Part 64"Mas... Tunggu mas, jangan pergi! Maafin aku, Mas! Aku minta maaaaffff ...!"Alya berteriak memanggil sang suami yang melesat pergi dengan mobilnya. Dadanya berdebar dengan kencang, karena Ramdan sudah tak menghiraukannya lagi. Mau pergi kemana dia tengah malam begini?Sekarang sudah tak ada lagi harapan untuknya kembali bersama Ramdan. Lelaki itu sudah sangat kecewa padanya. Ia benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana.Kesalahannya hanyalah satu, mau meladeni sang mantan suami, karena sebuah ancaman. Ia tak menyangka, hanya satu kali berhubungan dengannya tapi justru menjadi benih baby Raya, karena dia pikir Raya memang anak Ramdan. Alya benar-benar shock dengan semua itu. Rasanya hidup di dunia ini sungguh tidak adil untuknya. Sial bertubi-tubi yang selalu ia rasakan."Mas Ramdan, jangan pergi, Mas. Kalau kamu pergi, kami sama siapa?" ratap Alya menangis pilu. Ia masih menangis sesenggukkan seraya terkulai lemah di depan pintu. Tengah malam menjadi saksi luruhnya air mata
Ponsel Risna berdering dengan nyaring, si empunya tengah tertidur dengan lelap. Dewangga mulai membukakan mata karena berisik mendengar suara ponsel istrinya.Ia mengerjapkan pelan, menatap jam bundar yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul 01.36 dini hari.Lelaki itu mengucek matanya. Lalu bangkit. Tangannya menggapai ke meja, mengambil ponsel Risna."Siapa ini malam-malam yang telepon?"Dewangga hanya mengerutkan kening saat melihat nomor Ramdan yang menelepon"Hallo, selamat malam Bu Risna," ujar suara di seberang telpon sangat asing di telinga."Iya, malam. Saya suaminya. Ini siapa?""Oh baik, dengan Pak siapa ini?""Saya Dewangga.""Baik, Pak Dewangga. Kami dari kepolisian, ingin mengabarkan kalau pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan.""Apa? Kecelakaan?""Ya, identitas atas nama Ramdan Hadiwinata. Mengalami kecelakaan di jalan Pemuda KM 205.""Sekarang bagaimana keadaannya, Pak?""Korban dirujuk ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Medika. Kami menghubungi ibu Risn
Part 65Ramdan membukakan matanya pelan, memutar bola matanya ke atas memperhatikan sekeliling. Sebuah ruangan yang begitu sunyi dan serba putih.Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya begitu remuk redam. Nyeri dan berdenyut di sekujur tubuh. Ia mencoba mengingat kembali sekelebat cahaya silau kembali menghantuinya.Aaarrrgggghhh! Teriaknya sama seperti waktu itu. Ramdan tersadar ia mengalami kecelakaan tapi apakah saat ini dia sudah meninggal?Pria yang tertidur menelungkup di bibir ranjang pasien itu seketika terbangun. Ia terkejut mendengar teriakan Ramdan. Saking kelelahannya, tanpa sadar Dewangga ketiduran saat menunggui adiknya. Sebuah senyum mengembang di bibirnya."Alhamdulillah kamu sudah sadar, Ramdan, selama dua hari kamu tidak sadarkan diri," ujar Dewangga. Ia bangkit dan berusaha menenangkan Ramdan."M-mas De-wa?" lirihnya dengan mata berkaca-kaca seolah tak percaya apa yang dilihatnya saat ini."Mas, aku belum mati kan? Aku belum mati?" tanya Ramdan shock dan ta
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan kalian. Aku menghubungi nomor istrimu tapi sudah tidak aktif lagi."Ramdan menggeleng pelan. "Seperti katamu, Mas, aku melakukan tes DNA pada baby Raya, dan ternyata hasilnya ... bayi itu bukan anakku, Mas. Bayi itu anak orang lain. Sungguh aku tak percaya, Alya sudah menikah denganku tapi dia berhubungan dengan laki-laki lain."Dewangga menghela napas. "Harusnya kamu terima semua apa yang sudah menjadi pilihanmu, Ramdan. Ya setiap pilihan kan ada resikonya, ada baik buruknya, ada manis dan pahitnya. Jangan hanya diambil bagian yang manisnya saja lalu kau buang yang pahit. Itu tidak benar, kamu telah salah langkah.""Iya, dari awal aku memang salah, Mas. Tapi aku benar-benar sudah emosi pada Alya, dia memang-- ah sudahlah, aku tak ingin membicarakan tentang dia lagi. Aku sudah kecewa olehnya, anak yang kuimpi-impikan ternyata justru anak pria lain.""Lebih baik kamu sekarang istirahat lagi, Ramdan. Kesehatanmu biar cepat pulih," ujar Dewangga b
