Setelah menikah, Alvaro langsung memboyong Saskia ke rumahnya. Keduanya duduk tanpa bicara dalam perjalanan. Saskia yang merasa gugup sibuk meremas-remas jariku.
"Mobilmu ada di rumah. Kata Hendra kamu suka warna kalem, jadi aku membeli yang berwarna bronze. Apa kamu bisa mengemudi?" Alvaro memecah keheningan."Tidak bisa, Om," sahut Saskia, dalam hati cukup terkejut dengan ketelitian Alvaro yang mau repot-repot mencari tahu warna kesukaannya."Aku akan pekerjakan supir untukmu. Tolong jangan panggil aku 'Om'. Aku suamimu sekarang." Alvaro melirik Saskia dengan wajah tak suka."Terus aku panggil apa?" tanya Saskia bingung."Seperti orang menikah saja. Papa dan Mama," sahut Alvaro acuh.Saskia langsung tersedak mendengar permintaan Alvaro. Saskia mengira akan memanggil Alvaro dengan 'Mas' yang terdengar lebih umum. Panggilan Papa dan Mama biasanya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai, sedangkan mereka? Mereka menikah demi orang lain."Kamu kenapa?" tanya Alvaro. Dia menoleh lalu menyodorkan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. Saskia langsung menghabiskan setengah botol."Nggak apa-apa, Om ... eh, Pa," sahut Saskia setelah berhasil menguasai diri. Lidahnya terasa kaku sekali mengucapkan panggilan itu."Lakukan apapun yang kamu suka di rumahku. Kamu boleh mengganti tema ruangan atau apapun yang kamu inginkan. Namun ingat, jangan ganggu ruang kerjaku." Alvaro mewanti-wanti.Saskia mengangguk tanda mengerti. Alvaro ingin dirinya patuh dan senyap seperti kelinci.Tak berapa lama kemudian mereka sampai di depan sebuah pagar tinggi yang membentang sekian puluh meter. Seorang satpam berdiri dan memberi hormat. Iringan kendaraan masuk ke dalam gerbang yang terbuka secara elektronik lalu berhenti di lobby sebuah rumah bertingkat dua yang sangat besar.Saskia baru saja menjejakkan kaki dan mengagumi rumah besar itu ketika Alvaro ikut turun dan langsung menggendongny ala bridal style. Saskia yang masih memakai kebaya langsung gelagapan, tangannya menggapai-gapai."Tenanglah. Kita sedang direkam," bisik Alvaro. Lelaki itu tersenyum menatap ke depan. Saskia ikut menoleh dan melihat kameramen yang sedari tadi mendokumentasikan pernikahan sedang mengarahkan kameranya kepada keduanya.Saskia ikut bersandiwara. Gadis itu melingkarkan lengannya dengan mesra di leher Alvaro dan memasang senyum terbaik. Alvaro mulai melangkah memasuki pintu depan yang tinggi dan besar. Langkahnya stabil menuju tangga melingkar yang mengarah ke lantai dua.Tanpa terengah-engah, Alvaro membawa Saskia masuk ke dalam sebuah kamar yang sangat luas. Dinding kamar didominasi warna krem muda yang netral. Satu set sofa berwarna putih yang terlihat empuk berada di sudut ruangan.Kamar Alvaro sudah dihias dengan apik. Kelopak mawar merah bertebaran di atas permadani mahal yang mengalasi lantai kamar itu.Di atas ranjang bersusun kelopak mawar berbentuk love. Alvaro menurunkan tubuh Saskia di atas ranjang dengan lembut. Wajahnya mendekat. Tatapan matanya hangat dan bibirnya tersenyum manis. Wajahnya terlihat sangat tampan.Saskia terpukau dan membatu, tersihir oleh wajah tampannya.'Apa dia akan menciumku?' pikir Saskia.Alvaro semakin mendekat. Keduanya bertukar pandang. Saskia merasa terhanyut dalam manik mata Alvaro yang cemerlang. Sang gadis hampir saja memejamkan mata ketika mendadak Alvaro memalingkan wajah."Kurasa cukup, Dam," kata Alvaro pada kameramen yang berdiri di dekat ranjang. Kameramen itu mengacungkan jempol kirinya sambil tersenyum lebar.Alvaro menarik tubuhnya turun dari ranjang. Ekspresinya kembali seperti sebelumnya, datar. Dia mendekati sang kameramen dan ikut menonton video tadi sebentar."Kirimkan videonya ke ponselku," perintah Alvaro."Siap, Bos," sahut sang kameramen sambil terus memperhatikan kameranya. "Istri Anda benar-benar fotogenic, Bos. Aku tak perlu susah-susah