Saat menjelang sore aku terbangun, Rani duduk sambil menangis ditepi tempat tidurku. Ada kegelisahan yang memuncak dihatiku, namun aku tetap berusaha untuk tidak memperlihatkannya pada Rani. “Ada apa lagi Rani? Kenapa kamu bersedih?” aku mencoba menyelidik.“Radith belum bisa dihubungi Pa, ponselnya gak aktif.” jawab Rani dengan lirih dan terus berurai airmata. “Tetaplah tenang nak.. kamu kan kenal watak Radith dan harusnya kamu tahu sifatnya.”Yang membuat aku miris, Rani katakan kalau dia belum lama mengenal Radith. Aku tidak mengerti, bagaimana seorang mahasiswi semester 6 begitu mudah ditaklukkan lawan jenisnya. Kesuciannya yang begitu Agung, bisa diserahkan pada lelaki yang baru dikenalnya. “Belum lama kenal? Kok kamu bisa memasrahkan diri padanya?”Sejenak kemudian isteriku masuk ke kamar, dia menghampiri Rani dan memeluknya. Hanya itu yang bisa dilakukan isteriku untuk menenangkan Rani. Aku tidak ingin menambah beban pikiran Rani dengan berbagai pertanyaan, aku hanya menungg
Saat aku bersandar di kepala tempat tidur dan Sinta pun mengambil posisi bersandar di dadaku. Aroma parfum J’Adore Infinissime (Dior) begitu semerbak merasuki penciumanku. Dari aroma itu aku menangkap kemewahan yang disuguhi tubuh Sinta. Semua sudah berubah dari Sinta sejak dia menjadi ‘Sugar Babby’ Wempy, seorang pengusaha yang cukup dandy. “Om tahu gak.. aku hampir dilabrak isteri om Wempy di lokasi shooting, untungnya aku cukup mawasdiri.” ucap Sinta pandangannya ke televisi yang ada di kamarnya. “Kok bisa? Emang dia tahu kamu shooting di mana?” tanyaku.Sinta ceritakan kronologisnya mulai dari awal sampai akhir, dan dia merasa bersyukur aku kasih tahu agar waspada saat itu. “Aku gak tahu deh kalau om gak kasih tahu aku sebelumnya, mungkin aku sudah kena labrak.”“Tapi sekarang udah gak kan? Karena om sudah kasih tahu Clara juga, agar dia bisa mendamaikan Papa dan Mamanya.”Sinta mengarahkan tanganku agar memeluknya, diletakkannya tanganku melingkar diperutnya. “Udah gak sih.. o
Radith menemuiku di suatu tempat, dengan berani ya dia mengatakan kalau dia tidak bisa bertanggung jawab terhadap kehamilan Rani. “Om.. apa yang bisa saya pertanggungjawabkan dari kehamilan Rani? Itu kan sebuah kecelakaan!!?” dengan lantangnya dia katakan itu. “Kecelakaan itu kamu penyebabnya Radith!! Apa kamu merasa tidak bersalah atas semua itu!!? aku membentak Radith. Seakan tanpa merasa berdosa dan tanpa adab seorang mahasiswa terpelajar, Radith menantangku, “Terserah om mau bilang apa! Saya tidak akan bertanggung jawab!! Titik!!” jawaban Radith itu membuatku murka, sambil berteriak aku ingin mengajar Radith yang ada dihadapanku. “Kurang ajar kamu!!.. Bajingan!! Kamu Radith!!” Aku tampar Radith dengan penuh emosi, sehingga aku benar-benar kehilangan kewarasan karena tidak mampu menahan amarah. Tiba-tiba aku terbangun karena kepalaku menghantam nakas yang ada di sisi tempat tidur, dan gelas air putih yang ada diatasnya terjatuh. Sehingga memancing keingintahuan isteriku yang
Mimpi Buruk tentang Radith, lelaki yang menghamili anakku masih terus menghantuiku. Aku belum tahu bagaimana mengatur pertemuan dengan Radith. Aku tidak ingin dalam kondisi batin yang penuh amarah saat bertemu Radith. Pertemuan ini akan menentukan bagaimana nasib Rani kedepan. Aku sangat tidak rela kalau Rani bernasib buruk seperti Widarti saat aku tinggalkan begitu saja. Sehingga sampai sekarang hidup Widarti masih belum tenang. Aku harus hargai keberanian Radith mau bertemu denganku, setidaknya dengan demikian dia sudah menunjukkan tanggung jawabnya. Aku menelepon Rani untuk menanyakan di mana Radith ingin bertemu, “Hallo Ran.. kamu atur di mana Radith mau ketemu Papa. Kapan dia bisa ketemu Papa.”“Radith sih siap kapan pun Papa mau bertemu, dia serahkan semuanya pada Papa.” sahut Rani. Aku merasa kalau Radith cukup ‘gentleman’ dan sangat terbuka untuk berunding. Aku harus hargai keseriusannya, namun mimpi buruk itu terus membayangi dan menghantuiku. Aku tidak ingin apa yang ada
