“Shit! Kita tertipu!”Berulang kali Rob berjalan mondar – mandir di hadapan Alice setelah melempar ponsel yang menyala ke atas ranjang. Sebelah alis Alice terangkat tinggi mencoba memahami situasi. Dia merenggut benda pipih itu, kemudian terkejut menemukan beberapa foto yang secara ajaib memberitahukan sesuatu padanya.Harger dengan foto wajah yang ditutup. Alice tak perlu meragukan itu. Bentuk tubuh dan rambut itu sudah menegaskan. Tetapi yang tidak Alice tidak mengerti, mengapa foto berlian juga dikirim bersamaan?“Apa maksudnya ini?” tanyanya, tidak buru – buru membaca, lebih penting menuntut Rob mengatakan semua hal.“Harger sudah menukar batu berlian itu dengan yang asli. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkannya, tapi ini akan menjadi berita buruk. Kita sudah tidak bisa mengancamnya.”Nada bicara Rob diliputi rasa frutrasi. Pria itu mengusap wajah kasar. Erangan marah sesekali akan menggema di sudut kamar hotel. Celakalah! Alice tidak siap jika dia harus berurusan dengan seger
“Kau akan langsung berangkat ke pengadilan setelah ini?” Setelah menyelesaikan sarapan pagi. Harger tidak sedikitpun meninggalkan mata dari sang hakim. Pria dengan tampilan kemeja biru muda dan sisiran rambut ke belakangnya yang rapi, menegaskan betapa sang hakim benar – benar akan kembali melakukan rutinitas pekerjaan. Waktu cuti telah selesai. Sudah nyaris seminggu mereka berada di Italia. Harger masih menunggu jawaban dari pria itu. Sudut bibirnya melekuk tipis ketika sang hakim melakukan kontak mata yang intens. “Ya, aku akan langsung berangkat. Kau tidak apa – apa sendiri di rumah?”Harger mengangguk. Tidak apa – apa, meski itu mungkin akan terasa sangat hening. Tidak ada teman. Tidak ada siapa pun. Barangkali dia akan mencari kesibukkan sendiri. Semisal merajut, atau lainnya ... itu sedang Harger pikirkan.“Hati – hati di jalan kalau begitu.”Sekarang sudah waktunya. Saat sang hakim bangun, Harger juga bersiap menyiapkan piring di atas meja. Dia akan mencuci, tetapi setelah m
“Signore, bisa tunggu sebentar di sini? Aku tidak lama, hanya memilih beberapa benang rajut dan beberapa barang lainnya.”Harger menatap supir taksi sebentar, menunggu pria itu menanggapi sebelum akhirnya keluar dari mobil. Dia berada di pasar loak di Roma. Akan memilih kebutuhan merajut di rumah dan kebutuhan paling penting, seperti bahan – bahan mentah makanan. Kali ini Harger tidak berpikir akan mengandalkan sang hakim subuh – subuh melakukan perjalanan secara diam – diam tanpa sepengetahuannya saat sementaea dia masih tidur.Pasar di Roma jauh lebih sepi daripada di pedesaan. Orang – orang tidak terlalu sibuk. Meskipun demikian, begitu banyak hal menarik perhatian Harger. Dia berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Alih – alih berhenti di toko dengan pelbagai perlengkapan di benak yang sedang merambah liar, Harger justru memilih – milih beberapa kain saat masuk ke sebuah toko pakaian. Seorang wanita menyapa hangat. Harger membalas senyumnya tipis. Dia beralih ke rak berisi pa
Deu menghentikan mobil dan menatap ke sekitar. Pandangannya jatuh begitu heran ketika tidak menemukan satu pun taksi yang terparkir di depan kantor polisi. Mungkinkah Harger ada di dalam untuk membuat laporan, kemudian meminta supir taksi untuk meninggalkan?Deu menggeleng. Persepsi demikian kurang menyakinkan. Dia merongoh ponsel. Menghubungi satu nomor yang nyata – nyata sedang tidak aktif. Pemikiran buruk membuat segala sesuatu menjadi ambigu. Deu langsung keluar dari mobil. Berniat berjalan masuk ke kantor kepolisian, tetapi naluri tajam segera memberitahu.Di belakangnya sudah diliputi dua orang pria; satu berambut sebahu, dan satu lainnya tanpa sedikitpun helai di sana.“Turuti apa yang kami katakan, jika kau ingin istrimu selamat.” Mereka tidak mengancam dengan senjata, tetapi lekuk dari benda berbahaya itu sedang membayang di balik pakaian serba hitam. Ini di wilayah kepolisian, mereka menghindari tindakan mencurigakan. Memberi sebuah isyarat agar Deu ikut melangkah beberapa