mengedit. "Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar pujian itu."Oke. Terimakasih, Dam. Kuharap Kakek puas." Alvaro menepuk bahu sang kameramen. Kameramen mengangguk lalu keluar kamar.Saskia yang masih berbaring di ranjang mendadak merasa seperti orang bodoh.'Apa itu tadi? Syuting iklan kasur?' Saskia berpikir sambil mengangkat tubuhnya ke posisi duduk."Kamu bisa tidur di ranjang. Aku akan tidur di sofa." Alvaro menunjuk sebuah sofa besar di sudut kamarnya."Tapi ini kamarmu. Aku saja yang tidur di sofa." Saskia mencoba membantahnya.Alvaro hanya mendengus. Rupanya dia tipe yang tidak menerima penolakan."Ini nafkah untukmu, saldonya 500 juta rupiah. Jika saldonya tersisa 200 juta, beri tahu aku. Aku akan mengisinya lagi." Alvaro mengulurkan sebuah kartu debit berwarna hitam."Terima kasih." Saskia menerima kartu itu ragu.'Mau kubelanjakan apa uang sebanyak itu? Saldo di rekeningku saja tak pernah lebih dari 10 juta rupiah,' batin Saskia."Untuk keperluan rumah dan lainnya tak perlu kau pikirkan. Ada Pakde Gito yang mengurus semuanya. Resepsi pernikahan akan diadakan dua bulan lagi. Aku harap kamu menjaga penampilanmu, karena resepsi nanti akan dihadiri banyak orang penting."Nada bicara Alvaro datar, terdengar seperti sedang memberi perintah. Mungkin dianggapnya Saskia adalah salah satu anak buahnya."Aku paham," sahut Saskia."Bagus. Aku akan ke kantor sekarang."Alvaro berjalan ke arah pintu kamar, namun berhenti sebelum mencapai ambang pintu."Satu hal yang harus kamu rahasiakan adalah kesepakatan kita. Jangan beritahu Kakek karena itu akan membuatnya tambah sakit," tegasnya. Ditatapnya Saskia dengan tajam. Saskia mengangkat kedua jarinya sebagai simbol janji.Saskia menghabiskan waktu di dalam kamar sambil menelepon ibunya. Seorang pelayan memberitahu kalau makan malam akan dihidangkan pukul tujuh dan semua berkumpul untuk makan bersama.Saskia memilih sebuah gaun terusan sederhana berwarna pink lembut lalu turun ke ruang makan tepat pukul tujuh.Rumah besar itu sepi. Alvaro tinggal bersama kakeknya saja. Kedua orangtuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dalam suatu kecelakaan.Seorang pelayan menarik kursi dan Saskia mendudukinya. Alvaro belum terlihat.Saskia memperhatikan ruang makan yang luas dan mewah itu. Warna dindingnya krem muda dengan aksen emas. Saskia teringat ruang makan di rumahnya yang kecil ketika terdengar suara roda bergesekan dengan lantai mendekat. Kakek Orlando masuk ke ruang makan. Beliau mengambil tempat di kepala meja dan tersenyum lebar kepada Saskia. Sang gadis berdiri lalu mencium punggung tangan Kakek Orlando."Cucu menantuku cantik sekali! Mana Al? Apa dia terlambat lagi?" tanya Kakek Orlando."Aa ... aa ...." Saskia kebingungan menjawab. Dia sendiri tidak tahu di mana Alvaro. Namun suara langkah kaki yang tegas memotong kalimatnya."Aku di sini, Kek. Aku baru selesai rapat dengan Endika Energy." Alvaro mencium punggung tangan kakeknya dengan takzim."Astaga, kamu tetap mengurus pekerjaan di hari pernikahanmu? Kakek sudah bilang untuk cuti hari ini." Kakek Orlando mengomel.Alvaro tak menjawab. Dia duduk di sebelah istrinya. Pelayan mulai menyajikan makanan di atas meja.Kakek Orlando banyak bertanya kepada Saskia. Saskia menjawab dengan bersemangat sedangkan Alvaro makan dengan tenang. Kakek Orlando ramah dan menyenangkan, membuat Saskia langsung merasa akrab dengannya."Kalian akan segera memberiku cicit,, 'kan?" Kakek Orlando menatap Saskia dan Alvaro bergantian. Wajah berumur yang masih menyisakan ketampanan di masa mudanya itu menatap keduanya dengan penuh harap.Saskia tersedak lalu terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Kakek Orlando. Alvaro mengulurkan segelas air sambil mengusap punggung istrinya dengan lembut. Saskia meminum air itu hingga habis. Kakek Orlando masih menatap keduanya, seolah menuntut jawaban. "Kami akan berusaha, tapi Kakek