Arsen hampir tak percaya kalau pada akhirnya dia bisa mendengar suara Allice lagi. Mulutnya bahkan tak bisa berucap apapun ketika telinganya masih mendengar voice note yang Allice kirim. Serindu ini dia pada istrinya. Mata Arsen mengerjap karena mulai basah saking bahagianya. Tapi rasa rindu dan rasa syukur sebab istrinya benar-benar masih ada di dunia ini, atensi Arsen teralihkan setelah dia mencoba fokus mendengarkan isi dari pesan suara Allice. “Mafia? Oscar Reinhard?” Arsen mengulang lagi voice note dari yang paling atas lalu mendengarkan dengan cermat. Setidaknya saat ini Arsen memiliki waktu untuk menghubungi Darren sebelum posisinya semakin dekat menuju perairan yang dituju. Arsen duduk di sisi ranjang. Dia lebih dulu ingin melepas rasa rindunya dengan mengirim voice note balik pada Allice. “S-Sayang, kamu tidak tau sebahagia apa aku mendengar kalau kamu masih hidup. Aku janji akan segera mengirim bantuan untuk menyelamatkanmu dari pulau itu. Tunggu aku, Sayang. Aku sanga
Laut yang tenang seolah menyembunyikan misteri di balik gelombangnya yang lembut. Arsen merasa gugup dan tidak sabar, ia sudah dua hari berlayar bersama anak buahnya untuk mencapai pulau misterius itu. Jarak antara lokasi titik dan dirinya semakin dekat, membuat detak jantungnya semakin kencang.“Kita harus hati-hati. Pulau disana adalah markas mafia berbahaya," ujar Arsen pada Deri, anak buahnya yang setia.Arsen tengah memperhatikan pulau dari teropong di tangannya. Dahinya berkerut setelah tau kalau benar-benar ada bangunan semacam mansion di sana. Padahal kalau dilihat dari peta, pulau ini tidak terdeteksi.“Persiapkan diri dengan baik. Pastikan senjata dan kesiapan fisik kita dalam kondisi maksimal,” sambung Arsen.“Iya, Tuan. Tadi saya sudah memeriksa senjata dan menyusun strategi pertahanan sesuai dengan yang Tuan perintahkan kemarin kepada anak buah lain. Kita siap menghadapi segala kemungkinan di pulau tersebut,” jawab Deri dengan sangat mantap.Arsen memberikan teropong di t
“Berhenti! Siapa di sana?" Suara itu membuat Arsen langsung berjongkok di balik batu besar tepi pantai, mencoba menyembunyikan dirinya dari penjaga yang berjaga di sana. Dalam ketegangan, Arsen mengintip dengan hati-hati dari balik batu, berharap penjaga itu tidak melihat keberadaannya. “Dia sempat melihatku,” bisik Arsen terus waspada. Dia juga mencoba melihat penjaga lain. Rupanya mereka masih jauh. Hanya satu penjaga yang kemungkinan sempat melihatnya ketika berpindah dari satu batu ke batu lainnya. Penjaga itu perlahan mendekat, langkah kaki terdengar semakin jelas. Arsen merasa jantungnya berdegup kencang, berharap dirinya tidak ketahuan. Dalam hitungan detik, kedua mata mereka saling bertemu. Arsen melihat penjaga itu hendak menembakkan pistol ke arahnya, dan dia tahu saat itu adalah saat yang tepat untuk bertindak. Dengan gerakan cepat dan tenaga yang terkumpul, Arsen menarik penjaga itu ke belakang batu besar dan menutup mulutnya dengan erat, mencegah teriakan yang mungki
Mata Allice membulat saat dia bisa melihat kalau orang yang sedang menahannya di dinding dan membungkamnya adalah seorang pria. Meski lampu masih mati, siluet itu terlihat jelas. “Mmmmh!” Allice terus meronta. Dia takut kalau orang ini akan memperkosanya. Bisa saja kan? Pria-pria disini seram-seram. Kaki Allice yang tadinya tak bertenaga, kini justru dia gunakan untuk menendang alat vital pria itu. “Akh!” pekik pria itu membungkuk sambil memegang bekas tendangan Allice sambil kesakitan. “Allice ....” Allice terdiam mendengar suara yang sudah lama dia rindukan. Dengan penuh harap, semoga tebakannya tidak salah. Allice segera menyalakan lampu kamar. Kedua tangan Allice menutup mulut mulutnya yang terbuka setelah melihat kalau memang Arsen yang ada disini. “A-Arsen?” “Ssshh ... Sayang ....” Allice mengeluh sakit. Wajahnya terlihat sangat manja. Alih-alih peduli dengan hasil tendangannya tadi. Allice justru masih terkejut dengan kemunculan sang suami tiba-tiba. Dia mendekat lalu m
