Mila menggelengkan kepalanya. Ia merasa tak butuh AC di kamar. Karena hawa di rumahnya sudah cukup sejuk. Kalau pun gerah ia hanya cukup pakai kipas angin biasa. "Bisa jadi ibu lebih nyaman ketika pakai AC. Di ruangan ini pakai AC mobil Anda apa pakai AC juga?" tanya dokter lagi.''Iya, Dok," jawab Rian cepat."Nah, kalau memang memungkinkan di rumah terutama di kamar dipasang AC agar bisa memudahkan ibu hamil ini agar mengurangi rasa mual yang berlebihan. Kasihan juga kalau sampai tak ada asupan 'kan? Apalagi ibu hamil harus memenuhi nutrisi yang baik untuk dirinya dan juga anak yang ada di dalam kandungan," jelas dokter.Rian hanya tersenyum. "Ini saya resepkan vitamin saja. Karena memang tak membutuhkan obat. Jaga nutrisi yang baik terutama buah dan sayuran agar bisa memenuhi kebutuhan asam folat dan nutrisi lainnya," jelas dokter.Rian merasa lucu. Ternyata ngidam wanita hamil tak bisa diduga. Permintaan pemasangan AC saja. Baginya tak sulit lah. Setelah mengambil obat di apotek
Setelah berkeliling cukup lama mereka hanya menemukan orang yang menjual bakso saja tanpa ada es degan. Mengingat juga sudah malam. Akhirnya Mila memilih turun di salah satu kedai panggil jalan yang menjual bakso raksasa. "Kita turun di sini saja yuk!" ajak Mila.Rian kemudian menepikan kendaraan nya. Terdapat tulisan bakso raksasa di depan kedai yang cukup ramai pembeli itu. Rian kemudian hendak memesan. Tetapi jawaban penjual bakso tersebut membuat Mila menjadi merengut. "Yah, kenapa habis sih? Sudah jalan lama juga," keluhnya.Dengan perasaan kesal akhirnya Mila kembali ke mobil. Rian menawarkan untuk membeli makanan yang juga Mila tetap nggak mau. Akhirnya Rian mencoba mencari pedagang bakso yang mungkin masih buka. Setelah cukup lama berjalan akhirnya Rian melihat asa penjual bakso dorong yang seperti nya masih ada.Rian tak langsung mengajak Mila turun. Ia lebih dahulu untuk bertanya kepada penjual bakso apakah masih ada dan ternyata masih. Belum juga Rian mengajak Mila turun te
Rian sebenarnya cukup lelah dan ingin segera istirahat tetapi ia tak mungkin mengatakan hal itu. Ia tetap menjaga perasaan Mila. Pasti Mila telah menunggu dirinya sampai pulang dan ingin melakukan hal itu dengannya."Tapi aku belum dapat yang pas. Tunggu dulu, ya?" sahut Mila.Rian memilih untuk duduk tidak jauh dari Mila berada. Ia hanya memperlihatkan istrinya yang sedang sibuk memilih baju. Dan ternyata belum ada yang cocok. Mila kemudian dengan wajah ditekuk menghampiri Rian. "Nggak ada yang cocok," ucapnya."Terus kita mau kemana? Pulang?" tanya Rian."Aku mau ke pasar saja deh. Kayaknya kalau di pasar lebih banyak pilihannya juga," jawab Mila dengan semangat.Rian hanya menggelengkan kepalanya. Ia masih berpikir dimana pasar yang masih buka sampai malam. Ia melirik kini telah pukul tujuh malam. Mila yang awalnya semangat mau ke pasar begitu melihat suaminya menguap-nguap merasa tak tega. "Kita pulang saja, yuk!" ajak Mila."Loh, kenapa? Kita cari pasar yang buka malam, Sayang,
"Kok mendadak sekali? Memang ada apa?" tanya Pak Seno."Nggak ada apa-apa kok, Yah. Lagipula ini sebenarnya sudah direncanakan sejak Mila masih hamil satu bulan. Dia minta mau ke kampung. Tapi menunggu dulu sampai kandungannya lebih besar. Dan tadi dia nasihat lagi. Jadi ya sudah aku akan mengajak Mila ke sana besok sekalian izin untuk hari senin besok cuti," jelas Rian.Pak Seno menegakkan posisi duduknya. "Ayah kira kenapa. Ya sudah nggak apa-apa. Tapi kalian jangan menyetir sendiri! Biar Pak supir saja yang akan mengawal kalian. Kamu hanya fokus menjaga Mila saja," tuturnya."Baik, Yah. Kalau begitu saya pamit ke kamar lagi membantu Mila mengemas," pamit Rian.Keesokan harinya masih gelap sekitar pukul empat pagi, Mila dan Rian sudah siap untuk berangkat. Mereka memilih berangkat lebih pagi untuk menghindari kemacetan di jalan dan agar lebih cepat sampai juga.Setelah berpamitan kepada ayah ibu, Mila dan Rian kemudian masuk mobil dan sudah siap untuk berangkat. Bu Yuni telah membe