jangan terlalu memaksa. Aku takut Sasi malah jadi stress," sahut Alvaro. Dia menggenggam tangan Saskia yang berada di atas meja. Saskia merasa hangat. Kakek Orlando terkekeh. "Seharusnya kalian pergi berbulan madu. Akan aku belikan tiket ke Swiss. Pergilah dan segera buatkan aku cucu!" ucapnya lantang. "Aku tak ada waktu saat ini, Kek. Kerjasama dengan Endika memerlukan beberapa tahapan penting yang tidak bisa kuwakilkan. Lagipula, resepsi akan diadakan dua bulan lagi. Aku tak ingin Sasi dalam kondisi hamil muda dan kelelahan mengikuti rangkaian resepsi itu. Kudengar Ibu yang sedang hamil muda masih rentan kandungannya. Iya kan, Ma?" Alvaro bertanya sambil meremas tangan Saskia yang berada dalam gengga
"Tidak apa-apa," sahut Saskia sambil membuang muka. Alvaro menatap Saskia selama beberapa saat, lalu sibuk dengan ponselnya. Keduanya sampai di sebuah rumah mewah yang sama besarnya dengan rumah Alvaro. Alvaro berbincang-bincang dengan beberapa koleganya. Saskia yang berdiri di sisi suaminya lama kelamaan merasa jenuh. Dia melihat para tamu mengambil makanan. Perutnya lapar. Saskia mendongak pada lelaki jangkung di sebelahnya yang masih asyik berbincang. Namun Alvaro tidak menyadari gerakannya. 'Bagaimana ini? Tadi dia bilang aku tidak boleh jauh darinya, tapi dia malah asyik sendiri,' gerutu Saskia dalam hati. Kakinya yang tidak terbiasa memakai heels mulai terasa sakit. Tubuhnya pun mulai merasa meriang karena waktu makannya sudah lewat. "Aku akan ke toilet," bisik Saskia pada Alvaro. Alvaro mengangguk tanpa menoleh. Setelah keluar dari toilet, Saskia melihat sekeliling. Ada sebuah sofa panjang di sudut ruangan. Saskia menuju ke sofa itu. Dia ingin mengistirahatkan kakinya yan
"Haa? Kita akan satu ranjang? Kenapa?" Saskia menjengit. Digesernya tubuhnya menempel ke sandaran ranjang karena merasa ada yang aneh dengan tatapan Alvaro. "Aku suamimu, kenapa tidak boleh tidur denganmu?" Alvaro balik bertanya dengan nada tak bersalah. Lelaki itu berbaring di sebelah Saskia. Saskia tak bisa membantahnya. Secara hukum agama dan negara, Alvaro berhak atas Saskia Saskia merebahkan diri dan memunggunginya, dengan harapan Alvaro segera tidur. Saskia berusaha memejamkan mata namun tidak bisa. Saskia merasa punggungnya dipandangi oleh Alvaro. Saskia memindahkan guling yang tadinya dipeluknya lalu memposisikan guling itu di antara dia dan Alvaro. Namun itu tak ada gunanya. Guling itu langsung dilempar Alvaro ke lantai. "Kita tak butuh guling," bisik Alvaro serak di telinga Saskia. Saskia kembali menjengit. Dia tak tahu sejak kapan Alvaro sedekat itu dengannya. Hembusan napas Alvaro membuat bulu kuduk Saskia meremang. Alvaro menempelkan tubuhnya pada Saskia. Saskia mera
Alvaro menghentikan gerakannya. Lelaki itu menghela napas beberapa kali dengan mata terpejam.Saskia menatap wajah tampan suaminya. Saskia tahu, Alvaro kecewa karena dia bukanlah yang pertama menyentuh Saskia. Empat tahun yang lalu, Andry telah melakukannya. Pikiran Saskia melayang, teringat pada malam dia menyerahkan diri seutuhnya pada Andry atas nama cinta dan sebuah janji pernikahan.Mata Saskia mengerjap, sudut matanya basah. Tangannya yang semula memegang lengan Alvaro perlahan luruh. Saskia merasa kotor dan tidak pantas menyentuh sosok tampan itu.Alvaro yang merasakan gerakan Saskia menjadi tersadar dari pikirannya sendiri. Alvaro membuka mata lalu memaksakan satu senyum kecil. Walaupun dia berusaha tak menampakkan emosi, namun Saskia bisa melihat jelas kekecewaan membayang di mata Alvaro. Alvaro menuntaskan hasratnya di luar. Setelah selesai, dia bangkit dan berkata,"Mulai besok kamu harus minum pil agar tidak hamil."Saskia mengangguk pasrah. Mungkin Alvaro tidak ingin me
