Pagi berikutnya dan berikutnya, Laila kembali terbangun lebih dulu saat langit masih gelap. Dia merasakan badannya lebih bugar. Badannya tidak pegal seperti kemarin-kemarin lagi. Semalam, Malik memaksanya untuk tidur di ranjang yang sama. Tentu saja dengan dua guling sebagai penyekatnya. Malik tidak mau terlihat terlalu kejam dengan membiarkan Laila tidur di sofa meski wanita itu bersikeras.Laila merapikan bantal dan gulingnya sejenak. Lalu melirik Malik yang masih terlelap, terlihat dari deru nafasnya yang teratur. 30 menit kemudian Laila sudah rapi dan seperti biasa dia akan langsung pergi ke dapur. Setidaknya setiap pagi ia memiliki kegiatan yang baginya menyenangkan. Mengobrol dan merusuhi pekerjaan Bi Mina dan Mbak Yani. Sudah 5 hari berada dirumah besar itu, ia selalu berhasil menghindari mama mertuanya. Mertuanya itu sepertinya juga sangat sibuk, sehingga membuat Laila sedikit lebih leluasa kesana kemari di rumah besar itu.Malik terbangun terdengar suara pintu berderak lalu b
Ternyata, hal yang selama di rumah itu coba Laila hindari akhirnya terjadi. Mama mertuanya sedang duduk halaman depan setelah melakukan senam ringan di bawah terik matahari pagi. Sambil menyesap jus tomat kesukaannya, ia melirik Malik dan Laila yang sepertinya tergesa.“pagi Ma..” sapa Laila. Mama tak menjawab sapaannya.“mau kemana kalian terburu-buru?” tanyanya.“kami mau lihat apartemen Ma, mungkin setelah ini kami akan pindah ke rumah kami sendiri.” Jawab Malik di depan pintu mobilnya. Sedikit berteriak karena jarak antara mobil dan tempat duduk mamanya lebih dari 10 meter jauhnya.“tunggu!” teriak Mama. Mama bergegas berdiri dari duduknya. Dengan cepat melangkah mendekati anaknya.“siapa yang mengijinkan kalian pindah? Nggak! Nggak boleh, kamu harus tetap disini. Kamu nggak kasihan sama Mama, Malik? kakakmu sudah melanglang buana di luar sana, nggak pernah pulang dan kamu juga akan pergi meninggalkan mama di rumah sebesar ini?” cegah Mama. Dia harus berhasil menahan Malik agar t
Mama melangkah memasuki rumah besar itu dengan senyum jumawa membawa kemenangan. Malik tidak akan pernah bisa menolak permintaannya. Terlebih Laila sudah membantunya meyakinkan Malik untuk tetap tinggal di rumah besar dan mewah itu. “kenapa senyum-senyum? Tadi Papa denger ada ribut-ribut di depan, siapa Ma?” “Mama sama Malik..” jawab Bu Lina santai, baru saja ia menghempaskan tubuhnya di kursi ruang keluarga. Tangannya terangkat menyeka sisa keringat hasil adu mulut dengan anaknya sesaat lalu. “ada apa lagi? Mama sudah tua jangan terlalu sering ribut sama anak sendiri.” Pak Agung sudah tak heran lagi dengan istri dan anaknya itu. hampir setiap hari mereka selalu beradu mulut. Dan hal yang diributkan hampir selalu sama. Istrinya yang menuntut Malik meladeni Gladis, dan Malik yang selalu mangkir dari permintaan Mamanya. “Malik mau pindah dari rumah ini Pa.. ya jelas Mama enggak ijinin lah!” sungut Bu Lina sambil membenarkan rambut-rambut yang terlerai dari ikatannya. “memangnya kena
Hari berlalu biasa saja bagi Malik. Rutinitas paginya masih seperti biasa. Yang berbeda hanyalah, sekarang setelah menikah Malik akan terbangun lebih pagi. Bersiap lebih cepat dan turun ke ruang makan lebih awal. Malik menyempatkan diri menikmati obrolan Laila bersama Bi Mina dan Mbak Yani. Entah kenapa hal itu membuat hatinya menghangat. Seperti sebuah bekal untuk ia bekerja seharian. Sangat menyenangkan. Dan Laila belum menyadari bahwa selama ini suaminya menguping pembicaraan mereka. Pagi itu, Laila menceritakan tentang desa nya pada Bi Mina dan Mbak Yani. Bi Mina dan Mbak Yani terlihat sangat menikmati cerita yang disampaikan Laila. Bagaimana Malik tahu? Jelas karena ia mengintip ke arah dapur itu. Meski sama-sama dari desa, tapi Mbak Yani apalagi Bi Mina sudah lama sekali tidak pulang ke desanya. Sudah berapa tahun? 5 tahun? 7 tahun? Ah, mungkin lebih. Mereka sampai tidak ingat. Laila terus bercerita sampai ia dengan spontan menceritakan tentang oleh-oleh kelapa yang dipetik ol