"Masmu, Wega, hutang kepada rentenir nggak bilang sama ibuk sama bapak. Sekarang Mas mu dan Bapak mu harus bekerja di peternakan sapi di rumah rentenir selama lima tahun tanpa digaji," jelas ibunya Rian. Netranya sudah basah dan mengeluarkan cukup banyak cairan.Rian tercekat dengan penjelasan ibunya. Padahal mereka ingin pulang kampung dan menghabiskan waktu di kampung dengan senang tetapi kenyataannya jadi seperti ini."Berapa hutang Mas Wega, Bu?" tanya Rian. Mas Wega adalah kakak tertua dari Rian. Anak bawaan dari ibunya Rian. Jadi masih saudara tiri dari Rian."Sekitar seratus juta. Tetapi bunga nya yang tinggi membuat hutangnya sampai banyak sekali " jawab ibunya Rian.Rian menelan saliva. "Untuk apa Mas Wega meminjam uang sama rentenir, Bu?" tanyanya."Katanya Wega, dia pinjam uang untuk menebas kebun jeruk. Tetapi setelah ditebas ternyata orang yang membeli menipu dan akhirnya Mas mu yang rugi dan harus mengembalikan uang rentenir dan karena nggak bisa Mas dan juga Bapakmu ke
"Wah, banyak juga uangmu. Kalau cepat mengembalikan begini 'kan kamu nggak usah capek-capek kerja di peternakan," ucap rentenir dengan menyunggingkan bibirnya. Ia masih menghitung banyaknya uang yang ada di depannya. "Oke, jumlah nya cukup. Kapan-kapan, Wega suruh hutang yang banyak biar aku juga bisa untung banyak."Bapaknya Rian dan Rian segera meninggalkan tempat rentenir tersebut. Namun, di sana Wega masih terdiam. Segera Bapaknya Rian mengajak untuk ke rumahnya sekarang juga.Sebelum menuju ke rentenir, Rian mengajak Bapaknya mencairkan uang terlebih dahulu. Sehingga butuh waktu. Di rumah Bapaknya Rian. Wega masih menunduk. Seperti ada rasa bersalah di wajahnya."Wega, lain kali kalau hutang dipikirkan dulu! Oke memanG kebun jeruk bisa menghasilkan cukup banyak hasil. Namun, perlu dikira-kira juga kapasitas kita," tutur Bapaknya Rian. Wega juga masih menunduk. Rian dan Mila hanya menyimak. Untuk sementara mereka memilih tak ikut campur. "Sekarang kamu berterima kasih sama Mil
"Iya, ini adalah istriku. Dia hamil," jawab Rian kemudian menunjuk ke arah Mila.Mila menyapa dengan senyuman kemudian mengulurkan tangan dan ingin berjabat tangan. Tetapi tangan Mila tak disambut oleh Ajeng. Segera Mila menarik lagi tangannya. "Mas Rian kok tiba-tiba menikah? Apa di kota Mas Rian hamil duluan?" tuduh Ajeng.Mila tak terima dituduh seperti itu. "Maaf, aku mau masuk dulu." Ia kesal dengan Ajeng. Padahal sejak tadi ia merasa senang tetapi kehadiran Ajeng membuat rusak moodnya. Masuk ke dalam rumah wajah Mila masih kusut dan ternyata diketahui oleh bapaknya Rian. "Mila, kamu kenapa?" tanyanya."Itu, Pak. Masa yang namanya Ajeng menuduh aku hamil duluan," jawab Mila dengan wajah ditekuk.Bapaknya Rian tersenyum. "Oh, biarin saja. Kadang omongan orang yang nggak benar memang tak harus ditanggapi.""Tapi 'kan sebel, Pak. Asal nuduh saja," gerutu Mila. Rian baru muncul dari belakang."Sudah ngobrolnya sama Ajeng?" tanya Mila kesal. "Sudah, Sayang. Jangan dimasukkan hati!
"Iya, memang air di sini cukup dingin. Ayo setelah ini kita sarapan!" ajak Rian. Tak butuh waktu untuk dandan Mila langsung duduk di samping Rian. Mila melihat menu yang cukup berbeda dengan biasanya ia santap di kota. "Ini apa?" tanyanya."Ini adalah sayur pakai sambal. Kata ibuk tadi bilang punya mu yang ini. Ini yang nggak pedas. Sedangkan yang ini pedas," jawab Rian seraya menunjukkan cobek yang ada dua. Mila masih belum tahu. Tetapi kalau ibu mertuanya menyiapkan sejak kemarin memang disarankan nggak pedas. Tetapi Mila justru penasaran yang pedas itu. Tanpa persetujuan Rian ia langsung mengambil satu sendok sambal pedas."Loh, ini pedas, Sayang," cegah Rian. Tetapi Mila kekeh mengambil dan langsung melahap itu. Matanya langsung berkaca-kaca. Mulutnya terbuka sempurna. "Hah, ini pedas banget. Aku kira pedas biasa tetapi bikin nagihin nih.""Jangan, Sayang! Lebih baik kamu pilih yang pedas tuh. Kasihan anak kita nanti makan kepedesan," tutur Rian.Mila akhirnya menurut. Ia campu