Alice menyeringai. “Memangnya kau harap apa yang akan kami lakukan padanya? Merawat Harger dengan baik setelah kecelakaan?”Ujung jari Alice bergerak kurang ajar menyentuh bagian wajah Deu yang terasa kasar. Ekspresi itu dingin tak tertolong. Alice ingin meringis, tetapi semakin seseorang mencoba menolaknya, dia merasakan sebuah tantangan besar. Bagaimanapun dia lebih tertarik ingin mendapatkan perhatian dari pria yang terus – terusan menganggap keberadaannya tidak pernah ada.“Aku penasaran apa yang kau lihat dari Harger ....”Alice berbisik. Tidak langsung bertanya, itu hanyalah kata yang berandai – andai. Dia sudah tak menginginkan jawaban, atau kebutuhan tidak berguna tersebut akan menambah rasa tidak sukanya yang mutlak.“Harger cantik. Aku juga cantik. Tapi nanti tidak akan ada yang bisa menandingi kecantikanku. Rasanya aku sudah tidak sabar saat mereka membelah perutnya.”“Apa maksudmu?” Deu langsung menatap Alice tajam setelah tidak pernah berpaling sedikitpun dari layar; meng
“Aku tidak akan memberitahumu!”Alice mencoba memberontak, tetapi dia juga merasa takut jika alat pemicu meledak, membuat tubuhnya menjadi keping – keping. Sialan, bagaimana mungkin dia dengan mudah tertipu daya oleh pesona seorang pria yang saat ini sedang merongoh sesuatu di suka celananya? Alice melotot tak terima ketika ponsel di mana Rob akan menghubungi terenggut begitu saja. Deu mengulik beberapa saat. Setidaknya benda pipih ini akan berguna kemudian waktu saat sementara dia masih menunggu Alice menyerahkan jawaban sederhana.“Ada berapa orang di luar?”Sekali lagi Deu bertanya. Dan sekali lagi itu pula Alice menolak bicara.“Kau memaksaku. Ada berapa orang di luar?”Suara ketakutan Alice terdengar. Wanita itu merasakan sakit oleh cengkeraman tangan yang kasar. Dia menatap ke dalam mata gelap di hadapannya. Segera berdebar mendapati sisi misterius dan hal yang terasa menyeramkan menguap dalam satu waktu.“Kau ingin aku mematahkan rahangmu, atau sebenanrya kau memang ingin aku m
Pisau bedah diambil dari ruang operasi setelah polisi meringkus para dokter dan Rob yang dinyatakan sekarat. Deu memang tidak berniat membunuh pelaku paling utama, tetapi jika pria itu akan tewas setelah mendapat perawatan serius, hal tersebut tidak berada di dalam kendalinya.Deu menatap ke arah cermin diliputi sorot mata tajam. Keran air segera dinyalakan. Dia mencuci pisau bedah. Menampung sedikit air di telapak tangan, kemudian membasuh bekas tanda kemerahan di lehernya. Bagian tajam dari pisau digunakan untuk mengikis tanda merah tersebut. Alice meninggalkan sesuatu yang buruk. Harus disingkirkan, tidak peduli kulit di leher Deu terkelupas dan dia mulai berdarah.Informasi terakhir yang didengar mengenai Alice. Wanita itu terbakar hangus bersama delapan orang, di gedung yang menyalakan kobaran api. Polisi tidak dapat melakukan banyak sekadar menemukan sisa – sisa kerangka. Mereka telah menjadi abu. Sementara orang – orang di gedung lainnya yang masih bernyawa telah ditahan oleh pi
“Hati – hati,” ucap Deu saat Harger mencoba duduk di sofa dengan sedikit terburu. Setelah tiga hari menjalani perawatan serius. Harger akhirnya dipersilakan pulang. Dia menatap lamat pria yang sedang membersihkan sisa kebutuhan mereka. Sang hakim berjalan sebentar ke arah kamar. Kemudian kembali mendekatinya sembari membawa segelas air.“Minum dulu.”Harger tidak ragu menerima, tetapi tidak pernah meninggalkan mata dari garis lelah di wajah suaminya. Deu seperti hampir menggunakan waktu tanpa beristirahat. Pagi pria itu ke pengadilan, sementara setelah pekerjaannya selesai, sang hakim akan langsung ke rumah sakit. Menjaga Harger seperti biasa, bahkan sewaktu -waktu meninggalkan kamera pengintai; menjadi keharusan pria itu saat meninggalkan Harger sendiri di ruang rawat.“Kau tidak mau istirahat?” Harger akhirnya bersuara. Dia mengangkat satu tangan sekadar menyentuh wajah sang hakim. Mengusap rahang yang terasa kasar. Pria itu nyaris tidak pernah bercukur. Rambut di wajah sudah terli