"Putri, Diandra, sebelum kalian mencela Inara, sebaiknya introspeksi diri dulu deh. Apa kalian begitu sempurna sampai menilai orang lain begitu buruk? Setiap manusia itu punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri jadi jangan asal menghakimi!" "Harshil, kau!!" pekik Putri kesal.Tak memedulikan teriakan mereka, Harshil membawa istrinya masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu agar tak ada siapapun yang masuk. Inara duduk di bibir ranjang, sedangkan Harshil berjongkok di hadapannya. Menciumi tangan Inara dengan lembut."Apa ada yang ingin kau katakan padaku? Aku sudah mencurahkan semua isi hatiku di kantor, apa kau kurang puas?" tanya Harshil dengan nada lembut.Inara hanya tersenyum menatapnya dengan lekat."Terima kasih ya, Mas. Kau membuatku merasa sangat berarti.""Ya, kau memang sangat berarti untuk hidupku, Inara.""Ya sudah, Mas. Sekarang mandi, nanti kita sholat berjamaah ya."Harshil tersenyum, kemudian bangkit berdiri. "Oke Sayang, kamu sudah sembuh? Obatnya rutin diminum ka
"Hei, tunggu! Kembalikan Savrina padaku!" teriak Inara.Wanita itu mencoba bangkit berdiri. Dari kejauhan Teddy langsung berlari ke arahnya."Astaga, Nona tidak apa-apa?" tanya Teddy cemas."Dia bawa lari Savrina, tolong bawa Savrina kembali," tunjuk Inara ke arah lelaki berjaket hitam dan memakai masker itu. Larinya benar-benar secepat kilat. Baru beberapa jeda saja dia sudah menghilang dari pandangannya.Gegas, Teddy langsung berlari mengejar lelaki itu. "Inara, kamu kenapa?" tanya Lila sesaat setelah kembali. "Lila, Savrina diculik," sahut Inara dengan nada sangat sedih."Apa? Diculik?"Inara mengangguk lemah. Hatinya dilanda rasa cemas yang begitu dalam. Ia takut terjadi sesuatu dengan Savrina, bayi mungilnya. Matanya terasa begitu panas, lelehan kristal bening itu tak mampu lagi ia tahan.Sementara Lila pun terdiam seperti patung. Tak mampu berbicara. Bi Mirna, babysitter Savrina berlari tergopoh-gopoh seraya membawa botol susu. Wanita itu memandang bingung majikannya."Nona,
"Tidak, kau tetap di sini. Bisa bahaya kalau kau ikut.""Tapi ...""Inara, aku tahu kamu mengkhawatirkan Savrina. Kamu yang sabar ya, aku sedang mengusahakan agar Savrina kembali dalam keadaan baik-baik saja," ucapnya lagi menenangkan sang istri.Inara mengangguk lemah. Beranjak berdiri dari pangkuan sang suami. Tapi, Harshil kembali menariknya dalam pangkuan."Ada apa lagi, Mas?""Berikan aku ciumanmu biar aku lebih semangat lagi."Mata Inara membulat. "Dasar mesum!" Harshil hanya tertawa kecil. Sebenarnya ia hanya iseng saja, biar tidak terlalu tegang memikirkan masalah yang dia hadapi. Inara melakukan permintaan sang suami. Mencium kedua pipinya dan keningnya bergantian."Udah.""Yang ini belum," pungkas Harshil seraya menunjuk bibirnya. Walau agak kesal karena merasa dikerjai, Inara tetap melakukannya, mengecup bibir Harshil sekilas. Namun Harshil justru memagut bibir Inara dalam ciuman yang mesra.Dering ponsel mengagetkan mereka. Sejenak, pandangan mereka saling bertaut. Semb
"Cepat kabur! Mereka pakai obat bius. Lapor sama ketua!" Mereka berlarian ke arah yang berlawanan. Suara sirine mobil polisi makin membuat mereka kalang kabut. Petugas polisi datang dan langsung meringkus para preman yang terjatuh."Teddy bagaimana dengan si bos?" tanya Alex dalam panggilan teleponnya."Aman, kami sudah sampai jalan utama.""Oke."Alex mematikan ponselnya, kemudian menghampiri Vano yang tengah ditanyai oleh polisi. Setelah membuat keterangan, keduanya bergegas pulang. Mereka akan dimintai keterangan lagi saat proses penyidikan. Petugas polisi memeriksa ke dalam puing bangunan itu, tapi tak ditemukan siapapun. Akhirnya mereka langsung pergi membawa para preman yang tergeletak ke dalam mobil tahanan.Sementara para preman yang lain bersembunyi di balik semak-semak saat sudah jauh dari lokasi. Mereka semua akhirnya pulang ke markas, tempat bosnya berada.Leo masih memata-matai dari atas pohon yang rimbun. Sebuah gudang kosong yang sudah tak terpakai.Dia mengirimkan pes
