Part 65Ramdan membukakan matanya pelan, memutar bola matanya ke atas memperhatikan sekeliling. Sebuah ruangan yang begitu sunyi dan serba putih.Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya begitu remuk redam. Nyeri dan berdenyut di sekujur tubuh. Ia mencoba mengingat kembali sekelebat cahaya silau kembali menghantuinya.Aaarrrgggghhh! Teriaknya sama seperti waktu itu. Ramdan tersadar ia mengalami kecelakaan tapi apakah saat ini dia sudah meninggal?Pria yang tertidur menelungkup di bibir ranjang pasien itu seketika terbangun. Ia terkejut mendengar teriakan Ramdan. Saking kelelahannya, tanpa sadar Dewangga ketiduran saat menunggui adiknya. Sebuah senyum mengembang di bibirnya."Alhamdulillah kamu sudah sadar, Ramdan, selama dua hari kamu tidak sadarkan diri," ujar Dewangga. Ia bangkit dan berusaha menenangkan Ramdan."M-mas De-wa?" lirihnya dengan mata berkaca-kaca seolah tak percaya apa yang dilihatnya saat ini."Mas, aku belum mati kan? Aku belum mati?" tanya Ramdan shock dan ta
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan kalian. Aku menghubungi nomor istrimu tapi sudah tidak aktif lagi."Ramdan menggeleng pelan. "Seperti katamu, Mas, aku melakukan tes DNA pada baby Raya, dan ternyata hasilnya ... bayi itu bukan anakku, Mas. Bayi itu anak orang lain. Sungguh aku tak percaya, Alya sudah menikah denganku tapi dia berhubungan dengan laki-laki lain."Dewangga menghela napas. "Harusnya kamu terima semua apa yang sudah menjadi pilihanmu, Ramdan. Ya setiap pilihan kan ada resikonya, ada baik buruknya, ada manis dan pahitnya. Jangan hanya diambil bagian yang manisnya saja lalu kau buang yang pahit. Itu tidak benar, kamu telah salah langkah.""Iya, dari awal aku memang salah, Mas. Tapi aku benar-benar sudah emosi pada Alya, dia memang-- ah sudahlah, aku tak ingin membicarakan tentang dia lagi. Aku sudah kecewa olehnya, anak yang kuimpi-impikan ternyata justru anak pria lain.""Lebih baik kamu sekarang istirahat lagi, Ramdan. Kesehatanmu biar cepat pulih," ujar Dewangga b
Part 66"Kamu marah, Dek?" tanya Dewangga sesampainya di rumah. Ia merasa istrinya lebih pendiam dari biasanya."Marah kenapa, Mas?""Ya karena aku nungguin Ramdan di Rumah Sakit. Dua malam gak pulang ke sini.""Hmmm, enggak, Mas, aku cuma capek aja tadi di kantor banyak pekerjaan yang harus diurus."Dewangga tersenyum, lalu mengecup kening istrinya. "Maaf ya, aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Ya sudah, kamu mandi dulu gih. Nanti aku pijitin kamu biar rileks."Risna tersenyum. "Aku ke kamar mama dulu ya, Mas. Mau nengokin sedang apa, baru nanti aku mandi," sahut Risna. Ia membuka blazzer yang dikenakannya dan mencuci tangan."Iya, Dek."Risna membuka pintu kamar sang mama yang tidak dikunci. Ibunya tengah terdiam di atas ranjang dengan pandangan mata menerawang jauh."Ma ...""Eh, Risna," sahut Bu Salamah sambil tersenyum."Kenapa mama melamun?"Bu Salamah menggeleng pelan. "Tidak ada, cuma--""Kenapa, Ma? Mama mikirin Kak Reyhan?""Iya, apa dia menghubungimu?"Risna membuang napas
Di sela-sela jam istirahat kantor, Dewangga menyempatkan diri datang menjenguk adiknya. Kini perlahan kondisinya mulai membaik. Dewangga mulai berkonsultasi dengan dokter yang merawat adiknya. “Pak Ramdan sudah diperbolehkan pulang besok, Tapi dia harus tetap kontrol dan rawat jalan, akan saya siapkan jadwalnya.”“Baik, Pak dokter. Terima kasih banyak.”“Sama-sama ya, Pak.”Setelah berkonsultasi dengan dokter, Dewangga kembali menemui adiknya.“Mas, kondisiku kan sekarang begini, sepertinya aku juga takkan mungkin dapat bekerja di kantor lagi. Aku ingin pulang kampung saja, Mas. Dan melanjutkan hidupku di sana.”“Kau tidak akan pulang sebelum kamu sembuh. Siapa yang akan merawatmu kalau kau pulang?”“Tapi, di sini juga—““Aku akan menyewakan rumah dan perawat untukmu.”Ramdan tertunduk. Ia merasa tak enak hati pada kakaknya. “Tapi, bagaimana dengan Risna? Aku takut aku justru jadi beban dan penghalang kalian.”“Kalau kau berpikir seperti itu, berarti kamu belum mengenal Risna sepenu