Alvaro menghembuskan napas kasar. Bunyi ban berdecit nyaring bersamaan dengan Alvaro menepikan mobil yang sedang dikemudikannya.Alvaro mengambil napas dalam beberapa kali sebelum menjawab Orlando.["Aku ada perlu sebentar, Kek. Beri aku waktu beberapa jam. Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi semua permasalahanku. " ][ "Baik. Kamu pewaris Bintang Terang Group. Jangan bertingkah kekanak-kanakan." ]Orlando memutuskan sambungan. Alvaro diam dan berpikir.'Kenapa Kakek berkata seperti itu? Apa Saskia yang mengadu? Keterlaluan!'Alvaro berbicara sendiri. Dalam hatinya mulai muncul rasa tidak suka terhadap Saskia.Alvaro lupa, Orlando mempunyai intuisi yang tajam dalam menganalisa situasi. Orlando melihat rambut Saskia basah di pagi hari. Itu sesuatu yang baru, namun tidak hanya rambutnya yang basah melainkan matanya juga. Lalu Alvaro pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Semua itu cukup bagi Orlando untuk mengetahui ada yang tidak beres di antara keduanya. Alvaro melanjutkan pe
Alvaro tiba di rumahnya beberapa menit sebelum waktu makan malam. Mereka makan di jam yang sama setiap harinya. Itu merupakan kebiasaan yang telah dipupuk oleh Orlando sejak kecil. Kedisiplinan dan kerja keras yang mengantar Orlando pada kesuksesan, berdampak pula pada hal yang terlihat remeh seperti jam makan.Alvaro melihat Saskia sedang berbincang dengan Orlando di sofa sambil menonton film di televisi super besar yang ada di ruangan itu. Keduanya menoleh saat Alvaro tiba. Saskia mendekat dan mencium punggung tangan suaminya tanpa berbicara."Kamu dari mana?" tanya Orlando. Alvaro menghembuskan napas lalu duduk di hadapan sang kakek.Saskia yang merasa tidak enak hati, berdiri untuk menghindar."Cucu mantu! Tetaplah di kursimu. Kamu sekarang istrinya Alvaro, tak ada lagi rahasia di antara kalian," titah Orlando tegas.Saskia mengurungkan langkah, kembali duduk di sebelah Orlando. Di seberang meja, Alvaro meliriknya dengan wajah tenang dan dingin seperti biasanya."Aku dari panti a
Seorang lelaki tampan dan gagah keluar dari bandara internasional Soekarno Hatta bersama dengan sahabatnya."Aaahh ... Indonesia! Setelah empat tahun, aku bisa kembali!" Sang lelaki menghirup napas dalam. Walaupun yang dia hirup adalah pekatnya udara ibukota yang tidak segar namun baginya udara itu menyejukkannya. Langit malam menyamarkan kabut asap yang menggantung di udara."Sekarang kau hendak kemana?" tanya Roni."Aku akan mengunjungi gadisku dulu, lalu besok aku ke tempat ibuku. Kamu mau ikut?" Lelaki itu balas bertanya."Lain waktu, Rue. Aku akan ke rumah pamanku. Kami sudah hampir 10 tahun tidak bertemu. Nanti aku share lokasi kalau sudah sampai. Bilang saja padaku kalau kamu memerlukan apapun." Roni menepuk bahu kokoh sahabatnya. Pekerjaan mereka sebagai penangkap kepiting di tengah terjangan ombak dan badai laut Utara membuat tubuh mereka terpahat dengan sempurna. Perut sixpack dengan dada bidang dan lemak minimal. Kulit mereka kuning langsat karena tidak terkena panas matah
["Haaahh?"]Tangan Saskia gemetar hebat, wajah cantiknya memutih. Ponsel yang sedang digenggamnya lolos dari tangannya., terjatuh, membentur lantai dan mati.'Andry? Benarkah? Atau Ibu sedang ngeprank aku? Atau aku bermimpi?' batin Saskia dengan pandangan kosong.Orlando dan Wiji bertukar pandang."Nyonya? Nyonya kenapa?" Suara Wiji menyadarkan Saskia dari lamunannya."Aku harus ke rumah Ibu. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Assalamu'alaikum," pamit Saskia sambil mencium punggung tangan Orlando lalu berlari keluar rumah begitu saja."Nyonya, ponselnya ketinggalan!" seru Wiji. Pemuda itu hendak berlari mengejar Saskia sambil membawakan ponselnya, akan tetapi Orlando menahan gerakannya. Lelaki tua itu menggelengkan kepala. Intuisi dan pengalaman hidupnya telah mengajarkan banyak hal."Telepon Alvaro," perintah Orlando kepada Wiji.Saskia segera menyuruh supirnya untuk membawanya ke rumah ibunya. Sepanjang perjalanan Saskia meremas jari-jarinya sendiri. Saskia gugup dan bingung. Apa ya