Pak Agung memijit-mijit pelipisnya karena pertengkaran istri dan anaknya itu. Istrinya yang memegang teguh persamaan strata sosial dibuat geram oleh keputusan Malik yang menikahi gadis biasa-biasa saja. Salahnya juga karena tidak mengerem istrinya yang terlalu banyak bergaul dengan sosialita-sosialita diluar sana dan ikut termakan hasutan teman-temannya.Sebenarnya tidak ada salahnya dengan kaum sosialita, tapi perkumpulan yang diikuti istrinya itu terlalu mengagungkan kasta sosial dan harta. Dan Pak Agung terlambat menyadarinya.Istrinya yang dulu adalah perempuan lemah lembut dan penurut kini berubah menjadi wanita glamour dan senang mempertontonkan kemewahan yang dimiliki hasil kerja keras suaminya. Pak Agung sadar betul bahwa dibalik kesuksesannya ada peran besar Bu Lina, hal itu lah yang menjadikannya sering memanjakan Bu Lina dengan kebebasan pertemanan tanpa bisa menyaring mana yang baik dan tidak.Terlebih sejak mengenal mama Gladis. Sejak saat itu, Bu Lina berubah. Pak Agung
Langkah Laila terasa ringan saat menuju parkiran kampusnya. Begitu pula hatinya. Senyum tampak terus menghiasi wajahnya selepas bimbingannya dengan pak Eko yang berlangsung selama 1,5 jam tadi.Pak Eko menyambut baik tulisan di bab 3 nya. Bab yang membahas tentang pendekatan metode penelitian yang digunakan Laila dalam mengolah datanya. Pada bab itu nyaris tak ada coretan revisi yang berarti dari sang dosen. Dan dengan ringan pula pak Eko menyuruhnya segera lanjut ke bab 4.Laila tengah berbunga-bunga. Paginya yang ia rasa berat karena hinaan dari mama mertuanya sekarang beralih menjadi rasa syukur yang tak terhingga. Suasana pagi yang ia rasa akan merusak seluruh harinya nyatanya berubah seperti berkah.Sore itu Laila pulang dengan wajah ceria. Kemacetan parah pun seakan tiada artinya baginya. Sepanjang perjalanan dari kampusnya menuju rumah besar keluarga Pak Agung -mertuanya-, Laila bersenandung mengikuti playlist yang sedang diputarnya di handphone, lagu milik Alan Walker - Lily.
Laila terbangun saat mendengar suara tirai pembatas ruang di IGD itu tersibak. Perawat masuk dengan peralatan medis dan satu map catatan medisnya. “selamat pagi Ibu Laila. saya periksa dulu ya.” Perawat itu memasangkan alat tensi di lengan kirinya. “normal. Masih merasakan pusing Bu?” tanya perawat itu sambil melepas tensimeter dari lengannya. “masih sedikit.” Ucap Laila tercekat. Kerongkongannya terasa sangat kering. Dan dia sadar sejak kemarin siang ia belum minum setetes pun. “Suaminya sangat kelelahan sepertinya.” Kata perawat itu saat melirik Malik yang tidur sambil duduk. Perawat itu masih mengatur laju cairan infusnya yang tersisa sedikit lagi sambil tersenyum-senyum. Laila baru menyadarinya dan ikut melirik ke arah Malik. Pantas saja tangannya terasa berat, ternyata tergenggam Malik dan sangat erat. “Ibu sudah boleh pulang setelah cairan infus ini habis ya.. Saya permisi dulu.” Pesan Perawat itu sambil tersenyum menangguk. Laila mengangguk dan melempar senyum pada perawat
Semalaman tidur dengan posisi duduk membungkuk membuat badannya pegal luar biasa. Malik meringis beberapa kali saat memapah Laila yang sebenarnya tak terlalu berat. Tapi badannya yang pegal-pegal membuat nafasnya terengah-engah bak orang selepas berlari memutari lapangan sepak bola. Berat badan Laila tidak lebih dari 50 kilo, tapi Malik merasakan nafasnya semakin terhimpit. Tentu saja tidak mungkin hal itu ia tunjukkan pada Laila. Malik tetap mencoba tetap tegak dan normal seperti biasanya, dia tidak mau dianggap lemah oleh Laila. Dia yang rajin nge-gym tiap 3 hari sekali harusnya tak terlalu bermasalah kalau hanya memapah Laila. Atau karena dia terlalu dimanjakan dengan kasur empuknya tiap hari? Setelah mendudukkan Laila, Malik akan bergegas turun memanggil Bi Mina dan Mbak Yani, tapi niatnya dicegah oleh Laila yang mengutarakan ketakutannya. Perempuan itu takut ada orang lain yang mengetahui kondisi pernikahannya yang sesungguhnya. Atau lebih tepatnya Laila takut jika hal itu sampa