadi. Dokter itu pun tidak menyangka dan tidak menyadari hal itu.“
Mikaila merasa tidak terima jika Zidan memarahi dirinya, dadanya bergemuruh dan naik turun karena menahan emosi yang ikut membuncah.“Kamu sudah membunuh bayi kami!” teriak Zidan dengan amarah yang benar-benar meluap.Alisya terkejut mendengar apa yang diucapkan Zidan, ia sampai menutup mulutnya agar tidak berteriak atau sekedar mengeluarkan suara.Mikaila tertegun dengan mendengar perkataan Zidan, jadi benar kalau Ana sebenarnya tengah hamil dan dia dengan sengaja mendorong hingga akhirnya kakak iparnya itu keguguran. Namun, meskipun begitu, Mikaila benar-benar tidak tahu kalau Ana sedang mengandung.“A-aku tidak tahu, Kak!” Mikaila mencoba membela diri.Zidan mengepalkan telapak tangan lantas memukulkannya ke udara, nasi sudah menjadi bubur, kini baik Ana maupun dirinya telah kehilangan calon bayi mereka. Meski Zidan tidak pernah menginginkan Ana hamil karena rasa trauma, tapi saat melihat betapa
Ana membanting pintu kamar, ia mengunci kamar yang ditempatinya. Ana merosot jatuh terduduk ke lantai di balik pintu, ia menangkup kedua sisi kepalanya dan kembali menangis, meratapi kenapa hidupnya bisa bernasib setragis itu. Ana sudah membulatkan tekadnya, ia akan pergi dari rumah Zidan dan mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Ya, itu cara terbaik baginya agar tidak terus terbelenggu dengan rasa sakit yang senantiasa singgah dalam hidupnya.Ana merogoh benda pipih miliknya yang terdapat di kantong, ia mendial nomor Arga dan berharap jika mantan kekasihnya itu segera menjawab.“Ga! Aku ingin minta tolong,” ucap Ana begitu panggilannya dijawab oleh Arga.“Iya, aku pasti akan menolongmu,” balas Arga dari seberang panggilan.Ana mengungkapkan semua keinginannya, hingga Arga bersedia membantu Ana agar bisa keluar dari rumah itu. Ana sudah memiliki pekerjaan yang ia anggap gajinya sangat mumpuni untuk menopang h
“Ke mana Ana?”Zidan yang biasanya ramah sore itu marah, ia bahkan terlihat emosi saat sang pembantu rumah tangga berkata bahwa istri majikannya itu pergi dari rumah setelah dirinya berangkat ke rumah sakit tadi pagi. Zidan langsung pergi ke kamarnya sambil mencoba menghubungi Ana, tapi ponsel istrinya itu tidak aktif. Ana sengaja mematikan benda pipih miliknya itu.“Kamu ke mana sih, An?” Zidan menatap layar benda pipihnya di mana nama Ana terpampang.Zidan terduduk di tepian ranjang, ia mengguyar kasar rambutnya berkali-kali. Perasaan bersalah dan penyesalan benar-benar menyelimuti hatinya. Zidan mencoba menghubungi Aditya, berharap jika Ana ada di rumah orangtuanya. Namun, lagi-lagi Zidan harus menelan kenyataan pahit karena sang istri tidak ada di sana.“Apa kamu benar-benar tidak bisa memaafkan kesalahan 'ku, An?”___Sore itu, setela
Mereka sudah sampai di toko ibu Arga, Ana terlihat gugup dan merasa bersalah, terlebih jika mengingat kebaikan ibu Arga dan dirinya malah pernah tanpa sengaja menyakiti perasaan putranya.“Ayo masuk!” ajak Arga.Ana mengangguk, ia mengekor pada Arga dan masuk ke toko yang terlihat sedikit ramai itu. Mereka langsung menuju dapur karena sudah bisa dipastikan jika ibu Arga ada di sana.“Bu!” panggil Arga yang melihat ibunya sedang mengeluarkan kue dari dalam oven.Wanita paruh baya itu pun menoleh ke arah sumber suara putranya, ia tersenyum hangat dan segera meletakkan loyang yang ada di tangan ke atas meja pantry.Pandangan ibu Arga teralih pada bayangan yang ada di belakang putranya, wnaita itu tersenyum manis menyambut kedatangan Ana.“Bu!” sapa Ana yang langsung mendekat dan meraih tangan ibu Arga, kemudian mengecup punggung tangan wanita itu.“Gimana kabarmu, An?”
Ana berjalan dengan gontai begitu keluar dari lift, ia tidak mengerti kenapa harus merasa sakit. Langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu menanti dirinya.“Ga!”Arga tersenyum hangat ke arah Ana, bagai sebuah sinar mentari yang begitu hangat dan menerangi jiwanya yang kalut. Arga bisa melihat kesedihan di wajah Ana, ia pun mendekat dan kini berdiri tepat di hadapan Ana.“Kamu nangis?” tanya Arga yang menatap manik mata Ana secara bergantian.Ana mengusap kedua lengannya, ia menjatuhkan keningnya di bahu Arga, untuk kesekian kalinya Ana menangis di hadapan pemuda itu.Arga tidak tahu harus bagaimana, memeluknya? Tidak mungkin! Arga akhirnya hanya bisa mengusap punggung Ana lembut, mencoba menenangkan perasaan mantan kekasihnya itu serta membiarkan menjadi sandaran untuk menangis.___“Sudah mendingan?” tanya Arga seraya menyajikan secan
Alisya merasa bahagia karena Ana mau tinggal untuk mengurus kakaknya, bahkan Alisya bisa melihat bagaimana Ana tengah sibuk membuatkan masakan khusus untuk Zidan hari itu.“Kak, bikin apa?” tanya Alisya yang melihat kakak iparnya sibuk di dapur.“Sup untuk kakakmu,” jawab Ana tanpa menoleh pada Alisya yang sudah berdiri di sampingnya.Alisya tersenyum senang, ia bisa melihat sebuah ketulusan di wajah Ana. Mungkin ini pertama kalinya Alisya melihat Ana terlihat begitu antusias terhadap sang kakak.“Sya, ambilin mangkuk donk!” perintah Ana seraya menunjuk pada rak piring.Alisya mengambil mangkuk yang dimaksud kakak iparnya dan memberikannya dengan senyuman lebar. Ana pun langsung memindahkan sup yang masih mengepulkan uap panas itu ke dalam mangkuk, ia menaruhnya ke atas nampan di mana sudah ada sepiring nasi juga segelas air putih yang sudah disiapkan sebelumnya.