Saat berendam di bathub dengan bath bom yang membuat selurih air berwarna ungu dan berbuih dengan menguarkan aroma harum, Lena memejamkan matanya dan membiarkan pikirannya melayang jauh ke sehari sebelum dia pergi berbulan madu dengan Oliver.Hari itu, pagi-pagi sekali Esme datang bertamu dan segera menemui. Lena untuk memberikan sebuah bingkisan."Ini, kau harus menggunakan ini saat pergi bulan madu nanti. Ini akan sangat berguna untuk membantumu dan Oliver ketika sedang program untuk segera punya anak melalui bulan madu kali ini, " kata Esme seraya meletakan paper bag berisi box berwarna putih itu itu ke atas ranjang tepat di samping Lena."Apa isinya? Kau tak sedang memberiku benda aneh kan?" tanya Lena sedikit curiga."Tidak sama sekali. Itu bukan barang aneh, itu barang yang akan sangat berguna. Memakai itu, aku yakin peluang kalian untuk punya anak akan semakin besar. Pokoknya, yang utama adalah pikiran dan hatimu harus tenang. Kau tak boleh stress, ketika tubuh rileks dan kau b
"Aaaah," Oliver dan Lena mendesah bersamaan saat gelombang kenikmatan mendera keduanya.Sejurus kemudian, Oliver pun menarik dirinya menjauh dari Lena dengan napas terengah-engah dia berbaring di samping Lena dan memeluk istrinya itu erat-erat.Dalam posisi nyaman baginya itu, Oliver menghujami kecupan manis pipi lalu kemudian beralih ke perut Lena seraya berbisik. "Semoga usaha keras yang telah kita lakukan bisa membuat calon anak kita cepat ada disini."Lena merasakan hangatnya pelukan Oliver yang membuatnya merasa aman dan dicintai. Dia tersenyum bahagia saat Oliver kembali mencium pipinya dengan lembut."Terima kasih, Sayang," kata Lena dengan lembut, tangannya meraih tangan Oliver yang memeluknya.Oliver mengangguk, matanya penuh dengan rasa cinta saat dia memandang wajah Lena. "Kita akan melewatkan semua ini bersama-sama, Lena. Aku yakin kita akan memiliki anak. Kamu tak perlu khawatir lagi, Matthias pun pasti akan sangat bahagia jika bisa segera punya adik."Lena tersenyum, mer
"Maafkan aku. Tak seharusnya aku berlarian ketika tubuhku basah kuyup, aku benar-benar ceroboh karena hampir jatuh dan membuatmu cedera seperti ini." Dengan perasaan bersalah, Esme membantu membuka kaos basah yang dipakai Sebastian. Mengelap tubuh pria itu dengan handuk kering sebelum kemudian memasang koyo di bahu pria itu yang cedera karena menarik tubuhnya agar tak terjatuh. "Seharusnya kau tak perlu menarik tubuhku seperti tadi. Seharusnya kau biarkan saja aku terjatuh, mungkin kau tak akan cedera seperti ini." Sebastian mengulas senyum di wajahnya. "Aku baik-baik saja, sungguh. Bahuku hanya sedikit keseleo tapi itu bukanlah hal yang perlu kau khawatirkan. Kau sudah menempelkan koyo dan itu akan segera membuatku merasa lebih baik," ujarnya berusaha menenangkan Esme. Sebab, saat ini perrempuan itu menatapnya dengan kedua mata yang bekaca-kaca, siap menangis karena merasa bersalah. "Kau tak boleh berbohong tentang kau yang baik-baik saja padahal rasanya pasti bahumu sakit sekali."
