Dimas memang tidak memiliki tempat tinggal di sini karena dia sama sekali tidak perlu memedulikan semua itu. Sementara untuk mobil, rumah dan simpanan, dia tidak pernah kekurangan sedikit pun.Kali ini adalah pertama kalinya seseorang menuduh Dimas seperti ini. Dia pun merasa tidak senang dan berkata dengan suara yang rendah, "Ini nggak ada hubungannya denganmu."Amel tidak bisa berdiam diri lagi. Dia mengerutkan kening, lalu berkata, "Bibi Mirna! Bagaimana bisa kamu mengataiku seperti itu? Aku bukan wanita materialistis seperti itu.""Materialistis?" Bibi Mirna tertawa dengan penuh amarah, lalu melanjutkan, "Baiklah, aku mau tanya padamu, apa yang kamu inginkan darinya? Apakah wajahnya bisa menghidupimu?""Aku ...." Mata Amel memerah karena marah. Dia tanpa sadar berteriak, "Semua karena dia suka makan makanan penutup yang aku buat."Selama kencan buta mereka, Amel bisa melihat bahwa Dimas bukanlah orang yang menyukai makanan penutup. Namun, setelah Amel memberikan makanan penutup pad
Lili hampir menggunakan kaca pembesar untuk memeriksa akta nikah Amel dan Dimas. Namun, dia tidak bisa menemukan satu kesalahan pun. Wanita itu pun tahu bahwa semua ini nyata.Namun, sekarang apa yang ada di dalam pikiran Lili sangatlah sederhana. Dia harus bersikap baik pada menantunya ini. Mungkin dengan begitu, menantunya akan memperlakukan putrinya dengan lebih baik.Gibran menghela napas, lalu berkata, "Dasar wanita."Gibran sudah mendengar tentang karakter Dimas dari Profesor Ahmad. Dia tahu bahwa Dimas bukan orang yang picik. Terlebih lagi, Gibran ingin menyelidiki tentang pria ini lebih banyak. Jangan harap Dimas bisa tinggal di rumah ayah mertuanya segera setelah dia menikah!Amel kembali ke kamar kecilnya. Dia masih merasa linglung saat berbaring di tempat tidur.Hari ini jauh lebih menegangkan daripada hari seorang tokoh utama.Amel berbalik untuk berbaring miring. Dia merasa sedikit tidak nyaman saat memikirkan apa yang dikatakan Bibi Mirna. Namun, dia lebih merasa kasihan
Amel yang sedang banyak pikiran pun tidak bisa menahan diri lagi."Dimas, jangan pedulikan ucapan Bibi Mirna kemarin. Aku tahu ucapannya sangat kasar, tapi aku nggak peduli, kamu juga jangan merasa terbebani karena hal itu.""Kamu bayar berapa untuk menyewa mobil ini? Aku akan berikan uangnya padamu. Aku nggak punya persyaratan untuk rumah, yang penting bersih dan bisa ditinggali saja. Kita nggak perlu tinggal di daerah perumahan sebagus itu. Kita juga bisa hidup dengan baik meskipun sederhana."Tatapan Amel sangat tulus, tapi Dimas sangat tidak berdaya sekarang.Dimas tidak peduli dengan ucapan Bibi Mirna, tapi jelas sekali bahwa istri barunya memikirkan ucapannya dan menganggapnya sebagai orang miskin.Dimas berusaha untuk menjelaskan, "Aku nggak merasa itu adalah beban."Sudah seperti ini pun masih bukan beban?Meskipun tidak pernah kemari, Amel tahu bahwa harga tanah di daerah ini mahal, jadi biaya sewanya juga pasti sangat mahal!Anggota keluarga Dimas banyak, jadi mereka tidak bo
"Dua juta? Nggak, nggak.""Paling banyak empat juta? Jangan begitu, kita memang sangat akrab, tapi masa biaya sewanya hanya empat juta?""Baiklah!"Mendengar itu, Toto kebingungan."Kawan, aku akan mengingat kebaikanmu."Toto yang sedang dilanda kebingungan merasa senang akan peningkatan hubungannya dengan bosnya menjadi teman baik.Sesaat kemudian, Dimas mematikan teleponnya. Dia menatap Amel dengan polosnya, lalu berkata, "Katanya, dia paling banyak akan menerima empat juta untuk biaya sewa sebulan. Kalau nggak, dia nggak mau berteman lagi denganku. Itu sudah harga tertinggi yang bisa kutawar."Amel mendengar percakapan itu dari awal sampai akhir. Dia tahu bahwa Dimas sudah berusaha sebisanya. Namun, mereka tetap sudah menerima hal yang berlebihan, jadi Amel berpikir untuk membalas kebaikan teman Dimas jika ada kesempatan kelak."Baiklah. Kalau begitu, hari ini aku akan pulang untuk berkemas dan pindah kemari. Tapi, biaya sewanya kita bagi dua.""Ke depannya pasti kita akan membeli r