Keesokan harinya setelah satu masalah terselesaikan, aku menunaikan janji untuk bertemu dengan Adriana. Tadinya Adriana mengajakku untuk bertemu di apartemen, tapi aku keberatan. Aku tidak ingin pertemuan tersebut diketahui pak Anggoro. Menurut pertimbanganku, apartemen itu wilayah privat pak Anggoro dan Adriana. Akhirnya disepakati pertemuan tersebut dilakukan disebuah hotel. Adriana terlebih dahulu check in di hotel tersebut, dan aku menemuinya. Aku mengetuk pintu kamarnya, saat pintu kamar terbuka Adriana yang hanya mengenakan ‘lingerie,’ dia menyambut dengan pelukan hangat. “Sampai kangen sama Om.. “ ujar Adriana sembari mengajakku ke tempat tidur. Adriana terus memelukku sampai ke tempat tidur. Aroma wangi parfum khas Adriana membangkitkan kerinduanku padanya. “Kamu gak ada janjikan dengan pak Anggoro hari ini?”“Ada om.. tapi nanti malam, sekarang sih aman.”Aku bersandar di kepala tempat tidur, dan Adrian duduk di sisi kananku sambil bersandar di dadaku. “Noni gimana kabarn
Kalau biasanya Adriana minta aku perlakukan seperti Noni, kali ini Adriana kembali seperti aslinya yang buas dan garang di atas ranjang. Adriana memegang kendali penuh, aku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Hanya mengikuti keinginannya yang sedang terbakar gairah dan amarah. Gerakan-gerakan Adriana begitu liar meliuk-liukkan tubuhnya di atas tubuhku. Tubuhnya yang bersimbah keringat bak butiran mutiara yang menaburi tubuhnya. “Kok kamu seperti kesurupan gitu, Dri..” ucapku disela-sela nafas yang tersengal. “Bodo deh om.. aku harus beringas om..”Seakan tidak memberikan kesempatan bagiku untuk jeda sejenak, Adriana mempercepat ritme liukannya. Aku merasa kalau dia sudah ingin mencapai puncak pelepasan, aku biarkan dia tetap pada posisi di atas. “Om.. ayo!!” Aku pun meresponnya dan memacu gairah yang hampir tumpah. Sejenak kemudian Adriana terkulai dan merebahkan diri di sisi tubuhku. “Aku.. puaaas om, semua terlampiaskan.. “ ujarnya dengan nafas masih tersengalSekujur tubuh
Aku buru-buru meninggalkan apartemen Adriana begitu tahu pak Anggoro akan menemui Adriana. Aku takut berpapasan dengan pak Anggoro saat keluar dari apartemen Adriana. Saat aku keluar dari lift, sekilas terlihat pak Anggoro baru turun dari mobilnya di depan lobby. Aku menghindar dengan buru-buru menuju ke toilet dan masuk ke dalam bilik toilet sejenak. Setelah merasa aman, barulah aku keluar dari toilet dan menuju pintu keluar. Hatiku begitu lega setelah menjauh dari apartemen dan segera kembali ke kantor. Sebelum masuk ke kantor, aku mampir di Cafe yang ada didekat kantor. Saat itu suasana di Cafe itu sangat sepi, hanya ada dua orang tamu di dalam Cafe. Di sudut Cafe aku melihat seorang gadis seumuran Noni sedang sibuk dengan laptopnya. Di sudut lain, ada seorang bapak-bapak seusiaku yang sedang asyik dengan ponselnya. Kadang dia tersenyum sendiri sambil menatap ponsel yang ada di tangannya. Aku memilih duduk di dekat jendela agar bisa memandang keluar. Aku membuka ponselku dan me
Sinyal yang diberikan Anya untuk kencan sangatlah nyata, hanya tinggal waktu untuk eksekusinya. Aku sudah berencana untuk mengajaknya ckeck in di hotel dan Anya sendiri tidak keberatan. Baru saja aku dan Anya ingin meninggalkan Cafe, tiba-tiba ponselku ada nada sambung masuk. Tertera nama pak Anggoro di layar ponselku, aku berdebar ingin mengangkatnya. Ada ketakutan menyelinap di hatiku, aku khawatir pak Anggoro tahu kalau aku baru saja ketemu Adriana. “Ya pak.. ada yang bisa saya bantu pak?”“Pak Danu di mana? Bisa ketemu sekarang gak?”“Saya lagi ngopi di Cafe sebelah kantor pak... Bisa pak, saya segera ke kantor.” Aku menyudahi pembicaraan dengan pak Anggoro. Kencanku dengan Anya terpaksa aku batalkan. “Anya.. lain waktu aja ya kita ketemu, om harus balik ke kantor.”“Okey om.. gak masalah kok. Nanti aku telepon om kalau aku mau ketemu.” Ujar Anya. Dengan tergesa-gesa aku tinggalkan Anya, aku beranjak menuju ke kantor. Di dalam ruang kerja pak Anggoro, beliau sedang melamun sen