Sarah diam-diam memperhatikan Sebastian dari meja kerjanya. Ruangan di divisi ini hampir kosong karena semua orang sudah pergi makan siang, kecuali Sarah dan Sebastian yang tampak masih sibuk dengan komputernya."Pak Sebastian, apa anda tidak pergi keluar untuk makan siang?" tanya Sarah yang dengan berani tanpa sekalipun merasa canggung. Dia dengan percaya diri berjalan masuk dan mendekat kearah meja Sebastian dan berdiri di hadapan pria itu tak sekalipun peduli dengan sopan santunnya sebagai karyawan baru. "Apa anda sudah makan siang?"Mendengar Sebastian menoleh dengan senyum ramah. "Belum, sebenarnya. Mengapa?"Sarah tersenyum. "Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku baru saja menemukan tempat yang bagus di dekat sini."Sebastian terdiam sejenak, merasa terkejut dengan sikap Sarah yang cukup berani seperti itu, lalu kemudian dia pun mengangguk. "Terima kasih, Sarah atas tawaranmu. Pergilah makan siang sebelum kehabisan waktu, aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku."Sarah
Esme melangkah dengan cepat, nafasnya agak tersengal karena keinginannya untuk menyusul Oliver secepat mungkin. Ketika dia akhirnya berhasil menyusulnya, dia menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Oliver," panggilnya dengan suara yang agak terengah-engah.Mendengar panggilan itu, Oliver berhenti berjalan dan menolehkan wajahnya dengan bingung. "Apa yang membuatmu seheboh ini, Esme?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran dan rasa ingin tahu.Esme tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Oliver, matanya berbinar-binar dengan antusiasme yang hampir sulit untuk disembunyikan. "Aku punya sesuatu untuk Lena," ucapnya, suaranya gemetar karena kegembiraan yang meluap-luap.Mendengar hal itu, ekspresi wajah Oliver berubah menjadi campuran antara keheranan dan kegembiraan. "Apa itu?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang sama seperti yang dirasakan oleh Esme.Esme dengan senang hati menyodorkan kotak kecil yang dibungkus rapi dengan pita warna-warni kepada O
Oliver pulang terlambat malam itu. Langit gelap di luar, dan hanya beberapa lampu di mansion yang masih menyala, memberikan kesan yang tenang dan hangat. Saat masuk ke dalam rumah, Oliver disambut oleh maid yang selalu setia berdiri di dekat pintu dengan senyum ramah."Selamat malam, Tuan Eduardo," sapanya lembut."Selamat malam," jawab Oliver dengan lelah. "Di mana Lena?"Maid itu tersenyum penuh pengertian. "Nyonya Blade sudah tidur di kamar, Tuan. Dia tampak sangat lelah hari ini."Oliver mengangguk, mengucapkan terima kasih singkat sebelum melangkah menuju kamarnya. Lorong-lorong mansion terasa sunyi, hanya terdengar langkah kaki Oliver yang teredam oleh karpet tebal. Dia berhenti sejenak di depan pintu kamar, menghela napas pelan, lalu dengan hati-hati membuka pintu.Di dalam kamar yang remang-remang, lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya hangat yang lembut. Di tempat tidur, Lena tampak terlelap, wajahnya tenang dan damai. Oliver memperhatikan bahwa Lena memeluk kemejany
Pada hari libur yang cerah itu, Esme dan Sebastian duduk di meja makan, memandangi peta besar yang terbentang di depan mereka. Matahari pagi memancar masuk melalui jendela dapur, memberikan kehangatan dan suasana yang menyenangkan. Esme, dengan rambut cokelatnya yang tergerai, tampak bersemangat menunjuk beberapa destinasi di peta, sementara Sebastian, dengan senyum tenangnya, mengangguk setuju dengan beberapa usulan Esme."Bagaimana kalau kita ke pantai ini, Sebastian? Pasirnya putih dan lautnya biru jernih. Pasti menyenangkan," kata Esme dengan antusias, menunjuk sebuah pantai eksotis di peta.Sebastian mengangguk sambil tersenyum. "Itu terdengar sempurna, Esme. Aku sudah lama ingin kembali menghabiskan waktu santai di pantai."Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan perencanaan, Matthew berlari masuk ke dapur dengan wajah ceria. Rambut pirangnya berantakan dan pipinya memerah karena berlari-lari di halaman. Dengan mata yang berbinar-binar, dia langsung bergabung dengan mereka di mej
"Paman Oliver, apa yang kau lakukan!" jerit Lena panik sekaligus marah. Dengan susah payah ia berusaha mendorong tubuh Oliver menjauh, tapi perbedaan tenaga yang terlalu jauh, membuat Lena kalah.Oliver kembali melumat bibirnya dengan sangat kasar dan menuntut. Berulang kali Lena memukul bahu pria itu keras-keras, sembari terus memalingkan wajahnya untuk menolak ciuman itu, tapi pria itu tak memperdulikan pukulan di bahunya, Oliver tetap tak berkutik. Oliver justru mencengkram kedua tangan Lena dan mengunci pergelangan tangan perempuan itu di atas kepalanya, sehingga ia bisa begitu leluasa memperdalam ciuman itu dan semakin membuat Lena merapat ke dinding.Dengan hilangnya jarak antara dirinya dan Oliver, wanita itu tersadar, bahwa pria yang saat ini sedang mencumbunya mengeluarkan aroma alkohol yang sangat kuat. “Oliver! H-Hentikan!” lirih Lena, masih terus berusaha memalingkan wajahnya demi menolak ciuman dari Oliver. Bukan ini yang Lena inginkan. Ia datang ke kamar hotel ini unt