Saat aku terbangun selepas Ashar, aku membuka chat pada pesan masuk. Widarti membalas pesanku, [Mas Danu.. aku sudah telepon Noni beberapa hari yang lalu, maaf aku melanggar ucapanku sendiri. Aku sangat rindu pada Noni mas.. makanya aku telepon dia. Aku gak sanggup bicara sama Noni mas, kami hanya mengumbar tangis. Tidak banyak yang bisa aku ucapkan, Noni juga begitu.. Syukurlah kalau Noni sudah bertemu jodohnya, tetaplah seakan-akan jadi orang tua kandungnya mas..] Cukup panjang balasan dari Widarti, aku bisa membayangkan seperti apa perasaannya sebagai ibu. Tapi, aku juga yakin kalau dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena suaminya tidak ingin Widarti berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia. Aku kembali mendesak Widarti tentang siapa ayah biologis Noni sebenarnya, aku kembali membalas pesannya. [Wid.. aku mohon, tolong beri tahu aku siapa ayah biologis Noni? Aku perlu tahu ini, karena aku tidak mungkin berhak menikahkannya. Yang paling berhak adalah ayah kandungnya.]Itulah
Saat sarapan pagi aku masih menunggu jawaban dari Widarti, tapi belum ada balasan dari Widarti. Masalah wali nikah Noni masih menjadi topik pembicaraan kami di keluarga. Isteri dan anak-anakku mempertanyakan hal itu. “Kalau tidak salah berdasarkan hukum pernikahan, kalau anak perempuan belum berusia 21 tahun, wajib minta izin pada orang tua kandungnya. Bukan begitu mas?” tanya isteriku. “Iya Sri.. kecuali kalau sudah berusia 21 tahun, tanpa izin orang tua kandungnya gak masalah. Nah.. Noni baru berusia 20 tahun saat ini.” Jawabku. Aku jelaskan juga, kalau pun bukan orang tua kandungnya yang menjadi wali nikahnya, setidaknya keluarga laki-laki dari ayah kandungnya yang berhak menjadi walinya. Sementara aku sendiri bukanlah siapa-siapanya Noni, dan ini pun nantinya harus aku jelaskan pada Noni. Suka tidak suka, Noni harus bisa menerima kenyataan itu. Inilah hal yang juga perlu aku jelaskan pada Widarti juga nenek. Persoalan ini sangatlah menguras pikiranku, yang pada kenyataannya bu
Saat istirahat jam makan siang aku menemui Clara di apartemennye. Alamat yang diberikan Clara di sebuah apartemen yang berada dikawasan yang cukup elite. Aku tidak aneh melihat kondisi itu, karena aku tahu latar belakang orang tuanya yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Protokoler untuk masuk ke apartemennya pun cukup ketat, sangat sesuai dengan situasi dan kondisi apartemennya. Setelah aku pencet Bell kamarnya, sejenak kemudian Clara membuka pintu dan dia langsung memelukku dengan menumpahkan airmatanya. Begitu pintu ditutup aku tanyakan pada Clara, “Ada apa Clara? Kok kamu sampai begitu bersedih?” tanyaku. Kami ngobrol di sofa ruang tamunya, Clara melepaskan pelukannya, “Orang tuaku om.. Papa dan Mama ribut besar, Papa ketahuan selingkuh dengan gadis seusiaku..” Ucap Clara dengan berurai airmata. “Lah.. itukan hal yang biasa aja Clara, buktinya om juga berhubungan sama kamu. Biasa toh?”“Tapi masalahnya om belum pernah ketahuan keluarga kan? Nah.. kalau Papa sudah sering
“Gak seru nih respon om Danu!! Gak jadi deh, mood aku hilang om!!” Ujar Clara sembari bangkit dari pangkuanku. “Om lagi ada masalah ya? Kok gak seperti biasanya?” tanya Clara. Pikiranku memang sedang tertuju pada Sinta, aku harus kasih tahu Sinta tentang ancaman Mama Clara. Namun, aku belum tahu cara apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku pamit ke toilet, hanya dengan cara itu aku bisa kasih tahu Sinta. “Sebentar Clara.. om harus ke toilet dulu ya.” Aku buru-buru ke toilet didekat kitchen. Di dalam toilet aku telepon Sinta, “Hallo Sinta.. sebaiknya kamu ngacir dulu dari apartemen, kamu dalam posisi berbahaya.” Ucapku dengan nada sedikit berbisik. “Emang kenapa om?” tanya Sinta. “Nanti kamu om telepon..” sahutku. Aku segera akhiri pembicaraan dengan Sinta. Keluar dari toilet saku hampiri Clara, “Sorry Clara.. om kebelet barusan.” Clara sepertinya semakin buruk moodnya, tidak ada respon yang berarti dari Clara. Aku tahu kalau Clara sangat kecewa, karena semua di luar ekspektasiny
