Peony membungkuk. Menumpukan tangan pada lutut. Napasnya terengah. Peluh membanjiri dahi dan tubuh. Beberapa kali Peony meraup oksigen setelah mengelilingi taman berbentuk oval yang berada di samping gedung apartemennya. Di sisi-sisi lapangan terdapat beberapa toko. Di hari weekend seperti ini, taman tersebut biasanya ramai dikunjungi penghuni apartemen serta penghuni rumah-rumah yang berada di daerah ini. Termasuk Peony yang menyempatkan diri jogging setidaknya dua kali dalam seminggu. Namun karena kesibukannya belakangan ini, sudah satu bulan Peony tidak melakukan kegiatan tersebut. Maka dari itu hari ini terasa lebih lelah. Peony kembali menegakkan tubuh setelah merasa cukup beristirahat. Ia kembali berlari dengan kecepatan sedang. Sesekali gelembung bola sabun melewati pandangan. Suara anak-anak kecil dan orang tua yang mengunjungi taman menyusup di indera pendengarannya. Beberapa pohon rindang yang berada di sisi-sisi taman membuat udara pagi ini sejuk. “Gelembung sabun!” Peon
"Mentang-mentang dia sudah biasa mengurus putri kekasihnya, lalu dia merasa paling tahu apa-apa tentang anak kecil? Cih! Sombong sekali!” Peony berhenti melangkah, lalu menendang rumput guna menyalurkan kekesalan pada Kheil. Wanita ini kembali berjalan dan terus menggerutu. “Aku juga biasa mengurus anak kecil kok di gereja—" "Jangan pergi." "Aaaa!!!" Peony berteriak terkejut. Bagaimana tidak, Kheil tahu-tahu saja sudah berada di depannya. Menghalangi jalan Peony. "Kau?!" "Jangan pergi." Kheil kembali berucap. Tentu saja masih dengan nada datarnya seperti biasa. Ke mana nada tinggi pria itu tadi? Apakah sudah menghilang setelah konser marah-marah? "Kau tidak ada hak melarangku pergi!" desis Peony tajam. Rasa sakit hatinya masih basah dan tidak semudah itu mengering. Peony akan membuktikan kalau dia bukanlah orang yang mudah memaafkan setelah disakiti. Lihat saja! "Minggir!" Peony mendorong tubuh Kheil dan melanjutkan langkah. Mulutnya kembali menggerutu. Kali ini tanpa suara. "Ak
“Kau sepertinya sangat menyayangi Livy.” Peony membuka pembicaraan setelah ia dan Kheil mengistirahatkan diri beberapa saat lalu di sebuah bangku panjang yang berada di bawah salah satu pohon taman. Pandangan mereka tertuju pada Livy yang saat ini sedang bermain kejar-kejaran dengan dua orang adik kakak yang merupakan anak dari penghuni apartemen di lantai dua. Beberapa waktu lalu Livy langsung dekat dengan kakak beradik itu yang kebetulan juga sedang menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya. Kini orang tua dua anak tersebut mengawasi anak-anak mereka sambil mengobrol dan sepertinya saling menggoda layaknya sepasang kekasih. Senyum kecil tersungging dari bibir Peony. Betapa bahagianya keluarga kecil tersebut. “Hm. Dia adalah salah satu orang yang berharga di hidupku. Kehadiran Livy membuatku kembali memiliki semangat hidup.” Peony beralih menatap Kheil. Pria itu terlihat semakin memesona dengan penampilan kasualnya. Kheil memakai topi trucker berwarna hitam dengan logo merah s
Pembicaraan mereka terhenti saat Kheil tiba-tiba muncul. Rahang pria itu mengeras. Seperti ada sesuatu yang mengganggunya. Di tangan Kheil sudah ada dua botol air mineral serta gula kapas yang Peony yakini untuk Livy. Gula kapas yang sebelumnya dibeli Kheil sudah dibuang pria itu entah ke mana saat mencari keberadaan Livy dengan panik. Peony mengernyit. Apakah terjadi sesuatu pada Kheil saat pria itu membeli air? Kenapa mukanya asam seperti perasan jeruk lemon? “Leight???” seru Alan tercekat. Peony kembali menatap Alan. Raut terkejut terlihat nyata di wajah Alan ketika menatap keberadaan Kheil. “K-kalian masih bersama?” Alan bertanya pada Peony dan Kheil. Pandangan Alan bergantian menatap keduanya setelah Kheil sudah berada tepat di belakang Peony. “’Bersama’?” tanya Peony tak mengerti. “Aku t—” “Ada masalah?” Ucapan Peony terhenti karena Kheil memotongnya dengan datar tapi tajam. Peony menoleh cepat pada Kheil. Apa maksud pria itu? Tatapan Kheil tidak lepas dari Alan. Terdenga