Lila masih menangis di kamarnya, ia mengurung diri dalam kamar. Entah kenapa hatinya sungguh merasa kehilangan bayi itu. Bahkan keluarga yang lain tampak keheranan dengan tingkah Lila yang begitu aneh."Heran deh, di sini ada dua orang wanita yang tampak shock kehilangan Savrina!" celetuk Putri seraya menatap Lila tajam. Kedua mata Lila tampak begitu sembab karena terlalu banyak menangis."Kamu dan juga Inara. Inara wajarlah ya merasa kehilangan Savrina, dia kan ibu angkatnya. Tapi kamu? Kamu sebenarnya kenapa Lila? Diputusin pacar gak gitu juga kali!" imbuhnya lagi."Aku cuma sedih aja kok! Savrina kan bayi yang lucu!" timpal Lila berkilah."Sudah, sudah, jangan berdebat! Ayo dimakan. Mumpung kita lagi kumpul bersama," lerai Sandra menengahi perdebatan putri-putrinya."Namanya juga ada yang meninggal, pasti kita semua merasa kehilangan kan?" Tak lama, Henry dan Rosa ikut datang ke meja makan."Oh ada si udik! Ma, kita makan di kamar saja, bilangin sama Bibi untuk bawa makanan ke kam
Sandra memijat pelipisnya pelan, kepalanya terasa begitu penat. Ia tak menyangka putri bungsunya justru melakukan hal yang dia benci."Maafkan aku, Ma. Aku tak bisa membuat Mama bangga, justru menorehkan rasa malu pada keluarga. Aku menyesal, tapi aku mengakui semuanya, kami pernah melakukan hal yang terlarang, hingga akhirnya aku hamil dan melahirkan. Maaf, Ma. Tapi tolong restui kami, Ma. Meskipun aku harus keluar dari rumah ini, aku siap dengan konsekuensinya, Ma. Aku hanya ingin menikah dengan Kevin dan memperbaiki kesalahanku di masa lalu." Hingga kini, kata-kata putrinya masih terus terngiang-ngiang di kepala. Bahkan saat ini Lila pergi dari rumah karena dia telah mengusirnya. Ada tatapan kecewa saat Lila membawa kopernya pergi dari rumah. Begitupun dengan Sandra, hatinya benar-benar kecewa atas perilaku Lila yang melampaui batas."Udahlah, Mbak. Tinggal restui aja mereka menikah, suruh si Lila tinggal di sini lagi. Kayak Diandra tuh, dia juga hamil di luar nikah, tapi suaminya
Inara menghampiri Ettan. "Di sebelah sana aja, Ettan," tunjuk Inara. Ettan mengangguk dan mengikuti langkah Inara. Dia memasang tenda sedikit menjauh dari pantai. Harshil ikut membantu memasang tenda. Sementara Ettan membuat perapian. "Dah ditunda dulu, kita sholat maghrib dulu. Habis isya kita kesini lagi," tukas Harshil.Inara mengangguk dan menerima uluran tangan Harshil. ***Pukul delapan malam mereka kembali, Ettan sudah mempersiapkan semuanya. Dia mulai membakar ikan sesuai permintaan sang majikannya. Aroma wangi khas ikan bakar menguar begitu saja, membuat perut mereka meronta. Hanya menambahkan bumbu seadanya yang ia beli di warung terdekat."Ini Tuan, Non, silakan dicicipi," ucap Ettan seraya memberikan ikan itu untuk mereka berdua."Wah ternyata Ettan jago semuanya ya. Jago memasak juga. Hebat," puji Inara.Ettan hanya tersenyum. "Sayang, kenapa kamu memuji pria lain bukan suamimu sendiri hmm? Aku juga lebih hebat lho dari dia, buktinya kamupun--"Inara menempelkan jar
Tetiba ada tangan seseorang yang menariknya menjauh dari area Mall, langsung membekap mulut Inara dengan obat bius. Orang-orang itu langsung menutupi kepala Inara dengan salah satu kain hitam. Inara tak sadarkan diri, ia langsung dibawa ke mobil. Mobil itu melaju dengan sangat kencang. Ettan menoleh dan menyadari kalau majikannya menghilang, ia sempat melihat Inara dipaksa masuk ke dalam mobil. Dia berlari mengejarnya, tapi mobil itu melaju sangat kencang hingga tak mampu diraih. Ia mengepalkan tangannya ke udara. Geram dan kesal bercampur jadi satu. Tadi ia menerima panggilan dari Alex, kalau Leo berhasil ditangkap oleh para preman."Sial! Non Inara diculik lagi, pasti Tuan akan marah besar!" Ettan begitu kesal, ia yang teledor tak bisa menjaga nyonya majikannya dengan baik.Ponselnya kembali berdering. Panggilan dari sang majikan."Ettan, kalian dimana?" Suara dari seberang telepon terdengar panik."Tuan, Maaf. Non Inara diculik lagi," ujar Ettan."Apa? Kau kesini sekarang, Ettan!