Kalian tim Nadya Oscar atau Nadya Dev niii??
“Kecewa? Kecewa kalau ternyata Nadya berbohong?” tanya Arsen. Sebab temannya itu justru diam saja nampak sedang berfikir.“Bukan, hanya sedang menilai satu hal.” Dev memiringkan tubuhnya ke kanan jadi kini berhadapan pada Arsen. Membuat sang CEO Mahardika Group itu menaikkan satu alisnya melihat wajah Dev yang berubah jadi serius.“Kalau Nadya mengatakan sudah meninggal, berarti memang dia sudah tidak mengharapkan ayah bayi itu kembali,” ujar Dev.“Tsh! Kamu percaya diri sekali.”“Bukan percaya diri. Ini pemikiranku pasti benar. Buktinya dia pergi tanpa mengatakan kehamilannya pada pria itu. berarti dia memang tidak menginginkan pria itu mengakui bayinya.”Dev sampai merentangkan tangannya karena saking menhayati pemikirannya itu.“Jadi?” tanya Arsen.Bahu pria di depan Arsen terangkat. “Yaa ... jadi aku memiliki kesempatan.”Arsen menepuk bahu Dev dengan rasa bangga. Karena pria itu tak menyerah meski wanita yang dicintai sedang hamil anak pria lain.“Seandainya kamu datang lebih awa
“Bagaimana dia saat ini? Kamu mengikutinya setiap saat, kan?”Oscar nampak begitu fokus menelfon anak buahnya yang dia utus untuk menjaga Nadya di Indonesia. Dimasukkan tangan itu ke dalam saku, sedangkan tangan kanan masih menggenggam ponsel yang menempel di daun telinga.Sedangkan sorot tajamnya menatap jauh ke luar, menembus dinding kaca ruang yang ada di lantai 10 gedung pencakar langit miliknya.Bohong kalau Oscar membenci wanitanya. Dia memang sempat terbakar cemburu ketika melihat Nadya bersama seorang pria. Tapi setelah anak buahnya terus memberikan info, rupanya Nadya dan si pria tidak sedekat itu. Hanya sesekali pria itu menjemput Nadya di sekolah.“Jadi mereka memang tidak memiliki hubungan apapun?” tanya Oscar kembali memastikan.Setelah mendapat jawaban yang dia inginkan, bibir pria itu tersenyum kecil. Apalagi setelah panggilan berakhir, Oscar kembali mendapatkan kiriman foto Nadya.Dari kejauhan, wanita itu nampak sedang menyapu halaman rumah. Ada juga foto Nadya yang n
Siang ini begitu terik. Nadya berjalan dari sekolah kelas atas itu menuju ke halte terdekat. Sesekali dia mengusap dahinya yang basah karena keringat.Lama. Tumben. Belum ada bus yang lewat. Padahal kepalanya sedang pusing sejak kemarin. Tubuhnya juga merasa sedikit kurang sehat. Sampai akhirnya sebuah klakson berbunyi. Itu bukan berasal dari bus. Tapi dari kendaraan mewah yang berhenti tepat di depan halte.Bibir Nadya tersenyum tipis. Dia sudah hafal siapa pemilik mobil berwarna hitam itu.“Ibu hamil, bisa-bisanya masih di sini?” Devan, pria itu berlari mendekat setelah keluar dari mobilnya.“Ya, busnya belum lewat. Kamu sendiri ngapain? Ini masih jam kantor,” sahut Nadya.“Kantorku sendiri. Bebas ngapain aja. Termasuk antar kamu pulang.”“Hish, tidak usah. Bentar lagi juga busnya datang.”Devan menggerakkan jarinya di depan Nadya sebagai arti, tidak tidak tidak.“Kamu tahu sendiri kalau naik bus itu risikonya besar untuk kamu yang sedang hamil gede, apalagi cuaca hari ini sangat pa
“Bunuh semuanya! Aku tidak mau ada penghalang dari pihak manapun! Oscar adalah milikku. Selamanya milikku!” Perintah Lucetta pada anak buahnya terdengar begitu tegas di telefon. Dia meminta semua mata-mata Oscar yang ada di Indonesia dilenyapkan. Jangan sampai Oscar mengetahui kalau dia mengunjungi negara ini. Siang itu, Lucetta menunggu di depan rumah duduk di kursi sisi pintu di mana di depannya ada pot. Jadi dari jalan dia tidak terlalu nampak. Dia juga meminta anak buahnya tidak mengganggunya biar dia yang mengurus sendiri. Cukup lama menunggu, akhirnya Nadya pulang. Bibirnya tersenyum miring meremehkan ketika melihat Nadya pulang bersama seorang pria. “Dia benar-benar pel*cur. Sudah hamil anak dari suami orang, masih saja mendekati pria lainnya. Aku yakin kalau pria itu juga sudah memiliki istri,” sinis Lucetta lirih. Seperti yang direncanakan, Lucetta berhasil membuat Nadya terkejut lalu membawanya masuk. Di sinilah mereka berada, ruangan luas yang biasanya sebagai tempat ol