Allice mengerjap perlahan saat terbangun dari tidur nyenyaknya. Namun ketika teringat pertemuannya dengan Arsen semalam. Dia langsung terkesiap.“A-Arsen?” panggil Allice sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.Kosong.Apa ini mimpi? Apa Arsen hanya muncul di mimpinya? Namun ketika dia menyingkap selimut hendak turun dari ranjang. Allice baru sadar kalau dia tidak memakai sehelai benang pun. Bahkan kulit putih halusnya kini terdapat banyak sekali bekas kiss mark.“Sayang, kamu bisa ambilkan baju milik Hexa?”Arsen tiba-tiba muncul dari kamar mandi memakai baju penjaga yang semalam digunakan.“Arsen.” Allice berdiri lalu memeluk sang suami.“Hei, kamu kenapa?” lirih Arsen sambil menangkup kedua sisi wajah Allice. Wanita itu menangis lagi.“Aku tadi takut kalau ternyata kejadian semalam hanya mimpi,” rengek Allice dengan sisa tangisan kecilnya.Arsen tersenyum kemudian mengecup bibir itu singkat.“Aku disini. Aku yang akan mengajakmu kembali,” ujar Arsen begitu yakin.Allice baru bi
Suara ketukan Salma di pintu kamar membuat Allice terperanjat. Dengan cepat, ia meminta Arsen bersembunyi di kamar mandi sebelum membuka pintu untuk Salma. Wajah kepala pelayan itu menampakkan rasa curiga saat memasuki kamar Allice."Sejak semalam ada penyusup," ungkap Salma dengan tatapan yang semakin menyelidik."Penyusup? Siapa?" tanya Allice gugup, berusaha menyembunyikan kepanikan yang menggelayut di hatinya.Salma tersenyum miring, matanya mengamati setiap sudut kamar dokter itu, mencari tanda-tanda keberadaan penyusup.Allice mencoba mengalihkan perhatiannya dengan berkata, "Aku tadi ke kamar karena perutku kurang nyaman. Kalau kamu cari penyusup, aku tidak menemukannya di kamarku."Salma masih belum puas, ia melanjutkan pengamatannya. Ya, dia curiga pada Allice ketika wanita itu ijin ke kamar sambil membawa piring berisi nasi dengan porsi yang lebih banyak dari biasanya. Bukankah orang kalau perutnya sedang bermasalah pasti malas makan?“Frank!” panggil Salma.Kepala penjaga y
Di tengah pulau yang dikuasai mafia, kebun yang hijau dan subur menjadi sumber harapan bagi Hexa untuk menyelamatkan Lucetta dengan cepat.“Aku yakin akan bisa menyembuhkannya segera dan kami bisa bebas dari pulau ini.” Hexa menarik nafas sesaknya.Sungguh dia sangat merindukan Dhea dan juga keponakannya. Mereka pasti sangat bersedih karena masih menyangka dirinya sudah tiada.Dengan kaki yang masih sedikit pincang karena luka belum 100% sembuh. Hexa mulai mencari. Diedarkan pandangan. Tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh di sana bervariasi, menciptakan semacam hutan mini yang tersembunyi. Daun-daun hijau yang segar bergoyang lembut diterpa angin, menghasilkan suara desiran yang menenangkan. Beberapa bunga yang mekar menambahkan sentuhan warna pada kebun, mengeluarkan aroma yang harum dan menenangkan.Dia mencari tumbuhan yang dapat dijadikan aromaterapi untuk merangsang syaraf otak pasiennya agar bisa merespon dengan cepat. Tangan Hexa bergerak lincah memetik daun dan bunga yang ia perlukan
“Aku periksa pasien dulu ya,” ucap perawat lain.Temannya pun mengangguk dan melanjutkan masuk ke ruangan staff untuk mengecek apa yang terjadi di dalam.“Ada orang di dalam?” seru perawat itu mulai melangkah masuk.Namun baru saja dia hendak menoleh ketika ada bayangan dari balik sisi lemari. Sesuatu tertancap di lehernya. Tak lama dia pun pingsan.“Huh! Untung aku sudah mempersiapkan ini,” gumam Hexa setelah berhasil menyuntikkan obat tidur dengan dosis tinggi. Hingga dalam hitungan detik perawat itu tergeletak di lantai.“Wow! Apa yang kamu lakukan?” ujar Arsen keluar dari persembunyiannya.“Hanya membuatnya tidur.” Hexa menarik jarum suntik lalu membuangnya di tempat sampah. Dia pindahkan perawat itu ke atas sofa ruangan.“Sudah selesai?” tanya Hexa menoleh pada Arsen.“Sudah! Aku langsung keluar.”Hexa mengangguk sebagai isyarat kalau mereka memang harus keluar dari sini secepatnya.***Sore ini cukup cerah. Nadya sengaja masuk ke kamar Oscar. Ya, hanya dia dan istri sah Oscar ya