*Happy Reading*
"Wah, ternyata kamu!"Aku yang sebenarnya masih sangat kesal dengan kelakuan si papah--yang meninggalkanku begitu saja karena sebuah telepon. Sontak menoleh ke arah samping, saat seruan itu terdengar runguku.Jonathan! Masih ingat? Iya, dia si brondong manis. Pria itu ternyata yang baru saja berseru mengintrupsi kekesalanku pada si papah."Lo? Ngapain lo di sini?" sahutku galak seperti biasanya.Bukannya marah atau kesal dengan tanggapanku. Pria itu malah tersenyum manis, lalu membuka kaca mata hitam yang dia kenakan sebelum duduk begitu saja di sebelahku."Galak banget sih calon ayang. Padahal kita udah gak ketemu lama, loh. Gak kangen apa, yang?"Gak nyambung! Aku nanya apa, di jawabnya apa. Ya ... begitulah Jonathan."Ngapain gue kangen? Hidup gue malah tentram, aman, damai dan sentosa tanpa lo."Bibir Jonathan langsung maju beberapa centi mendengar sahutanku. Namun, tidak lama.*Happy Reading*"Gila ya si Jonathan. Gak nyangka banget gue." Lika bergumam seraya menscroll ponsel pintarnya. Aku tidak manyahutinya, hanya melirik sekilas saja. Bukan aku tidak mau menanggapi Lika sebenarnya. Hanya saja, saat ini aku sedang di make up. Tepatnya sedang di pakaikan lipstik oleh MUA. Nah, kan, gak lucu kalau lipenku jadi morat marit gegara nyahutin si Lika. Meski ... sebenarnya aku juga pengen banget ghibahin si Jonathan. "Pantes kariernya cepet banget naik. Bekingannya gak kaleng-kaleng, cuy! Bininya produser sendiri di embat. Gelo gak tuh! Muka doang polos. Ternyata hobbynya ... suka molosin emak-emak. Dunia emang udah edan!"Begitulah! Sejak malam itu, karier Jonathan memang langsung hancur seketika. Karena gosip yang tersebar itu dan juga berita dikeluarkannya secara tidak hormat oleh direktur agency tempatnya bernaung. Aku tidak tahu apa yang terjadi tepatnya. Yang jelas, aku yakin jika semua itu pasti karena campur tangan si papah. Ya ... tahu sendiri doi sia
*Happy Reading*Intan ngakak guling-guling saat aku ceritakan perihal kesalahpahaman antara si BO dan PO. Dia sampai memegangi perutnya dan menggebuk-gebuk paha si Nurbaeti demi menambah kelebayannya. "Ih, kalian mah resek. Tega banget ngetawain gue." Nyonya Ammar ceritanya merajuk, gaes! Melipat tangan dibawah dada dengan kesal, seraya memajukan bibirnya maju beberapa senti disertai pipi yang menggembung.Alih-alih takut, aku malah gemes liat pipi si bumil. Rasanya pengen banget aku comot! Terus cocol saos. Enak kali, ya?"Ya lagi lo ada-ada aja. Bisa-bisanya keliru bedain antara open PO dan BO. Parah banget!" Intan menyahut disela kekehannya yang belum sepenuhnya reda. "Ya namanya juga gak tahu. Lagian, cuma beda hurup depan doang aja, kok!""Iya, sih. Beda huruf depannya doang. Tapi artinya itu, loh! Luar biasa jauh!" Intan masih menanggapi dengan antusias, membuat Nurbaeti makin manyun. "Sama-sama tentang jualan juga, kan?" cebiknya kesal kemudian. Ah, sudahlah! Keturunan Ma
*Happy reading*Terlepas dari kekonyolan Intan dan Nurbaeti yang kadang suka merusak moment sedih. Terkhusus untuk kembaranku tercinta, si gemoy. Aku sangat bersyukur karena memiliki mereka berdua sebagai sahabat dalam hidupku. Dua gadis--eh, udah jadi emak-emak ya, sekarang. Pokoknya, merekalah yang selalu ada di sisiku dalam sedih mau pun senang. Dari dulu hingga sekarang. Bahkan, setelah aku menceritakan semuanya tadi. Nurbaeti dengan baik hatinya berkata, "Jangan paksain kalau emang lo gak mau, Nur. Meski si duda cucok rowo itu banyak duit dan punya kuasa dalam karier lo. Tapi lo jangan lupa, lo juga punya gue sebagai sahabat lo yang punya suami sultan. Sultannya udah internasional lagi, ya kan? Jadi, perkara duit mah, bisalah gue nanti pinjemin."Meski dia menyuarakan hal itu dengan kekonyolannya seperti biasa. Tetapi, aku tahu dia tulus. Seorang Nurbaeti meski lebih sering lemotnya daripada pinternya. Perkara duit mah, emang dia gak pelit.Dulu saja, sebelum sama Ammar dia rel
*Happy Reading*Malam harinya, tahu aku tidak membawa kendaraan ke rumah Bella. Tita akhirnya memaksa aku untuk ikut pulang bersamanya. Mungkin lebih tepatnya, diantar oleh sopir keluarganya. Aku sudah berusaha menolak. Karena hal itu bisa diatasi dengan kendaraan online masa kini, ya kan? Sayangnya, aku lupa kalau sekarang ada Bella di kubu Tita. Dengan pintarnya bocah itu mencarikan 1000 alasan agar aku bersedia meluluhkan permintaan Tita. Dari mulai yang logis, sampai yang tidak logis dengan membawa-bawa mitos soal mbak kun-kun. Pokoknya, udah kacau aja kalau sudah berhubungan dengan Bella. Anak itu terlalu cerdik aku kibulin. Belum lagi emak bapaknya yang juga pro akan hubunganku dengan Pak Vino. Tentu saja, mereka malah mendukung 100% kelakuan si anak tuyul itu. "Dahlah, Nur. Turutin aja. Mayan kan gak usah ngeluarin ongkos!" Pada akhirnya, si gemoy yang awalnya kurang setuju dengan hubunganku dan Pak Vino pun ikut membujuk. Mungkin, dia kasihan pada Tita yang terlihat memela