“Hm. Tentu saja tidak gratis. Kau harus membayarnya besok.” Senyum miring tercetak dari wajah Kheil setelah mengatakan itu. Membuat tubuh Peony bergetar. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Seperti sesuatu yang menjurus ke arah— “Hm. Di apartemenku.” Kedua tangan Peony terkepal kuat. Dugaannya sepertinya benar. Apakah Kheil dan Maribel akan menghabiskan waktu di apartemen pria itu besok? Ya, Tuhan… Hubungan mereka semakin terlihat menjijikkan di mata Peony. Bagaimana Kheil bisa berbagi dengan ayahnya sendiri?! Dan lebih tidak masuk akal lagi, bagaimana bisa Maribel membagi dirinya untuk dua orang yang memiliki hubungan yang sangat dekat itu? Sedarah pula! Peony segera beranjak dari duduk. Dia sudah tidak tahan jika harus mendengar pembicaraan Kheil dan Maribel lebih jauh. “Kau mau ke mana?” Peony menatap Kheil yang sudah ikut berdiri bersamanya. Peony diam, karena tak yakin ucapan Kheil ditujukan untuknya. “Aku tutup.” Kheil mengatakan itu pada seseorang di seberang sana. Tang
“Saladmu, Maddy.” “Sayang?” Peony terkesiap merasakan sentuhan hangat di punggung tangan. Matanya mengerjap. Ia dan ibunya saling bertatapan untuk beberapa saat. “Ya, Bu?” “Saladmu.” “Terima kasih.” Peony tersenyum, lalu menyuap salad sayur yang dibuatkan ibunya untuk sarapan mereka. “Hmmm~ Saladmu selalu menggugah selera, Bu!” Casandra tergelak. “Habiskan.” Peony mengangguk bersemangat. Mulutnya penuh dengan salad. Namun tak lama, senyum ceria yang diperlihatkan Peony hanya bertahan sebentar. Senyum itu kini lenyap tak bersisa. Peony tidak menyadari jika Casandra masih menatapnya. Casandra Hart menatap sang putri. Sudah tiga hari ia berada di apartemen anak satu-satunya ini, dan selama itu pula Casandra merasa kalau Peony tidak seceria biasanya. Casandra sangat mengenal putrinya. Peony adalah anak yang ceria. Hal itu sudah terlihat sejak balita. Bahkan jika sedang merasa sedih, Peony tidak menunjukkannya terang-terangan. Namun berbeda ketika Peter Hart meninggal. Peony tidak m
Layar televisi menampilkan bagaimana Kheil menggandeng Samira Hamid keluar dari bandara dengan cara yang gentle. Kemudian disusul dengan potret makan malam mereka yang duduk berseberangan. Foto mereka diambil dari samping, tetapi Peony dapat melihat kalau Samira Hamid tersenyum lebar menatap Kheil. “Sepertinya ibu pernah melihat dan mendengar nama pria itu. Dia…” Casandra memperhatikan baik-baik wajah Kheil. “Ya Tuhan!” Casandra membelalak. “Bukankah dia adalah temanmu, Sayang??” Casandra menatap Peony yang terlihat terkejut. Tangannya sudah menunjuk layar televisi. “Dia adalah pemuda yang sering mengantarmu pulang, bukan? Dia juga sering berada di gereja yang sama dengan kita. Apakah ibu benar??” tanya Casandra heboh. “I-ibu mengingatnya??” seru Peony terkejut. “Tentu saja. Dia adalah satu-satunya pemuda yang dekat denganmu dulu. Ya Tuhan, dia semakin tampan!” puji Casandra. Walaupun setelah kepergian sang suami Casandra menjadi sering banyak melamun, bukan berarti dia tak memperh
Pintu bus terbuka. Peony melangkah keluar lalu berjalan menuju apartemen. Seperti yang Peony katakan pada sang ibu, jika hari ini dia pulang tepat waktu. Kesibukannya mulai berkurang. Makan siang pun tidak telat seperti sebelumnya. Namun sudah dua minggu ini acara makan siangnya kembali sepi. Peony tidak punya teman makan siang lagi di rooftop. Tiba-tiba saja Zora menghilang. Wanita itu tidak masuk tanpa pemberitahuan pada atasannya. Entah ke mana Zora pergi. Kalaupun berhenti dari pekerjaannya, Zora tidak memberi tahu Peony sebelumnya. Tentu saja Peony merasa kecewa. Zora dan dirinya cukup dekat selama ini, tapi mengapa Zora seakan tak menganggapnya? “Kau baru pulang?” “Ya Tuhan!” Peony memekik terkejut. Ia membalikkan tubuh. Matanya membelalak mendapati Kheil sudah berada di depannya. Untuk sesaat, Peony terpesona dengan penampilan Kheil. Pria itu memakai pakaian formal lengkap. Sebelah tangan masuk ke dalam saku celana. Mata Peony beralih pada wajah Kheil. Dagunya terdapat bakal j