Suasana hening sejenak."Aku tidak mau pergi dari sini. Kecuali kalau kakak sudah menikah!" tukas Risna kemudian.Dua pria itu langsung menatap ke arah wanita kesayangannya. Apalagi Reyhan, matanya melebar saat sang adik berkata seperti itu. Sedangkan Risna tersenyum."Dan kamu, Mas Dewa, kamu harus menyediakan rumah untukku. Kalau Kak Reyhan menikah, kita tak mungkin tinggal di sini. Mereka pasti butuh privasi," ujar Risna kemudian."Hey, Risna. Kakakmu ini tidak ingin menikah," sahut Reyhan tegas. Ekspresi wajahnya berubah kaku."Kenapa tidak? Memangnya kakak mau menjomlo seumur hidup? Kakak bisa kesepian kalau gitu. Harus ada pasangan yang menemani hidup kakak, berbagi kasih sayang, dan membuat keturunan keluarga Hadiwilaga," ucap Risna lagi.Reyhan justru terbatuk-batuk mendengar ucapan sang adik, kala itu Risna hanya tersenyum. Ia pun menginginkan kehidupan kakaknya bahagia."Iya, Nak, kamu sudah mapan dan cukup umur untuk menikah, apa tak ada perempuan yang kamu cintai?" Kali in
Part 62Alya menjatuhkan bobot tubuhnya dengan kesal. "Kenapa sih harus bertemu denganmumereka lagi, mereka lagi? Kayak gak ada orang lain di dunia ini saja!" gerutu Alya kesal. Sungguh sebenarnya dalam hati, Alya begitu kesal karena Risna pasti mendapatkan yang lebih baik darinya. Kakaknya yang dulu terlihat seperti pengangguran pun ternyata kini menjadi orang yang lebih sukses.Ada perasaan iri menjalar dalam hatinya kala melihat Risna tampak berbahagia. Bahkan ia sendiri harus rela pontang-panting dengan uang secukupnya dari suami dan tinggal di rumah kontrakan yang kecil. Huh! Lagi, dia membuang napas kasar.Ramdan menoleh memandang heran istrinya usai meletakkan bayi Raya ke stroller."Harusnya kamu nggak perlu marah, Alya.""Tapi kakakmu itu menuduhku sembarangan, Mas!""Ya udah nggak usah ditanggapi. Kalau memang itu nggak benar kenapa kamu harus marah-marah."Alya mendengus, sekarang sang suami justru malah membela mantan istri dan kakaknya itu."Sudah deh, Al hidup kita s
"Baik, Pak." Ramdan menggangguk lesu. Ia pun undur diri dari hadapan Pak Hadiwilaga. Padahal selama ini dia orang kepercayaannya.Ah! Ramdan mendesah kesal. Memang setelah kelahiran baby Raya, dia jadi kurang istirahat. Terkadang Alya tidur tak mau bangun, sedangkan Raya menangis karena popoknya basah.Ia mengusap wajahnya kasar, langkahnya mendadak berhenti kala melihat Risna tengah berbincang dengan seorang laki-laki yang tak lain tak bukan dia adalah kakaknya sendiri. Penampilannya sungguh rapi, sepertinya ia ada meeting di sini. Karena di belakangnya ada orang lain juga yang diduga sebagai asistennya. Membawa map dokumen.Risna tampak tertawa senang saat berbincang dengan Dewangga. Ia tak pernah melihat senyuman sebahagia itu kecuali saat dia menikah dengannya dulu. Wajah Risna tampak semringah dengan rona yang memerah. "Manis sekali sekarang dia," lirih Ramdan. Ia menggeleng pelan, lalu kembali melangkah menuju ruangannya.***"Mas, kamu datang kesini?" tanya Risna seraya ters
Part 63Hati dan pikiran Ramdan benar-benar kalut. Perasaannya hancur remuk redam. Anak yang selama ini ia perjuangkan, nyatanya justru menorehkan luka yang begitu dalam.Setelah hampir satu jam termenung dan merasakan sesak luar biasa, duduk sendiri di bangku tunggu rumah sakit. Ramdan melangkah gontai keluar dan menuju mobil.Ia menghempaskan napas kasar sebelum mengemudikan mobilnya ke kantor.Nada di ponselnya berdering, membuyarkan lamunan. Sebuah panggilan dari Alya, tapi dia abaikan. Namun berulang kali Alya terus menelepon, membuat Ramdan makin emosi, terasa berisik di telinga. Aaarggh! Ngapain sih dia telpon segala! pekik Ramdan dalam hatinya.Tak lama Alya mengirimkan sebuah pesan untuknya.[Mas, tolong angkat teleponnya, penting!!!]Alya mulai memanggil lagi, dengan terpaksa akhirnya Ramdan memencet tanda telepon warna hijau untuk menerima panggilan."Ya, ada apa?" tanya Ramdan dengan ketus. Ia benar-benar sakit hati."Mas, tolong pulang, mas..." jawab Alya dengan sesenggu
