Bab 10: Di Ambang Hubungan
“Aku bangun entah berapa lama setelah pingsan karena mabuk berat, dan kudapati lima laki-laki itu duduk mengelilingiku di atas ranjang, Mas. Mereka sudah melucuti pakaianku, kedua tanganku diikat ke ranjang ... dan ....”
Ismi berhenti bercerita. Dia menangkup wajah dengan kedua tangan, lalu tangisnya pecah kembali, jauh lebih keras dan pedih dibanding sebelumnya. Seolah kejadian itu baru saja terjadi sesaat lalu, bukannya berbulan-bulan yang lalu.
“Mereka menyekapku di sana sampai satu hari. Aku diperlakukan seperti seorang budak, ba-bahkan lebih hina dari itu sampai rasanya ingin mati saja. Orang tuaku berhasil menyelamatkan setelah mereka menelantarkanku di sana, Mas.”
Aku menghela napas, lantas memukuli dada hingga terasa sakit. Hancur sudah harapanku pada Ismi, remuk sudah impian rumah tangga bahagia bersamanya.
Gadis yang kunikahi telah bernoda,
Bab 11: Yang TerlukaAku berpikir sejenak seraya mengemudikan mobil Civic di sepanjang jalan. Tujuanku memburam, dari awal ingin ke kantor, malah beralih ke sebuah rumah sakit yang sering kukunjungi.Tidak sadar, aku memarkir mobil di antara beberapa unit mobil lainnya di rumah sakit itu. Sembari merenung, aku merebahkan dahi di atas setir kemudi. Berat sekali, pikiranku hancur berantakan, perasaanku remuk tidak karuan.Selama ini, aku tidak pernah merasakan patah hati, putus cinta atau terluka karena seorang wanita. Sekarang, kutahu alasan kenapa teman-temanku seperti gila saat mereka harus menghadapinya.“Sialan, sakit sekali! Kenapa malah jadi begini, sih?” Aku mengumpat seraya memukul setir berulang kali.Tiba-tiba saja sirene peringatan menderu keras. Mobilku meraung-raung, lampu sorot berkedip tanpa henti seolah sedang diculik, mungkin kaget dengan perlakuan kasar dariku barusan.“Ah, si
Bab 12: Ismi dan AkuPagi itu, aku pulang dengan wajah muram ke rumah. Sembari menghela napas untuk kesekian kalinya, pintu depan aku dorong perlahan.Begitu daun pintu membuka, kutemukan kehadiran perempuan itu di belakangnya. Dia menatap dengan sorot mata yang penuh arti, seolah sedang memohon agar aku memahami apa yang terjadi dengannya.Kuabaikan Ismi tanpa sepatah kata dengan berlalu melewati perempuan itu. Mendadak saja, seluruh tubuhku merinding dibuatnya.Aku langsung membayangkan apa yang terjadi dengan Ismi sebelum bertemu denganku, serta setiap lapisan kejadian yang bahkan tidak kuketahui detailnya. “Mas?” Dia memanggil pelan.Dari suaranya saja, aku paham benar jika Ismi ketakutan. Lekuk nada bicaranya menunjukkan kekhawatiran yang teramat dalam.“Jangan memaksaku bicara, Ismi!” balasku dengan intonasi teramat ketus.Ismi yang pagi ini memakai gamis panjang berwarna hi
Bab 13: Kondisi Orangtua dan Mertuaku“Pokoknya, ke sini dulu, Mas! Susah jelasinnya dari telepon.” Pria itu menggerutu di seberang sana.Dari intonasi bicaranya saja aku tahu satu hal; keadaan sangatlah buruk. Orangtuaku, mobil dan kondisi mereka, apa yang sebenarnya terjadi?Kupalingkan wajah ke arah Ismi. Perempuan itu menunggu dengan sabar penjelasan dariku.Tapi, hanya satu kalimat yang terucap pagi itu untuknya, “Bersiap sekarang, aku tunggu di mobil lima menit lagi, Ismi. Kita harus ke rumah sakit.”Ekspresi Ismi tepat seperti yang aku duga. Dia memelotot pertanda terkejut, namun baiknya Ismi, dia tidak lagi menuntut penjelasan dariku, melainkan langsung berlari ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh.Gamis panjangnya yang menutup tubuh itu menggelepar, menimbulkan bunyi kepakan seperti sayap burung. Beberapa bulan setelahnya, baru kutahu jika pakaian panjang itu disebut kaftan.