Lili menggenggam tangan Amel. Ekspresinya yang senang berubah menjadi sedih, dia berkata, "Amel ... kamu harus sering-sering pulang, ya."Putri yang dia besarkan selama 23 tahun sudah menikah dan akan pindah untuk tinggal di luar sekarang. Untung saja Gibran sedang keluar, kalau tidak suaminya itu pasti tidak akan bisa menerimanya.Amel berbicara dengan sedih, "Bu, telepon saja aku kalau merindukanku, aku pasti akan pulang. Tempat tinggal kami juga nggak jauh, tinggal naik taksi saja."Lili merasa ucapan Amel ada benarnya, jadi dia pun menyetujuinya dengan tidak rela.Setelah menyampaikan salam perpisahan dengan Lili, Amel mengangkat kopernya, tapi tiba-tiba genggamannya terasa kosong.Dia menoleh, lalu melihat Dimas sudah membawakan kopernya ke depan lift."Ada apa?" Melihat Amel termenung, Dimas menoleh ke arahnya.Sikap Dimas sangat santai. Dia tidak merasa ada yang salah dengan hal yang dilakukannya.Amel yang masih belum terbiasa dengan hubungan mereka pun memegang hidungnya sendi
Dimas menghentikan mobil dan berbalik menatap Amel, mengisyaratkan wanita itu untuk melanjutkan ucapannya.Amel mengira bahwa Dimas marah."Kalau kamu nggak bersedia ....""Aku bersedia."Dimas mengangguk. "Karena aku sudah setuju untuk menjalin hubungan denganmu, tentu saja aku akan menghargai pilihan dan keputusanmu."Lagi pula, dia juga bukan orang yang nafsu.Amel pun merasa lega. Untungnya, dia tidak salah menilai orang.Dimas mengetuk setir mobil, lalu berbicara dengan ekspresi yang kesulitan sambil mengernyit, "Tapi, temanku hanya punya sebuah kasur yang di kamar utama, sedangkan kamar lainnya dipenuhi dengan barang-barang."Amel pun pusing begitu mendengar hal tersebut.Sekarang, sudah tidak sempat untuk membeli kasur, apalagi kasur juga tidak murah. Pasti akan repot juga kalau mau pindah rumah kelak.Mereka sudah sangat merepotkan temannya Dimas, bukankah keterlaluan kalau mereka memasukkan perabotan besar lagi ke dalamnya?Tiba-tiba, Dimas berkata, "Begini saja, aku akan meng
Dimas menepuk kepala Amel dengan pelan dan berkata, "Ya, untung saja ada kamu."Amel tersenyum malu, kemudian dia meletakkan barang yang dibeli dari pusat belanja di ruang tamu. Kemudian, dia duduk di atas karpet dan mulai membongkar barang-barang."Taplak meja, bumbu masak, peralatan makan ...."Setelah selesai, Amel membawa barang-barang tersebut ke dapur dan memberikan taplak meja kepada Dimas. "Kamu pasang taplak mejanya."Dimas merasa tidak terbiasa menggenggam taplak meja berwarna krem dengan pinggiran berenda dan bermotif bunga putih.Warna dan motif seperti ini sama sekali tidak cocok dengan pria sepertinya.Namun, imut juga.Dimas memasang taplak meja dan memasukkan bunga yang dibeli oleh Amel ke dalam pot bunga.Setelah mereka menyusun barang, Amel naik ke lantai atas untuk berkeliling dan sudah memiliki ide untuk mendekorasinya.Mereka memesan makanan pesan antar sebagai makan siang. Setelah makan, mereka mulai merapikan kamar lagi.Perlengkapan kasur yang baru dibeli juga s
"Pantas saja kamu beli banyak bumbu masak. Kalau begitu, kamu masak masakan rumah yang sederhana saja."Masakan seperti itu sangat mudah bagi Amel.Amel mengangguk pertanda menyetujuinya, lalu menanggapi, "Baiklah, kalau begitu kamu rapikan mejanya, aku masak dulu."Dimas merasa bosan di ruang tamu sendirian. Dia pun bergegas menyelesaikan tugasnya, lalu pergi ke dapur dan bertanya, "Apakah ada yang bisa kubantu?"Suara yang berat itu sangat dekat, Amel terkejut hingga telinganya memerah.Kenapa Dimas tiba-tiba mendekat seperti ini?Amel pun kelabakan dan menolaknya, "Nggak perlu, kamu coba periksa apakah masih ada tempat yang perlu dibereskan atau nggak."Dapur adalah wilayahnya. Sejak kecil, Amel sangat menyukai dapur. Baik itu masakan lokal, masakan barat atau makanan penutup, mungkin orang lain merasa hal-hal itu sangat menyulitkan, tapi dia sangat menikmati untuk membuat semua itu.Dimas berjalan keluar dari dapur, dia merasa bahwa dia ditolak oleh istrinya.Melihat Amel yang seda