Share

Bab 4

"Nggak apa-apa, aku sudah memaafkanmu. Kalau sekarang kamu menyesal, kita kembali ke Kantor Catatan Sipil saja."

Mendengar itu, mata Amel bersinar. Namun, kemudian dia mendengar Dimas berkata, "Tapi kalau begitu, ini jadi perceraian. Kelak kalau kamu mau menikah lagi, akan ada banyak masalah."

Bercerai? Tidak bisa!

Saat ini, Dimas mengusulkan, "Bagaimana kalau ... kita coba jalani dulu?"

"Coba .... Kalau begitu coba dulu?"

Amel bersikap pasif, hanya merasa agak bingung.

Masalah sudah seperti ini. Sepertinya ini adalah cara penyelesaian terbaik.

Hanya saja tiba-tiba menikah dengan seorang pria asing. Amel merasa selain nama pria ini, dia tidak tahu yang lain lagi.

Amel tetap merasa sangat panik.

Amel berusaha menenangkan diri, memikirkan tampangnya saat kencan buta tadi, lalu bertanya, "Karena kita sudah sepakat untuk mencoba jalani dulu, bukankah kamu seharusnya menceritakan tentang dirimu kepadaku?"

"Namaku Dimas Cahyadi. Kedua orang tuaku masih hidup. Di keluargaku ada kakek nenek dan lumayan banyak saudara, tapi kebanyakan berada di luar daerah. Aku diundang untuk bekerja di Grup Angkasa. Hari ini aku baru saja sampai di kota ini ...."

Ah? Kalau begitu, bukankah baru saja ditipu olehnya ke Kantor Catatan Sipil?

Amel merasa makin bersalah.

Dia seperti wanita jahat yang menipu orang-orang bodoh.

Amel menatap Dimas. Meskipun Dimas tampak terpelajar dan tampan, pria ini malah merupakan seseorang yang polos.

Amel berpikir sebentar, lalu berkata dengan serius, "Kamu tenang saja, aku akan menjagamu dengan baik."

'Anggap saja sebagai harga yang harus kubayar atas tindakan gegabahku ini,' pikir Amel.

Tepat di saat ini, ponsel Amel berdering. Melihat layar ponsel, Amel langsung merasa takut.

"Ibu ...."

"Amel, ada apa ini? Sebelumnya jelas-jelas kamu sudah berjanji, kenapa malah nggak pergi ke kencan buta? Kamu ...."

Amel melirik Dimas, kemudian berkata, "Ibu, aku ... sudah menikah."

"Kamu sudah me .... Apa?! Menikah?! Aku menyuruhmu kencan buta, bukan menikah kilat!" Suara di ujung sambungan terdengar bergetar, "Aduh, jantungku ini."

Amel panik. Jantung ibunya selalu tidak baik, jangan sampai dibuat kesal olehnya.

"Ibu, jangan panik dulu! Aku akan pulang sekarang juga!"

"Aku ikut denganmu."

Dimas yang berdiri di samping tiba-tiba angkat bicara. Amel tersentak, lalu mengangguk. Kemudian, keduanya pun naik ke sebuah taksi.

Sementara itu, saat ini, di dalam rumah Amel, Lili sedang duduk di sofa sambil memegang dadanya dengan tatapan kosong, sedangkan Gibran berjalan mondar-mandir dan terlihat sangat cemas.

"Sudah kubilang dari awal, Amel baru saja lulus kuliah, masih kecil, nggak usah buru-buru menikah. Tapi kamu malah mendesaknya terus-terusan. Sekarang baguslah, juga nggak tahu dia ditipu oleh pria mana!"

"Aku juga nggak menyangka akan jadi begini. Anak ini kenapa jadi begitu berani?"

"Bukankah karena dipaksa olehmu? Setiap hari kamu selalu bilang Lidya sudah punya pacar dan mempersiapkan pernikahan. Kamu pun jadi ikut-ikutan mendesak Amel, ingin dia menikah lebih cepat dari Lidya. Dengan begitu, kamu jadi lebih punya harga diri dan jaminan untuk menang dari Mirna."

Karena terlalu kesal, Gibran menarik laci dengan keras, lalu mengeluarkan pil penenang dari laci dengan cepat.

Lili langsung menegakkan tubuhnya dan berkata sambil melambaikan tangan, "Jangan keluarkan! Tetap taruh di tangan, tunggu sampai Amel pulang dulu baru dibicarakan."

Saat Amel pulang dengan terburu-buru, dia langsung melihat Gibran berdiri di depan sofa dengan muram. Dia pun langsung panik dan berteriak, "Ibu!"

"Aku di sini!"

Lili bernapas kasar, lalu berkata, "Tadi baru saja minum obat, akhirnya sudah lebih baik. Kamu ini, sejak kecil selalu patuh. Kenapa kamu ...."

Baru saja akan meneteskan air mata, Lili menengadah dan melihat Dimas yang berdiri di belakang Amel.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status