*Happy Reading*Dalam keadaan setengah sadar, aku mendengar suara gemuruh di sekitarku. Ramai sekali. Di antaranya suara roda berjalan diiringi suara langkah kaki yang ramai. Juga ucapan saling bersahutan beberapa orang."Gunting saja!""Bersihkan!""Ganti!""Potong!""Bersihkan!""Kita perlu darah tambahan."Banyak lagi kata yang tak sepenuhnya aku pahami. Namun, yang pasti aku rasakan adalah, rasa kebas dan melayang seperti tak berada dalam dunia nyata. Tak lama, kesadaranku kembali hilang. Entah berapa lama. Saat muncul lagi, aku mendengar suara tamparan keras, dan seruan marah yang kukenali sebagai suara papa. Pria tua yang sudah meninggalkanku dan mama sekian lama."Anda bilang, anda akan menjaganya seperti menjaga hidup anda sendiri. Lalu ini apa? Kenapa Nur bisa sampai berada di situasi ini?"Ternyata dugaanku benar. Itu memang suara papa. Selain Intan dan nyonya Ammar. Hanya mama dan papa yang biasa memanggil aku dengan panggilan 'Nur'. Karena memang aku tidak suka sebenarnya
*Happy Reading*Setelah dokter menyelesaikan pemeriksaannya. Papa kembali masuk bersama istrinya. Namun, kali ini tanpa Pak Vino. Entahlah, mungkin pria itu sedang ada urusan, atau sudah diusir oleh papa. Aku tidak tahu. "Bagaimana perasaan kamu? Lebih baik?"Papa duduk di dekat tempat tidurku. Sementara istrinya seperti memberi waktu untuk kami berdua untuk bicara, dengan mengambil duduk di sofa yang tak jauh dari pintu.Papa menggenggam tanganku erat dan mengusap kepalaku dengan lembut. Binar matanya memancarkan kasih sayang yang sama seperti dulu. Membuat kerinduanku semakin menjadi. Aku ingin mengangguk sebagai jawaban. Namun, terkendala oleh penyangga leher yang masih harus aku kenakan. Rasanya benar-benar tidak nyaman."Meski masih ngilu, tapi lebih baik dari pas awal siuman."Papa tersenyum lega mendengarkan. Kembali mengusap kepalaku dengan sayang. "Kalau butuh apa-apa. Jangan sungkan untuk panggil papa atau Bunda, ya?"Dari dulu, Papa memang selalu membiasakan aku menyebut
*Happy Reading*Melihat wajah papa yang sudah keruh dan menegang, aku mencoba meminta atensinya dengan mengusap tangannya yang ada di atas tanganku. "Pa?""Papa keluar dulu, kalian ngobrol-ngobrollah yang nyaman." Tiba-tiba papa pamit. Beranjak dengan segera dan meninggalkan ruangan.Ego seorang lelaki, kalian mengerti?Melihat itu, istri baru papa pun turut pamit setelah berbasa basi sebentar dengan teman-temanku. Mungkin dia tidak nyaman di sana kalau tidak ada papa. Entahlah, aku tidak mau memikirkannya. "Wah, kayaknya bakal ada season baru, nih. Judulnya, cinta terhalang restu mertua," ceplos Nurbaeti tanpa beban. Duduk di kursi bekas papa dengan nyaman. "Nggaklah. Mana ada author bikin cerita begitu. Itu sih cerita sebelah semua." Intan menimpali, seraya berdiri di sebelahku yang lain, berhadapan dengan Nurbaeti. Sementara suami-suami mereka, dengan setia mengikuti dan berdiri tak jauh di sebelah mereka. "Kali aja author bosen sama genre romcom, terus ganti genre jadi termeh
*Happy Reading*Ammar menghela napas panjang dan berat seraya melirik istrinya. Saat akhirnya aku meminta konfirmasi akan info yang Nurbaeti bawa beberapa menit lalu. Aku memang meminta Nurbaeti menelpon Ammar dan menyuruhnya kembali, agak bisa aku introgasi lebih lanjut. Bagaimana pun, aku tidak ingin sampai ketinggalan info penting lagi soal Pak duda. Selama ini, Aku merasa sudah terlalu banyak kecolongan. Mengejar Pak Duda jelas bukan pilihan tepat saat ini. Mengingat kekecewaan Papa yang sudah pasti akan menjauhkan kami. Lebih dari itu. Si papah sendiri memang suka sekali main rahasia-rahasiaan sama aku. Bisa botak aku lama-lama kalau dibikin penasaran terus. Nah, mumpung ada yang bisa aku tanyai. Kenapa gak aku manfaatkan, ya kan?"Sayang, aku kan udah bilang. Jangan beritahu teman-teman kamu dulu perihal hal ini," keluh Ammar masih menatap istrinya. "Ya gimana, ya? Mereka kan sahabat aku, Mas. Mana bisa aku diem aja soal ini." Nurbaeti menyahut enteng. "Apalagi, ini berhubu