Part 66"Kamu marah, Dek?" tanya Dewangga sesampainya di rumah. Ia merasa istrinya lebih pendiam dari biasanya."Marah kenapa, Mas?""Ya karena aku nungguin Ramdan di Rumah Sakit. Dua malam gak pulang ke sini.""Hmmm, enggak, Mas, aku cuma capek aja tadi di kantor banyak pekerjaan yang harus diurus."Dewangga tersenyum, lalu mengecup kening istrinya. "Maaf ya, aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Ya sudah, kamu mandi dulu gih. Nanti aku pijitin kamu biar rileks."Risna tersenyum. "Aku ke kamar mama dulu ya, Mas. Mau nengokin sedang apa, baru nanti aku mandi," sahut Risna. Ia membuka blazzer yang dikenakannya dan mencuci tangan."Iya, Dek."Risna membuka pintu kamar sang mama yang tidak dikunci. Ibunya tengah terdiam di atas ranjang dengan pandangan mata menerawang jauh."Ma ...""Eh, Risna," sahut Bu Salamah sambil tersenyum."Kenapa mama melamun?"Bu Salamah menggeleng pelan. "Tidak ada, cuma--""Kenapa, Ma? Mama mikirin Kak Reyhan?""Iya, apa dia menghubungimu?"Risna membuang napas
Di sela-sela jam istirahat kantor, Dewangga menyempatkan diri datang menjenguk adiknya. Kini perlahan kondisinya mulai membaik. Dewangga mulai berkonsultasi dengan dokter yang merawat adiknya. “Pak Ramdan sudah diperbolehkan pulang besok, Tapi dia harus tetap kontrol dan rawat jalan, akan saya siapkan jadwalnya.”“Baik, Pak dokter. Terima kasih banyak.”“Sama-sama ya, Pak.”Setelah berkonsultasi dengan dokter, Dewangga kembali menemui adiknya.“Mas, kondisiku kan sekarang begini, sepertinya aku juga takkan mungkin dapat bekerja di kantor lagi. Aku ingin pulang kampung saja, Mas. Dan melanjutkan hidupku di sana.”“Kau tidak akan pulang sebelum kamu sembuh. Siapa yang akan merawatmu kalau kau pulang?”“Tapi, di sini juga—““Aku akan menyewakan rumah dan perawat untukmu.”Ramdan tertunduk. Ia merasa tak enak hati pada kakaknya. “Tapi, bagaimana dengan Risna? Aku takut aku justru jadi beban dan penghalang kalian.”“Kalau kau berpikir seperti itu, berarti kamu belum mengenal Risna sepenu
Part 67Dewangga membawa Risna duduk sejenak dan mencoba menenangkan hatinya.“Kamu dapat kabar dari siapa?” tanya Dewangga.“Pak Kamal, tadi Pak Kamal yang memberi tahu, Mas.” Risna menangis lagi. Dadanya berdebar sangat kencang, seketika ia takut terjadi sesuatu pada kakaknya itu.“Sabar, kamu tenang dulu.”“Aku gak bisa sabar, Mas. Ini mengenai kondisi kakakku. Aku takut kalau kabar ini sampai ke telinga Mama, aku takut beliau shock dan depresinya kumat lagi, Mas,” ujar Risna lagi. Dewangga merasa tak tega dengan Risna yang terus menerus menangis. “Kita akan cari kebenarannya dulu. Untuk sementara, jangan katakan apapun pada Mama.”Risna mengangguk, ia tak kuasa menahan air matanya. Ramdan yang melihat Risna menangis pun ikut merasa sedih dan juga ibu.“Jadi ini nomor yang menghubungimu?” tanya Dewangga saat memeriksa log panggilan terakhir.Risna mengangguk.“Ini nomor asing, Dek, siapa tahu ini hanya orang yang mengaku-ngaku dan ingin memanfaatkan kamu.”“Tapi tadi itu benar-ben
Mereka langsung menaiki mobil menuju ke rumah utama. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi hanya diam, hanya ketegangan yang tersisa di wajah masing-masing.Kedatangan mereka disambut oleh istri papanya.“Tumben kalian datang, kirain sudah gak ingat sama keluarga sendiri,” ujar Bu Martha menyindirnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.Risna ingat betul, bahkan saat pernikahannya, istri papanya itu tak datang. Entah kenapa dia terlihat sewot sekali.“Kami ingin bertemu Papa.”“Papamu sedang tidak enak badan, beliau tidur di kamarnya.”Risna langsung melangkah masuk, tapi Bu Martha justru menghalangi. “Kamu tidak boleh bertemu dengannya. Jangan ganggu waktunya istirahat.”“Kenapa tidak boleh? Beliau papaku! Ada yang ingin kami bicarakan dengannya,” sahut Risna. Padahal ia tahu benar, dua hari lalu Papanya tidak apa-apa, bahkan berangkat ke kantor dalam kondisi sehat, lalu kenapa tiba-tiba dia sakit?Risna menatap manik mata ibu tirinya, hingga tatapan mereka beradu. Tak peduli dengan kesinisan