Bab 14: Bapak dan Ibu Mertua Pergi Pukul 08.30 pagi.Hujan turun dengan derasnya di Desa Ledok Sambi saat kami mengantarkan jenazah ibu dan ayah mertuaku ke peristirahatan terakhir mereka. Pesan terakhir yang diikrarkan pada orangtuaku adalah agar mereka tetap bersama di desa itu.Seolah bisa melihat masa depan, mereka mengobrol perihal hari tua yang akan dihabiskan bersama sebelum berangkat ke Jogja dengan mobil. Juga, berwasiat agar tetap diperistirahatkan di Desa Ledok Sambi suatu hari nanti.Aku menggenggam erat tangan ibu yang melemah di sisi pembaringan ibu mertua. Baru saja mereka hidup bahagia dan berkumpul setelah sekian lama, kini kembali berpisah, untuk selamanya.“Ya Allah, Mbak ....”Jerit tangis itu menggema di bawah guyuran hujan. Dua liang lahat terbuka lebar, jasad ibu dan ayah mertuaku dibaringkan di dalamnya. Diantar oleh isak tangis dari para kerabat dan keluarg
Bab 15: Di Luar Dugaan “Di mana kamar Ibu dan Bapak?” seru ibuku saat kami tiba di Jogja.Mereka langsung menerobos ke dalam dengan tergesa-gesa. Tidak lupa, ibu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dia terlihat bergumam, sibuk memerhatikan sampai lupa akan keadaan kami yang sedang berduka.Ditinggalkannya kami bertiga, ibu memilih berjalan menuju kamar yang kini diisi oleh Ismi sendirian. Di sana, dia berdiri, tatapan matanya terus memendar, seperti sedang memindai sesuatu.Sontak aku melirik ke arah Ismi. Ada terlalu banyak bukti yang tertinggal jika hubungan kami tidak manis seperti harapan mereka. Ditambah lagi, kami sudah pisah ranjang sebelum musibah ini menimpa Ismi.“Za, kamu enggak izinkan Ismi mengubah dekor rumah, ya? Kok masih suram begini, sih?” omelnya.Ibu langsung beranjak, memegang gorden gelap yang tidak pernah kuganti sejak rumah ini terbeli. Lalu, dia mengitar
Bab 16: Antara Farah dan Ismi“Aku di depan kantor, Za!” ucap gadis ramah itu padaku melalui panggilan telepon.Sontak aku terkejut mendengar pengakuannya saat fokusku masih tertaut dengan ribuan kode-kode di layar . Kupastikan sekali lagi nama yang tertera di benda pipih tersebut, benar ‘Farah’ yang tertulis di sana.Tidak ada angin dan hujan, gadis itu menelepon, memberi kabar mengejutkan saat aku sedang sibuk dengan pekerjaan. Jam setengah dua belas, sebentar lagi memang waktunya istirahat. Farah seolah sudah memperkirakan ini semua.“O-okey!” Aku menjawabnya singkat.Lalu, panggilan itu diakhiri oleh Farah. Hal yang membuatku segera mengedarkan pandangan ke segala sudut ruangan.Beberapa teman kerjaku seperti kesetanan di balik layar. Ada yang belum pulang sejak kemarin, ada juga yang tidak berhenti memijat mata dan kening. Ada yang sibuk mengompres muka, ada yang memilih berolahraga r
Bab 17: Tatapan Orang-Orang ItuMelepasmu dari hidupkuDan mungkin lukai hati, lebih dari ini ....Kita ....“Galau banget lagunya, Za!” Farah protes usai merebut earphone yang aku gunakan untuk mendengarkan lagu.Satu jam yang lalu, gadis itu muncul kembali di kantor. Untungnya, masa-masa kritis kami telah selesai, dan sebentar lagi kami akan meresmikan peluncuran aplikasi terbaru. Karena itulah, aku bisa keluar untuk menghirup napas dengan bebas setelah terkurung selama satu bulan di perusahaan.“Kamu kenapa, sih?” usiknya lagi.Farah mencoba mengambil gawai yang aku selipkan di saku jeans. Buru-buru aku menghindari Farah, karena tidak hanya hal itu tidak sopan, aku khawatir tangannya salah pegang dan bisa mendarat di tempat terlarang.“Ih?” Farah merengut melihatku mengambil langkah mundur. Dia langsung m
Bab 18: Perintah Bapak “Anak tidak tahu diuntung!” Bapak mencelaku malam itu dengan suara yang membelah bak guntur.Dia yang selama ini tidak pernah melayangkan tangannya, malam itu melakukannya hingga dua kali. Tamparan di pipi kanan, lalu di pipi kiri. Hendak diulanginya lagi ketiga kali namun Ismi lebih dulu menahannya dengan tubuhnya sendiri.“Cukup, Bapak ... jangan pukul Mas Reza,” pintanya.Ismi berdiri menggantikan ibu untuk membelaku. Dia tidak gentar meski amarah bapak meledak-ledak, melainkan tetap bertahan di sana. Padahal, bisa saja dia ikut terluka.“Minggir, Ismi. Minggir, aku tidak butuh bantuanmu!” ucapku dengan nada penuh penekanan. Tidak tersentuh sedikit pun hati ini meski Ismi berusaha menyelamatkanku dari amukan bapak.Kubisikkan kata-kata itu di telinga Ismi, berharap dia memahami niat hati ini. Aku belum ingin bapak dan ibu mengetahui permasalahan di