Pulang dari apartemen Clara aku minta Sinta menemuiku di Cafe dekat kantor. Sengaja aku tidak mengajak Sinta bertemu di hotel atau tempat tertutup lainnya. Aku tidak mungkin memanfaatkan Sinta dalam situasi dan kondisi yang sedang mengancamnya. “Sinta.. lelaki yang kamu kencani itu sekarang sedang bermasalah dengan isterinya. Makanya om minta kamu tinggalkan apartemen.” Aku jelaskan itu pada Sinta. “Om tahu dari mana masalah ini? Kok tiba-tiba om tahu aku sedang terancam?” tanya Sinta. Aku katakan pada Sinta bahwa aku baru saja bertemu dengan Clara, anak dari lelaki yang menjadi selingkuhan Sinta. Aku ceritakan semua kronologis pertemuanku dengan Clara. “Clara memperlihatkan pada om foto kamu lagi bermesraan dengan Papanya. Awalnya om gak bilang kenal sama kamu.”“Reaksi Clara gimana om saat melihat foto itu?” tanya Sinta“Dia sangat marah.. dia takut terjadi sesuatu dengan Papa dan Mamanya. Clara ini anak broken home Sin..”Aku ceritakan perkenalanku dengan Clara di kereta api, s
Aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan di kantor. Membantu Clara dan Sinta cukuplah hanya sebatas itu saja, aku tidak ingin melibatkan diri terlalu jauh. Selalu ada masalah yang aku hadapi, aku sadari sepenuhnya itu adalah manusiawi. Tidak ada manusia yang tidak memiliki masalah, tergantung bagaimana menyikapinya. Saat aku sedang menginventarisir pekerjaan kantor yang masih tertunda, ada pesan masuk di aplikasi percakapan dari Widarti, [Maaf mas Danu kalau aku mengganggu.. Aku mau minta pendapat mas, rumah tanggaku udah gak bisa dipertahankan lagi. Dalam waktu dekat aku akan bercerai dengan suamiku dan aku akan pulang ke Indonesia tanpa membawa anak-anak.. Gimana menurut mas Danu? Aku tunggu jawabannya ya..]Itulah pesan yang dikirimkan Widarti, aku rasanya susah untuk memberikan masukan. Tapi, aku tidak ingin Widarti mengulangi perbuatan yang pernah dilakukannya terhadap Noni. Sekarang dia kembali ingin meninggalkan anak-anaknya hanya demi memenuhi egonya. Aku segera membala
Saat aku sedang bicara dengan Noni di telepon, pak Anggoro masuk ke ruang kerjaku, “Maaf pak Danu.. bisa saya bicara sebentar?” tanya pak Anggoro. “Bisa pak.. “ Jawabku. Aku segera mengakhiri pembicaraan dengan Noni, aku jelaskan pada Noni bahwa pak Anggoro ada di ruang kerjaku. “Apa yang bisa saya bantu pak?” tanyaku pada pak Anggoro. “Gini pak Danu.. Adriana mau ke Bandung, cuma saya gak percaya kalau dia pergi sendiri. Bisa gak bapak temani dia besok?” Mendengar permintaan pak Anggoro, hatiku langsung ‘berceket’ Jangan-jangan Adriana adalah benar Adri yang disebutkan nenek. Aku menyanggupi permintaan pak Anggoro, “Bisa pak.. saya bisa temani Adriana. Memangnya ada urusan apa Adriana di Bandung pak?”“Katanya sih mau cari alamat neneknya di Bandung, karena neneknya ingin ketemu dia.” Jawab pak Anggoro. Jawaban pak Anggoro itu semakin memastikan dugaanku kalau Adriana adalah Adri yang dirindukan neneknya Noni. “Naik apa kira-kira ke Bandungnya pak? Apa naik mobil kantor?”Pak A
Adriana mungkin tidak menyangka kalau Noni yang sering aku ceritakan padanya adalah Noni saudara sepupunya, temannya semasa kecil. Sementara Noni hampir menduga kalau Adri yang dimaksudkan neneknya adalah Adriana yang sering aku ceritakan padanya. Hanya saja Adri yang dia tahu ada tanda dibahu kanannya, dan tanda itu tidak aku ketahui ada pada Adriana.Setelah melalui perjalanan kurang lebih dua jam, kami sampai di kota Bandung. Aku sengaja pura-pura mencari alamat nenek Adriana melalui map di ponsel, karena aku sengaja ingin memberikan kejutan pada Adriana. Mungkin kalau sudah sampai di depan rumah neneknya Adriana masih ingat, karena di rumah itulah dia pernah bermain dengan saat mereka masih kecil.Sesampainya diwilayah sekitar rumah neneknya, Adriana seperti mengingat-ingat sesuatu, “Om Danu.. ini sudah mau sampai rumah nenek ya?” tanya Adriana.“Kenapa Dri? Emang kamu masih ingat rumah nenek kamu?” tanyaku.Begitu mobil sampai di depan rumah nenek Adriana kembali ingat dengan mas