Alya terpaksa membawa Raya sendiri ke klinik terdekat, naik taksi online pesanannya karena sang suami tak mau pulang dan mengantarnya sebentar ke klinik.Perasaannya berkecamuk juga kacau, apalagi saat mendengar ucapan sang suami di telepon tadi yang bilang Raya bukan anaknya.Ia kembali menghirup udara dalam-dalam untuk menetralisir perasaan yang ada. Tapi hatinya tqk kunjung tenang. Rasanya begitu kalut.Terpaksa Alya pergi sendirian membawa dua anaknya yang masih kecil. Setelqh menunggu antrian akhirnya Baby Raya diperiksa oleh dokter dan mendapatkan obatnya. Dokter berpesan padanya, bila sampai tiga hari panas Raya tidam turun atau tak menunjukkan perubahan yang membaik, maka dia harus dibawa periksa kembali.Alya hanya bisa pasrah dan berharap semoga anaknya baik-baik saja.Sampai saat ini, waktu menunjukkan pukul sebelas malam, tapi sang suami tak kunjung pulang. Nomornya tak bisa dihubungi."Mas Ramdan kenapa sih? Kenapa gak pulang-pulang?" tanyanya dalam hati."Padahal sudah
Part 64"Mas... Tunggu mas, jangan pergi! Maafin aku, Mas! Aku minta maaaaffff ...!"Alya berteriak memanggil sang suami yang melesat pergi dengan mobilnya. Dadanya berdebar dengan kencang, karena Ramdan sudah tak menghiraukannya lagi. Mau pergi kemana dia tengah malam begini?Sekarang sudah tak ada lagi harapan untuknya kembali bersama Ramdan. Lelaki itu sudah sangat kecewa padanya. Ia benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana.Kesalahannya hanyalah satu, mau meladeni sang mantan suami, karena sebuah ancaman. Ia tak menyangka, hanya satu kali berhubungan dengannya tapi justru menjadi benih baby Raya, karena dia pikir Raya memang anak Ramdan. Alya benar-benar shock dengan semua itu. Rasanya hidup di dunia ini sungguh tidak adil untuknya. Sial bertubi-tubi yang selalu ia rasakan."Mas Ramdan, jangan pergi, Mas. Kalau kamu pergi, kami sama siapa?" ratap Alya menangis pilu. Ia masih menangis sesenggukkan seraya terkulai lemah di depan pintu. Tengah malam menjadi saksi luruhnya air mata
Ponsel Risna berdering dengan nyaring, si empunya tengah tertidur dengan lelap. Dewangga mulai membukakan mata karena berisik mendengar suara ponsel istrinya.Ia mengerjapkan pelan, menatap jam bundar yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul 01.36 dini hari.Lelaki itu mengucek matanya. Lalu bangkit. Tangannya menggapai ke meja, mengambil ponsel Risna."Siapa ini malam-malam yang telepon?"Dewangga hanya mengerutkan kening saat melihat nomor Ramdan yang menelepon"Hallo, selamat malam Bu Risna," ujar suara di seberang telpon sangat asing di telinga."Iya, malam. Saya suaminya. Ini siapa?""Oh baik, dengan Pak siapa ini?""Saya Dewangga.""Baik, Pak Dewangga. Kami dari kepolisian, ingin mengabarkan kalau pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan.""Apa? Kecelakaan?""Ya, identitas atas nama Ramdan Hadiwinata. Mengalami kecelakaan di jalan Pemuda KM 205.""Sekarang bagaimana keadaannya, Pak?""Korban dirujuk ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Medika. Kami menghubungi ibu Risn
Part 65Ramdan membukakan matanya pelan, memutar bola matanya ke atas memperhatikan sekeliling. Sebuah ruangan yang begitu sunyi dan serba putih.Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya begitu remuk redam. Nyeri dan berdenyut di sekujur tubuh. Ia mencoba mengingat kembali sekelebat cahaya silau kembali menghantuinya.Aaarrrgggghhh! Teriaknya sama seperti waktu itu. Ramdan tersadar ia mengalami kecelakaan tapi apakah saat ini dia sudah meninggal?Pria yang tertidur menelungkup di bibir ranjang pasien itu seketika terbangun. Ia terkejut mendengar teriakan Ramdan. Saking kelelahannya, tanpa sadar Dewangga ketiduran saat menunggui adiknya. Sebuah senyum mengembang di bibirnya."Alhamdulillah kamu sudah sadar, Ramdan, selama dua hari kamu tidak sadarkan diri," ujar Dewangga. Ia bangkit dan berusaha menenangkan Ramdan."M-mas De-wa?" lirihnya dengan mata berkaca-kaca seolah tak percaya apa yang dilihatnya saat ini."Mas, aku belum mati kan? Aku belum mati?" tanya Ramdan shock dan ta