Part 67Dewangga membawa Risna duduk sejenak dan mencoba menenangkan hatinya.“Kamu dapat kabar dari siapa?” tanya Dewangga.“Pak Kamal, tadi Pak Kamal yang memberi tahu, Mas.” Risna menangis lagi. Dadanya berdebar sangat kencang, seketika ia takut terjadi sesuatu pada kakaknya itu.“Sabar, kamu tenang dulu.”“Aku gak bisa sabar, Mas. Ini mengenai kondisi kakakku. Aku takut kalau kabar ini sampai ke telinga Mama, aku takut beliau shock dan depresinya kumat lagi, Mas,” ujar Risna lagi. Dewangga merasa tak tega dengan Risna yang terus menerus menangis. “Kita akan cari kebenarannya dulu. Untuk sementara, jangan katakan apapun pada Mama.”Risna mengangguk, ia tak kuasa menahan air matanya. Ramdan yang melihat Risna menangis pun ikut merasa sedih dan juga ibu.“Jadi ini nomor yang menghubungimu?” tanya Dewangga saat memeriksa log panggilan terakhir.Risna mengangguk.“Ini nomor asing, Dek, siapa tahu ini hanya orang yang mengaku-ngaku dan ingin memanfaatkan kamu.”“Tapi tadi itu benar-ben
Mereka langsung menaiki mobil menuju ke rumah utama. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi hanya diam, hanya ketegangan yang tersisa di wajah masing-masing.Kedatangan mereka disambut oleh istri papanya.“Tumben kalian datang, kirain sudah gak ingat sama keluarga sendiri,” ujar Bu Martha menyindirnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.Risna ingat betul, bahkan saat pernikahannya, istri papanya itu tak datang. Entah kenapa dia terlihat sewot sekali.“Kami ingin bertemu Papa.”“Papamu sedang tidak enak badan, beliau tidur di kamarnya.”Risna langsung melangkah masuk, tapi Bu Martha justru menghalangi. “Kamu tidak boleh bertemu dengannya. Jangan ganggu waktunya istirahat.”“Kenapa tidak boleh? Beliau papaku! Ada yang ingin kami bicarakan dengannya,” sahut Risna. Padahal ia tahu benar, dua hari lalu Papanya tidak apa-apa, bahkan berangkat ke kantor dalam kondisi sehat, lalu kenapa tiba-tiba dia sakit?Risna menatap manik mata ibu tirinya, hingga tatapan mereka beradu. Tak peduli dengan kesinisan
Part 68Uhuk-uhuk...! Lelaki yang terbaring di ranjang itu terbatuk-batuk. Ia mulai membukakan matanya perlahan, mengerjap sembari mengambil napas yang masih terasa berat. Kepalanya masih terasa berat dan juga pusing. Badannya sangat sakit, bahkan untuk bergerak sedikit saja badannya berasa remuk redam. Nyeri terasa di sekujur tubuhnya. Reyhan memicingkan matanya, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi sebelum ini. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, merasa berada di tempat yang begitu asing.Ini dimana? tanyanya dalam hati. Suaranya tak mampu keluar. Sembari menahan rasa sakit, lelaki itu berusaha bangkit duduk dan mengamati sekitar. Sebuah kamar sederhana tampak begitu asing baginya. Tiba-tiba seorang perempuan mudamasuk. Ia sangat terkejut saat melihat lelaki yang ditolongnya sudah sadarkan diri. Perempuan itu mengenakan kerudung yang terjulur hingga menutupi dada berwarna hitam dengan gamis warna abu tua. Penampilannya memang sangat sederhana tapi tampak menyejukkan m
Abah Husein langsung memeriksa kondisi pria malang itu. Kebetulan dia adalah tukang urut di desa itu. "Sepertinya ini korban kecelakaan dan hanyut ke sungai. Zahra, tolong panggilkan Bu Bidan kesini ya, kasihan laki-laki ini. Dia butuh pertolongan.""Baik, Bah," jawab gadis muda itu sambil mengangguk.Gegas Zahra berlari dan menuju ke polindes dimana bu bidan berada. Bu Bidan memeriksa keadaan Reyhan. Lalu memberikan obat serta perlengkapan seperti perban kain kasa, betadine dan lain sebagainya untuk mengobati luka di tangannya yang cukup parah. Mungkin karena tergores batu.Karena tak ada biaya alias keterbatasan ekonomi, Zahra dan abahnya hanya mampu merawat pria itu di rumah."Saya pingsan berapa hari, Pak?" tanya Reyhan. "Dua hari. Maaf, Nak, kami hanya bisa merawatmu seadanya. Alhamdulillah berkat keajaiban Allah, akhirnya kamu sadar. Coba gerakkan anggota tubuhmu pelan-pelan, Nak," tukas Abah Husein. Reyhan mengangguk dan mulai menggerakkan semua tubuhnya, meski terasa kaku