Suara ponsel dari arah lain membuat seseorang melihat ke dashboard mobil. Itu bukan suara dari ponsel miliknya. “Loh? Ini ketinggalan?” Dev akhirnya menemukan ponsel yang tergeletak di kursi samping kemudi. Padahal Dev sudah setengah perjalanan. Tapi dia baru menyadari kalau ponsel Nadya tertinggal di mobil. Netranya melihat ke kanan kiri. Dia sedikit bimbang antara melanjutkan ke kantor karena ada meeting 30 menit lagi. “Tapi bagaimana kalau ada pesanan catering?” tanyanya bermonolog. Tak hanya sekali, namun ponsel kembali berbunyi ketiga kalinya. Oke, Dev memutusnya putar balik. Dia lebih dulu menelfon asistennya atas keterlambatannya ke kantor kemudian membawa mobilnya cepat menuju rumah Nadya. Mobil berhenti di depan rumah seperti biasa. Ketika dia hendak mengetuk pintu, Dev mendengar keributan dari dalam rumah. “Ada apa di dalam?” Tanpa ragu, dia langsung masuk ke dalam rumah. Saat dia memasuki ruang keluarga, kejutan besar terpampang di depan matanya. Dia melihat seorang
Walau lelah, Allice tetap membantu bibi menyiapkan makan malam. Baginya, melayani anak dan suami merupakan asupan energi baginya. Terlebih kalau mereka menyukai apa yang Allice persembahkan pada mereka, termasuk masakan yang disediakan. “Mama!” Anna, si kecil dengan dress rumahan berpita itu datang lebih dulu. “Sayang, Brian sama papa mana?” tanya Allice sembari mengisi empat gelas kosong di meja dengan air putih. “Kak Brian masih nanggung main lego katanya. Paling juga bentar lagi papa gotong ke sini.” Anna sudah nampak lebih tinggi sekarang. Dia duduk dengan mudah di kursi langganannya. Yaitu sebelah kanan kursi tengah milik Arsen. "Mama, tadi Jasmine bilang dia bakal punya adik lho!” ucap Anna dengan wajah ceria, sambil membiarkan Allice mengisi piring dengan nasi dan lauknya. “Oh, ya? Adik kandung? Maksudnya Tante Astri atau adik dari Uncle Hexa?” Allice jadi menghentikan gerakannya menunggu jawaban Anna. Pasalnya Hexa dan Dhea belum menceritakan apapun padanya. “Dari Uncle
Allice duduk dengan tegang di ruang obsgyn rumah sakit tempatnya bekerja. Dia membiarkan teman satu profesinya mengurus hasil dari serangkaian tes yang kembali Allice lakukan. Yaitu mengenai kondisi rahimnya.“Bagaiman Dokter Sesil? Apa hasilnya berbeda dari yang sebelumnya?” tanya Allice dengan wajah gelisah.Dokter wanita itu masih menilai isi kertas yang ada di tangannya. Sampai dia menghela nafas panjang kemudian menggeser hasil tes ke hadapan Allice.“Maaf, Dokter Allice. Hasil tes kali ini menunjukkan kondisi yang serupa dengan sebelumnya. Kehamilan masih akan membawa risiko serius bagi kesehatanmu. Bahkan kondisinya semakin buruk kalau dipaksakan untuk hamil,” ungkap Dokter Sesil.Allice ikut membaca isi beberapa lembar kertas di hadapannya. Raut kecewa tentu terpampang di wajah cantik ibu dua anak itu. “Tapi apakah tidak ada pengobatan lain? Saya ingin memiliki anak lagi, Dok.” Dia kembali menatap dokter di depannya.“Aku paham keinginan kamu, Dokter Allice. Namun, mengingat k
"Kamu yakin akan tinggal di sini?" Dev menatap wanita cantik bergaun sederhana warna tosca di sampingnya ini dengan kedua alis yang saling bertautan. Merasa tidak percaya kalau tempat ini adalah pilihan yang terbaik.Meski sejujurnya kampung kecil yang tergolong sangat terpencil ini berbanding terbalik dengan kehidupan metropolitan, tapi Nadya tetap menganggukkan kepala dengan mantap."Tentu. Kenapa enggak?" Nadya tersenyum penuh keyakinan seakan mengusir kekhawatiran Dev.Laki-laki berkemeja dongker yang setia menemani Nadya ini menghela napas berat. Susah jika seorang perempuan sudah memutuskan, maka tidak ada gunanya berdebat. "Baiklah kalau itu maumu. Aku cuma takut kalau kamu akan kesulitan selama tinggal di desa terpencil seperti ini," ungkap Dev jujur.Sudut bibir Nadya terangkat. Sebelah tangannya menepuk bahu Dev ringan. "Tenang saja. Everything will be okay."Bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya berjaket kulit melangkah ke arah Nadya dan Dev dengan sebuah senyuman